Cinta Ramadhan, Cinta Sosial
Oleh: Cholis Rosyidatul Husnah*
Marhaban Ya Ramadhan
Pesantren Nuris- Kalimat tersebut telah banyak terkumandang seiring berakhirnya bulan sya’ban. Bulan ramadhan adalah bulan istimewa, seluruh ibadah yang dilakukan menjadi berlipat pahalanya. Tidak berhenti disitu, beberapa ibadah istimewa yanga hanya dihadirkan Tuhan saat bulan ramadhan saja. Beberapa hadist dan pendapat para ulama mengungkapkan keistimewaan, keberkahan dan keagungan bulan Ramadhan. Sehingga apabila melewati nya dengan biasa saja, ummat muslim akan menyesal nantinya.
Puasa wajib selama satu bulan penuh merupakan rukun islam yang wajib di jalankan oleh ummat islam yang mampu. Puasa wajib ini berlaku pada bulan ramadhan. Maka ramadhan sering disebut dengan bulan puasa. Ibadah puasa yang secara dhohir berarti menahan dari makan, minum, berhubungan dengan isteri dari terbit Fajar sampai terbenam matahari.
Bagi mereka yang sakit, kemudian jika berpuasa sakitnya semakin parah maka diperbolehkan untuk meninggalkan puasanya. Apabila mereka yang melakukan perjalanan jauh, yanh disitu jarak tempuhnya diperbolehkan melakukan sholat Qoshor, maka diperbolehkan pula untuk meninggalkan puasa. Apabila ada ibu hamil atau menyusui, kemudian khawatir anaknya atau ibu tersebut jika berpuasa terjadi sesuatu yang tidak di inginkan maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Apabila ada ummat islam yang berusia lanjut kemudia tidak kuat melakukan puasa maka dia boleh meninggalkan ibadah puasa. Hal tersebut adalah bentuk kemurahan Tuhan untuk makhluknya. Dimana untuk melakukan ibadah yang itu sebenarnya bermanfaat untuk hamba tersebut, namun dengan segala kemudahannya ada beberapa keringanan dan rambu-rambu didalamnya. Itu semua tidak lain untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia.
(baca juga: Acara Muslimatan, Bid’ah kah?)
Kewajiban berpuasa telah termaktub dalam teks suci Tuhan bahwa “Diwajibkan bagi kalian untuk berpuasa, sebagaimana dulu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Dalam ayat tersebut tertulis bahwa puasa agar kita menjadi bertaqwa. Makna taqwa dalam tafsir transformasi sosial adalah saat manusia sebagai makhluk sosial dapat bertindak dengan maksimal terhadap sosialnya. Hal tersebut tidak hanya terhadap manusia saja, melainkan terhadap kondisi alam semesta juga.
Nilai antroposentris yang tersirat dalam ibadah puasa yakni tidak ada keistimewaan secara strata sosial untuk hamba terhadap kewajiban melakukan puasa. Disini tuhan mengajarkan arti kemanusiaan. Para manusia yang berduit diwajibkan merasakan lapar dengan sehari tidak makan dan tidak minum. Nha, bagaimana dengan mereka yang tidak makan selama satu hari satu malam, dua hari bahkan tiga hari. Bukan karena itu puasa melainkan karena tidak ada uang untuk membeli makanan, sehingga mereka harus menahan lapar dan dahaga dengan waktu yang tak menentu kapan berakhirnya. Selain itu, ajaran yang dapat tersirat pada ibadah puasa ini adalah manusia tidak hanya menahan secara dhohir untuk dirinya saja. Melainkan menahan dari sifat iri, dengki sombong, mencaci, menghujat, dan lainnya. Yang itu dapat merugikan manusia lain. Perbuatan tersebut termasuk ketakwaan yang dimaksud dalam teks tuhan.
Ali Syariati dalam pemikirannya humanisme islam menganalisis bahwa sesungguhnya dalam diri
manusia terdapat nilai-nilai humanisme sejati yang bersifat ilahiyah sebagai warisan budaya moral dan keagamaan. Manusia adalah makhluk yang sadar-diri, dapat membuat pilihan-pilihan dan dapat menciptakan, sehingga di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai humanisme tersebut meski yang didapatinya adalah kegetiran dan petaka saat melawan kekuasaan jahat dan penindas. Pendapat tersebut jelas sangat relevan dengan puasa yang diwajibkan Tuhan untuk hambanya.
(baca juga: Mengenal Ulama Hadis, Maulana Zakariya Al Kandhlawi)
Namun apakah interpretasi ibadah puasa hanya untuk ummat islam saja? Tentu saja tidak. Nilai kemanusiaan untuk manusia tidak memandang agama. Melainkan saling membantu antar ciptaan tuhan. Bahkan ummat islam yang melakukan kedzoliman termasuk dalam ummat yang mendustakan agama. Hal tersebut telah termaktub dalam QS Al- Ma’un ayat 1-5 bahwa yang disebut pendusta agama itu yang bagaimana sih? Apa mereka yang meninggalkan sholat? Atau yang tidak menunaikan zakat? Tidak hanya itu ternyata. Didalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pendusta agama adalah ummat yang menghardik anak yatim, tidak menyantuni fakir miskin. Lebih luasnya adalah yang melakukan kedzaliman, menegakkan ketidakadilan sehingga manusia lain rugi atas perbuatannya. Maka semakin sosial sikap manusia, semakin tinggi nilai ketakwaannya.
Semoga Ramadhan tahun ini membawa kebaikan untuk kehidupan bersosial kita. Sehingga nilai ketakwaan tidak dinilai hanya kepada Tuhan saja melainkan kepada sesama manusia.
Wallahu a’lam bish shawab
*Penulis adalah Alumni MA Unggulan Nuris Jember, Mahasiswa Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah IAIN Jember, Kader Putri PMII Rayon Syariah.