Halal Bihalal, Media Silaturrahim Islam Nusantara

Halal Bihalal, Media Silaturrahim Islam Nusantara

Penulis: Cholis Rosyidatul Husnah*

Hasil sidang isbat penetapan 1 Syawal 1440 H jatuh pada Rabu, 05 Juni 2019 M. Seluruh Ummat Islam Indonesia merayakan hari kemenangan / Idul Fitri / lebaran. Tradisi sungkeman, nyekar, berkunjung antarsesama dan halal bihalal pun tak pernah terlewatkan, yang pada intinya beberapa tradisi yang dilakukan adalah sebagai bentuk penyatuan tali silaturrahim antara sesama umat Islam atau sesama manusia dengan memakai cover yang berbeda. Itulah indahnya keberagaman Islam di Indonesia, akulturasi budaya dengan agama sehingga melahirkan beberapa tradisi yang sesuai dengan spirit lahirnya Islam di dunia.

Halal bihalal merupakan suatu tradisi yang unik dan bentuk ciri khas Islam Indonesia yang tidak dimiliki umat Islam di negara lain. Acara halal bihalal dilakukan pada bulan Syawal setelah Idul Fitri. Meskipun pelaksanaan halal bihalal berbeda-beda antara satu daerah dengan yang lainnya, namun sama memanfaatkan momentum Idul Fitri untuk menjalin silaturahim dan sikap saling memaafkan antar sesama yang dikemas dengan acara seremonial.

Dalam lintas historis munculnya halal bihalal dipromotori oleh KH Wahab Hasbullah dan Bung Karno pada tahun 1948 M. Dalam kisahnya masa itu Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun. Hal itu terjadi pada pertengahan bulan Ramadan. Kemudian Bung Karno saat itu memanggil Kyai Wahab untuk dimintai pendapat bagaimana menyatukan mereka. Dawuh Kyai Wahab, adakan silaturrahim pada Idul fitri, kemudian Bung Karno meminta nama agar silaturrahim terkesan berbeda. Singkat cerita Kyai Wahab memunculkan nama Halal Bihalal dengan makna filosofis supaya tidak punya dosa maka harus saling dihalalkan (memaafkan).

(baca juga: Puasa: Upaya Meneladani Sifat-Sifat Tuhan)

Istilah halal bihalal dalam kamus besar bahasa Indonesia hal maaf memaafkan setelah melakukan ibadah puasa di bulan Ramadan, yang biasa diadakan disuatu tempat oleh sekelompok orang. Sedangkan makna halal bihalal itu bermaaf-maafan diwaktu lebaran. Maka, dalam halal bihalal sangat jelas terdapat unsur silaturahim yang secara dhohir tampak dan menjadi tujuan. Prof. Dr. M. Quraish Shihab pengarang kitab tafsir Al Misbah memberi catatan bahwa halal bihalal memiliki tujuan menciptakan keharmonisan antar sesama.

Pada teks suci Tuhan yakni Alquran kata halal yang dituntut adalah yang thayyib yakni halal yang baik lagi menyenangkan. Lebih jelas termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat ke 168.

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا  ۖ  وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ  اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 168). Dengan kata lain teks suci tuhan tersebut menuntut bahwa setiap aktivitas yang dilakukan umat Islam harus sesuatu yang baik dan menyenangkan semua pihak. Maka, dalam Alquran umat Islam dituntut tidak hanya memaafkan orang lain, melainkan berbuat baik kepada setiap manusia yang tidak ada batasannya.

(baca juga: Hari Raya antara Sunnah dan Syiah)

Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa halal bihalal bagian dari media silaturrahim yakni kunjungan dan pemberian tulus. Silaturrahim bukan hanya membalas kebaikan orang lain, melainkan membalas kejelekan orang lain dengan kebaikan atau menyambung hubungan kembali dengan orang yang memutus hubungan persaudaraan. Hal ini sesuai dengan hadis nabi bahwa “Bukanlah orang yang bersilaturahim itu orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturahim adalah yang menyambung perkara yang putus” shohih Bukhori hadis No 5591.

Dari hadis tersebut bahwa silaturrahim itu mendekatkan diri pada orang lain setelah sekian lama jauh, menyambung silaturrahim yang selama ini putus atas nama kemanusiaan. Silaturrahim ini esensi yang terkandung dalam halal bihalal yang dilakukan setelah Idul Fitri. Silaturrahim adalah kebutuhan secara fitrah dan sosial yang dituntut oleh fitrah yang benar dan dicenderungi oleh tabiat yang selamat. Menurut Khalid bin Husain bin ‘Abdurrahman dalam bukunya Silaturahim, Keutamaan dan Anjuran Melaksanakannya terjemahkan Muhammad Iqbal al-Ghazali halaman 3 bahwa dengan adanya silaturrahim akan sempurna hubungan, tersebar kasih sayang dan merata rasa cinta didalamnya. Sehingga halal bihalal dapat dikatakan tradisi yang sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.

Sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap tradisi Indonesia, budaya halal bihalal yang sudah mengakar di kehidupan masyarakat harus tetap dipertahankan dan dilestarikan. Salah satu cara pelestarian tersebut ialah dengan meningkatkan kualitas acara halal bihalal itu sendiri, tidak hanya sebatas dijadikan acara seremonial semata namun harus ada penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam halal bihalal. Bersilaturahim dan sikap saling maaf memaafkan tidak hanya sebatas ikut-ikutan, namun harus benar-benar tulus dari hati nurani untuk meminta maaf dan memaafkan. Sehingga diharapkan nilai filosofis dari halal bihalal tidak hanya terpraktik pada Idul Fitri, tetapi juga pada setiap waktu selalu terjalin silaturahim dan saling maaf memaafkan tatkala melakukan kesalahan.

Wallahu a’lam bish shawab

Penulis adalah Kader Putri PMII Rayon Syariah, Sekretaris Umum Ikatan Mahasiswa Alumni Nuris (IMAN) Jember, Alumni MA Unggulan  Nuris

Related Post