Meluruskan Penfasiran yang Menyimpang
Penulis: Ustad Hamdi*
Pesantren Nuris – Sebagian orang pernah menggugat amaliah tawassul dengan Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat dengan berkata demikian; “Sungguh semuanya merupakan perangkap syetan dan tipu muslihatnya untuk menyesatkan kaum muslimin dari kebenaran agamanya, merusak akal dan merusak dirinya padahal Allah SWT berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاء وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاء وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُور
“Dan tidaklah sama antara orang yang hidup dan orang yang mati. Sesungguhnya Allah akan bisa memperdengarkan siapa saja yang dikehendakinya dan kamu tidak akan bisa memperdengarkan siapa yang ada di dalam kubur”. (QS. al Fathir (35) : 22)
Dengan menyetir ayat di atas, dia mengharamkan bahkan mensyirikkan amaliah tawassul, sebab ayat di atas menegaskan perbedaan yang jelas antara orang yang masih hidup dan sudah meninggal. Pada akhir ayat ditegaskan “Kamu tidak akan bisa memperdengarkan siapa yang ada di dalam kubur”.
Dia menyimpulkan, bertawassul dengan orang yang sudah meninggal, siapapun dia, walaupun seorang nabi pun, hukumnya tidak diperbolehkan, karena Alquran telah membedakan antara orang hidup dan mati, bahkan kita tidak bisa memperdengarkan sesuatu kepada orang yang meninggal. Tawassul yang boleh hanyalah kepada orang yang masih hidup.
Bertendensi dengan ayat di atas untuk mengharamkan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW setelah wafat sangat tidak tepat. Secara literal memang ayat itu menunjukkan ketidaksamaan antara orang hidup dengan orang mati. Tapi yang perlu dikaji di sini adalah, siapa yang dimaksud orang hidup dan orang mati dalam ayat tersebut dan dalam hal apa mereka tidak sama? Mari kita lihat penafsiran dari ulama tentang ayat tersebut.
(baca juga: KH. Muhammad Siddiq Pembawa Islam di Kabupaten Jember)
Berikut penjelasan Ibnu Jarir at Thobari (w. 310) dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an hal 457 juz 20:
( وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ ) يَقُوْلُ: وَمَا يَسْتَوِي الْأحْيَاءُ الْقُلُوْبِ بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَعْرِفَةِ تَنْزِيْلِ اللهِ، وَالْأمْوَاتُ الْقُلُوْبِ لِغَلَبَةِ الْكُفْرِ عَلَيْهَا، حَتَّى صَارَتْ لاَ تَعْقِلُ عَنِ اللهِ أمْرِهِ وَنَهْيِهِ، وَلاَ تَعْرِفُ الْهُدَى مِنَ الضَّلاَلِ، وَكُلُّ هذِهِ أمْثَالٌ ضَرَبَهَا اللهُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْإِيْمَانِ وَالْكَافِرِ وَالْكُفْرِ. وَبِنَحْوِ الَّذِيْ قُلْنَا فِيْ ذلِكَ قَالَ أهْلُ التَّأْوِيْلِ.
“Firman Allah SWT (Tidak akan sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati) Beliau berkata : tidak akan sama orang-orang yang hidup hatinya dengan beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, mengetahui apa yang diturunkan Allah dan orang-orang yang mati hati mereka sebab menangnya sifat kufur di dalamnya sehingga mereka tidak bisa memikirkan perintah dan larangan Allah dan tidak mengetahui perbedaan antara petunjuk dan kesesatan. Ini semua merupakan perumpaan yang Allah contohkan bagi orang mu’min dan iman serta orang kafir dan kufur. Semua ahli ta’wil mengartikannya sebagaima apa yang aku ucapkan tersebut“.
Imam As Syaukani (w. 1250) juga menjelaskan maksud ayat tersebut dalam Fathul Qodir hal 134 juz 6:
ثُمَّ ذَكَرَ سُبْحَانَهُ تَمْثِيْلاً آخَرَ لِلْمُؤْمِنِ ، وَالْكَافِرِ ، فَقَالَ : { وَمَا يَسْتَوِى الْأحْيَاءُ وَلاَ الْأمْوَاتُ } ، فَشَبَّهَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِالْأحْيَاءِ ، وَشَبَّهَ الْكَافِرِيْنَ بِالْأمْوَاتِ . وَقِيْلَ : أرَادَ تَمْثِيْلَ الْعُلَمَاءِ ، وَالْجَهَلَةِ . وَقَالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ : الْأحْيَاءُ الْعُقَلاَءُ ، وَالْأمْوَاتُ الْجُهَّالُ . قَالَ قَتَادَة : هذِهِ كُلُّهَا أمْثَالٌ ، أيْ : كَمَا لاَ تَسْتَوِي هذِهِ الْأشْيَاءُ كَذَلِكَ لاَ يَسْتَوِي الْكَافِرُ وَالْمُؤْمِنُ { إِنَّ الله يُسْمِعُ مَن يَشَاء } أنْ يُسْمِعَهُ مِنْ أوْلِيَائِهِ الَّذِيْنَ خَلَقَهُمْ لِجَنَّتِهِ ، وَوَفَّقَهُمْ لِطَاعَتِهِ { وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّنْ فِى الْقُبُوْرِ } يَعْنِي : الْكُفَّارَ الَّذِيْنَ أَمَاتَ الْكُفْرُ قُلُوْبَهُمْ ، أيْ : كَمَا لاَ تُسْمِعُ مَنْ مَاتَ كَذَلكَ لاَ تُسْمِعُ مَنْ مَاتَ قَلْبُهُ
“Kemudian Allah SWT memberikan perumpamaan lain bagi orang mu’min dan kafir, maka Allah SWT berfirman: (Tidak akan sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati), Maka orang-orang mu’min di serupakan dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang kafir di serupakan dengan orang-orang yang mati. Ada yang mengatakan : Allah SWT menghendaki memberi perumpamaan ulama dan orang-orang bodoh. Ibnu Qutaibah berkata : orang-orang yang hidup adalah orang-orang yang berakal, sedangkan orang-orang yang mati adalah orang-orang yang bodoh.
Qotadah berkata : Ini semua perumpamaan, artinya : sebagaimana tidak samanya ini semua, begitu juga tidak sama antara orang kafir dan orang mukmin.(Sesungguhnya Allah memperdengarkan orang yang dikehendaki-Nya) yakni memperdengarkan kekasih-kekasih-Nya yang Beliau ciptakan surga bagi mereka dan memberi taufik mereka untuk thoat pada-Nya. (Kamu tidak akan mampu memperdengarkan orang-orang yang ada dalam kuburan). Maksudnya, orang-orang kafir yang hatinya di matikan oleh kekufuran, artinya, sebagaimana kamu tidak akan bisa memperdengarkan orang yang mati, begitu juga kamu tidak akan bisa memperdengarkan orang yang mati hatinya”.
Dari dua penafsiran di atas, setidaknya ada tiga pendapat tentang maksud orang hidup dan mati yang ada dalam ayat:
- Pendapat Pertama, yang dikehendaki dengan orang hidup dan orang mati tersebut adalah orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Sedangkan ketidaksamaan mereka adalah dalam hal menerima hidayah.
- Pendapat Kedua, yang dikehendaki dengan orang hidup adalah ulama dan orang mati adalah orang-orang bodoh.
- Pendapat Ketiga, yang dikehendaki dengan orang hidup adalah orang-orang berakal dan orang mati adalah orang-orang bodoh.
Dengan demikian, setiran ayat tersebut untuk mengharamkan tawassul kepada nabi setelah wafat sungguh tidak tepat, sebab ruang lingkupnya masih membahas orang yang sama-sama hidup, sedangkan menamakan orang kafir dengan orang mati sekedar majaz saja. Wallaahu ‘a’lam bisshowab.
*penulis adalah staf pengajar BMK di MA Unggulan Nuris