Manusia yang Berkontribusi
Penulis: Lailiatur Rohmah, S.Sy*
Banyak orang berpendidikan tinggi, namun ujung-ujungnya pengangguran. Tapi juga tak sedikit orang dengan pendidikan minim, kesuksesannya meroket jauh melampaui mereka yang pendidikannya selangit. Dari fakta yang bertebaran tersebut, akhirnya beberapa pelajar gamang, apalagi yang malas belajar, menjadikannya berasumsi bahwa sekolah tak menjamin sukses.
Sebenarnya apakah benar asumsi seperti demikian? Tentunya kurang tepat, apalagi kita sebagai muslim mengenal yang namanya:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim laki-laki dan perempuan”
Yang penting menuntut ilmu, yang penting belajar, karena sudah menjadi sebuah kewajiban, jadi nikmati saja prosesnya. Apalagi ilmu agama, belajar tanpa harus disangkutpautkan dengan karier atau penghasilan yang banyak. Toh, kerja keras kita hari ini yang mengantar bagaimana masa depan kita nanti, ditambah seberapa sering doa dilantunkan. Dan bangku yang tengah dinikmati hari ini, sepatutnya disyukuri dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
(baca juga: Di Balik Lemah Genggam Wanita, Pendidikan Pertama Tercipta)
Panggil saja pak Umar Jufri kita ambil contoh, seorang pria juru parkir sebuah kampus di kota Bandung. Pendidikannya berhenti ditingkat SD karena masalah ekonomi, nasib sama yang dialami teman-temannya hingga bahkan sekolahnya tutup gara-gara muridnya habis tak punya biaya. Namun meski demikian nasib pendidikannya, beliau tak apatis dengan nasib pendidikan sekitarnya. Melihat banyaknya anak miskin dilingkungannya, semangatnya justru meletup-letup untuk mendirikan sekolah gratis untuk mereka belajar.
Semangat itu berkobar, baginya tak perlu menunggu kaya, meski pendapatannya hana 50–60 ribu saja per hari, belum untuk biaya keluarganya, beliau sangat optimis untuk mendirikan sekolah gratis impiannya. Karena beliau yakin, rezeki Allah untuknya sangat luas. Seringkali ia mendapat rezeki tak terduga. Memang benar, takdir Allah sesuai dengan persangkaan hambanya. Meski terjal dan berat, berapa banyak orang yang menikmati manfaat dari jerih payahnya.
(baca juga: Tips Jitu Kuat Jalankan Ibadah Puasa ala Santri Nuris)
Dari contoh ini, kita bisa ambil kesimpulan, bahwa paradigma kesuksesan yang diukur dengan seberapa banyak uang yang dihasilkan harus didegradasi, apalagi siswa/santri yang sudah ditunggu kiprahnya oleh negeri. Kesuksesan harus dilihat dari seberapa besar kontribusinya untuk masyarakat, seberapa besar orang bisa menikmati manfaat darinya. Semoga saya dan anda bisa menjadi golongan dari orang-orang yang berkontribusi besar bagi masyarakat.
*Penulis adalah pegiat Pendidikan Bahasa Arab INAIFAS Kencong, Jember