Mudik : Spiritualitas Nusantara
Penulis : Cholis Rosyidatul Husnah*
Keberagaman di bulan Ramadan semakin kental, seiring semakin dekat ujung bulan Ramadan. Ibarat perjalanan manusia sudah memasuki fase akhir di mana fase tersebut hanya tinggal beberapa langkah untuk mencapai pada finish. Maka perlu adanya persiapan untuk mengakhiri bulan penuh berkah ini, dengan beberapa tradisi dan keberagaman yang telah ada sejak zaman leluhur sehingganya sampai saat ini masih tetap harus dilestarikan.
Pemandangan yang tak akan hilang setiap menuju lebaran yakni tradisi mudik. Mudik adalah tradisi yang berlangsung lama pada kultur masyarakat Indonesia. Para pemudik yakni mereka yang hijrah ke daerah lain, kota lain bahkan negara lain untuk bertemu dengan keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat.
Mudik secara hermeneutis artinya proses pengembalian diri pada kebeningan hati, kedamaian laku dan kepedulian terhadap persoalan kemiskinan. Mudik kadang disebut udik yang berarti yang tidak berani mengambil hak milik orang lain. Dengan ini, esensi dari mudik untuk mengembalikan jiwa bersama kondisi geografis tanah kelahiran. Karena tak dapat dipungkiri pemudik adalah mereka dari perkotaan ke desa tanah kelahiran dengan segudang pekerjaan untuk istirahat sejenak dari itu semua, termasuk para mahasiswa.
Tradisi mudik, tidak cukup hanya dikaitkan dengan perayaan idul Fitri, melainkan pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Ada tiga dimensi yang dapat ditilik dari tradisi mudik.
(baca juga: Petahana di Bulan Kedamaian)
Pertama, didalam mudik terdapat dimensi spiritual-kultural. Mudik yang dalam arti Jawa muleh sidik (pulang sebentar) ini tradisi warisan nenek moyang. Dalam hal ini, mudik adalah momentum menjunjung tinggi kelahiran untuk ziarah ke makam para leluhur. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan duniawi tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan yang hakiki kelak. Pun ikatan batin yang hidup dan yang mati tidak bisa terpisah hanya karena jasad telah tiada. Oleh karena itu, ziarah kubur dan mendoakan leluhur adalah sebuah kewajiban. Maka muncullah tradisi nyekar ketika sebelum hari raya saat pulang ke kampung halamannya. Nilai spiritual yang terkandung dalam ziarah ini kemudian berdialektika dengan kuktur yang ada untuk selanjutnya muncul tradisi mudik.
Kemudian yang kedua dari dimensi psikologis. Pulang ke tanah kelahiran bagi para pemudik bukan hanya untuk merayakan hari besar islam atau lebaran bersama keluarga. Melainkan untuk menghilangkan penat dari aktifitas padat pekerjaan. Tak luput bagi mahasiswa, momen liburan kemudian bisa mudik bagian dari menghilangkan penat karena tugas dan kesibukan organisasi kampus. Maka untuk menghilangkan kepenatan itu semua letak geografis tanah kelahiran serta hangatnya kumpul bersama keluarga merupakan salah satu solusinya. Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres dan kepenatan.
Tidak berhenti pada aspek spiritual dan psikologis. Ketiga, dimensi yang terdapat pada mudik adalah sosial. KH. Said aqil siradj ketua PBNU dalam pidatonya menyatakan bahwa merayakan lebaran adalah bentuk ibadah sosial yang didalamnya menyamai spirit nilai spiritual-vertikal. Dimana manusia yang merayakan idul Fitri harus kembali pada kefitrian jati diri kemanusiaannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan ibadah puasa yang telah dilakukan selama satu bulan. Spiritual-vertikal manusia ditempuh dengan ibadah dan akan sempurna jika diimbangi dengan nilai spiritual-horizontal. Silaturrahim menjadi wujud konkret dalam hal ini, mudik seyogyanya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur dan menyambung tali silaturrahim dengan keluarga, saudara, kerabat dan sahabat. Sehingga dapat terjalin kokoh dan kuat ukhuwah antar sesama. Tidak ada kelas strata sosial yang ada semua sama di hadapan Tuhan.
(baca juga: Abu Bakar dan Umar di Mata Rasulullah SAW)
Hal ini sejalan dengan spirit lahirnya islam. Dalam sebuah hadis disebutkan “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Hadis tersebut menjadi spirit bahwa Tuhan dalam hal ini sangat menghargai dan apresiasi terhadap kerukunan dan persatuan hambanya. Nabi Muhammad sebagai promotor kemanusiaan terbaik dunia menganjurkan kepada ummatnya untuk menyambung silaturrahim. Bahkan dalam hadis tersebut tidak disebutkan harus terhadap sesama orang muslim saja, artinya menjalin silaturrahim antar sesama manusia sangat dianjurkan.
Dari goresan pena diatas sangat disayangkan apabila mudik hanya sebagai moment pamer kesuksesan antar sesama, gaya hidup hedonis dan hanya menghamburkan uang saja. Sehingga berakibat pada persoalan mudik dikaitkan dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan, pencaloan dan ketidaknyamanan transportasi. Karena terdapat esensi nilai yang begitu dahsyat dibalik tradisi mudik pada tiap tahunnya.
Wallahu alam
*penulis adalah Kader Putri PMII Rayon Syariah, alumni MA Unggulan Nuris