oleh: Mabrurona Aizzana
Suara kokok ayam bersahut-sahutan di luar sana, seakan menyapa sang fajar di langit hitam itu. Hal itu telah mengusik tidurnya topan, sang penggembala cilik, diahidup dengan neneknya, kedua orang tuanya telah lama meninggal. Asap-asap mengepul dari tiap-tiap rumah di sekitar rumah topan, meski yang terlihat hanya kabut tebal yang menjulang tinggi menembus langit. Topan segera merapikan tempat tidurnya, ia tidur beralas tikar yang terbuat dari jerami, rumahnya pun tak layak untuk ditempati, ukurannya sangat kecil dan bukan dari tembok, listrik belum masuk di desa topan, rumah-rumah di sekitarnya pun sama keadaannya, hidup dalam gelap hanya bergantung pada sebuah lentera yang menerangi rumahnya.
“Topaaaan…..ke sini bantu Amak!” teriak seorang wanita tua dari dalam rumah topan. Dia lah amak, nenek topan, topan memanggilnya amak, usianya sudah renta namun fisiknya masih kuat dan suaranya mampu memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya.
“Iyaa Mak, Topan masih nimba air.” Suara Topan tak kalah nyaringnya dengan sang amak. Topan, Yanto, Boni, Didit, dan Agung menjalin persahabatan sejak pertama mereka masuk sekolah. Sekarang mereka duduk di kelas 5 sekolah dasar, jarak sekolahnya 3 km dari rumahnya, mereka berjalan kaki menuju sekolahnya dan menempuh jarak sejauh itu dengan semangat dan tawa, penat seakan tak pernah mereka rasakan.
(baca juga: Cerita tentang Patung)
“Topan, tata kue-kue ini ke keranjang, nanti titipkan ke warung di seberang sana!” Suruh amak sambil mengunyah sirih yang sedari tadi ia genggam, Topan langsung melaksanakan perintah amak.
“Amak, kapan Topan punya sepatu? Topan sudah kelas 5, amak kan sudah janji tahun lalu,” ujar Topan sambil duduk di dekat amaknya di depan tungku, kemudian amaknya menambahkan kayu bakar ke dalam tungkunya.
“Sabar dulu Topan, amak belum punya cukup uang, nanti saja ya kalau kambingmu sudah beranak.” Jawab amak, Topan diam saja lalu terperanjat ia baru sadar ucapan sang amak.
“Amak, kambing Topan itu jantan, mana bias dia beranak?” sambil menatap wajah renta sang amak. Amak kemudian tertawa dan menepuk keras bahu Topan, memperlihatkan gigi-giginya yang masih lengkap namun sudah berubah warna menjadi merah menyala karena sudah lama mengonsumsi sirih untuk menguatkan giginya.
Topan dan empat
temannya berangkat ke sekolah tanpa sepeda, tanpa sepatu, hanya seragam merah
putih yang warnanya sudah pudar dan tas dari rotan yang mereka bentuk
sedemikian rupa. Semangat yang berkobar mendorong mereka untuk terus berlari,
berlari mengejar mimpi. Ilalang dan jalan berdebu menjadi saksi bisu perjuangan mereka menembus badai.
Topan dan teman-temannya tak pernah lelah untuk mengais ilmu meski terkadang
gurunya tidak datang.
“Ayo anak-anak, sekarang kalian maju satu persatu lalu ceritakan apa yang
kalian cita-citakan!” Perintah sang guru. Mereka pun maju dengan percaya diri,
cita-citanya beragam, ada yang ingin menjadi dokter, astronot, pengusaha,
ilmuwan, dosen dan masih banyak lagi. Kini giliran Topan, ia berjalan dengan
langkah kecil kemudian menatap satu per satu wajah teman-temannya.
“Aku tidak ingin jadi dokter, ilmuwan, atau pun astronot, kalian saja yang menjadi orang-orang hebat itu. Aku hanya ingin jadi petugas PLN, agar listrik bias masuk ke desa kita, lalu aku akan memasang bola-bola lampu di tiap rumah, di pinggir jalan, dan di semua sudut desa kita.” Ujar Topan dengan lantangnya, teman-temannya bertepuk tangan menggambarkan kegembiraannya, kemudian mereka bergerombol mengangkat tubuh mungil Topan. Sang guru tersenyum melihat tingkah anak didiknya.
Sepulang sekolah mereka langsung menggembalakan kambingnya masing-masing, tak lupa mereka membawa buku-buku pelajarannya meski hanya sekadar membaca namun hal itu rutin mereka lakukan. Malam harinya mereka mengajar warga yang buta huruf, dan hanya berjumlah 12 orang, itu pun setiap malamnya harus dijemput ke rumahnya masing-masing jika tidak, mereka enggan datang. Dengan semangatnya Topan dan teman-temannya menuntun mereka untuk membaca, menulis, dan menghitung.
“Ini huruf apa?” Tanya Yanto sembari menunjuk huruf di papan menggunakan batang kayu kecil.
“Mata kami sudah tua Nak, hurufnya tak terlihat.”
“Wajah-wajah kalian saja aku tak mengenalnya,” celetuk seseorang yang duduk paling belakang. Mendengar keluhan itu Topan langsung bertindak, ia berlari menjauh dari tempat itu, tak lama kemudian Topan datang dengan membawa empat lentera di tangannya.
“Dapat dari mana Kamu, Pan?” Tanya Boni.
“Dari tetangga, aku pinjam sebentar agar tempat ini lebih terang.” Jawab Topan dengan nafas yang tak teratur, mereka langsung memasang lentera-lentera itu di dekat papan dan sinarnya cukup terang. Mereka pun melanjutkan kegiatannya. Setelah selesai mereka tak langsung pulang. Mereka tidur terlentang membentuk lingkaran di tepi danau, menatap indahnya langit malam saat itu sang rembulan berbentuk bulat sempurna dan ditemani beribu-ribu bintang di atas sana.
“Buat lampion yuk, kita tulis mimpi-mimpi kita lalu gantungkan di lampionnya!” Ujar topan disela-sela lamunannya, teman-temannya pun menyetujui ide Topan. Mereka mengambil alat-alatnya kemudian langsung membuatnya, setelah cukup lama akhirnya lampion-lampion itu siap diterbangkan, mereka memegang hasil karyanya masing-masing lalu menerbangkannya dengan serempak. Lima lampion telah mengambang di udara, bayangannya juga terlihat di permukaan air danau itu, kebahagiaan mereka mengiringi lampion-lampion terbang ke angkasa.
Waktu terus bergerak maju, mereka melanjutkan studinnyake kota. Berbeda tempat dan berbeda fakultas, meskipun tak bersama mereka tetap memegang teguh prinsipnya, ketika malas menghampiri, mereka langsung mengingat mimpi-mimpi mereka yang telah tertanam kokoh dalam hatinya. Dengan semangat yang mereka miliki akhirnya mimpi-mimpi yang mereka tuliskan dan telah diterbangkan oleh lampion-lampion yang dulu mereka buat sendiri menjadi kenyataan. Yanto menjadi seorang dosen, Didit seorang pengusaha sukses, Boni bekerja di perusahaan besar, Agung menjadi pengacara andal, dan Topan yang dulu hanya ingin menjadi petugas PLN, sekarang ia baru saja menyelesaikan doktoralnya di Australian National University, dan berhasil menjadi seorang menteri pendidikan di tanah kelahirannya. Itu semua adalah buah dari kegigihan mereka, keterbatasan tidak membuat semangat mereka redup. Mereka menutupi keterbatasannya dengan belajar keras dan melakukan sesuatu dengan sebaik munkin.
(baca juga: Sekibar Angin kepada Langit)
Cita-cita terbesar Topan kini tercapai, bola-bola lampu yang dulu hanya berada dalam angannya saat ini telah terpasang rapi di rumah-rumah yang ada di desa Topan. Namun saat Topan telah menggapai semua impiannya, sang amak tak berada di sampingnya, ia telah berpulang pada Sang Pencipta. Tapi Topan percaya bahwa sang amak pasti bahagia di alam sana melihat cucunya berhasil mewujudkan harapan yang telah ia idamkan sejak dulu, membuat desanya menyala terang saat malam tiba, dan mengubah persepsi masyarakat bahwa sekolah itu penting dan bukan hal yang tabu.