Penulis: Sirly Qurrotul Aini*
Aku kisahkan padamu, tentang seorang lelaki cina yang tabah menjual kain kepada siapa saja, tak peduli siapapun. Tanpa sepengetahuan dan kesadarannya, kain yang ia jual harus memuncratkan peristiwa mencemaskan, ketika selembar kerudung dan senandung cadar harus berseberangan saling menyalahkan atas nama agama. Lelaki cina itu tergeleng-geleng tak dapat menebarkan ekspresi apapun. Ia tak habis pikir, pertengkaran mereka akibat kain yang ia jual. Bersama ini, kukisahkan padamu tentang seorang lelaki cina yang harus cemas menatap kenyataan yang tak mampu ia pahami sebagai fragmen kehidupan.
Bunga sakura berguguran memenuhi sebentang jalan yang ramai ditebari pejalan kaki. Setangkai sakura menjatuhi wajah seorang lelaki yang tengah memakai bomber cokelat yang cukup kontras dengan kulit pucatnya. Angin mendesir. Damai. Ia tampak menghembuskan napasnya di telapak tangannya seusai menggesekkan kedua bilah tangannya. Cukup dingin. Ia memilih duduk di sebuah kursi panjang, pinggir jalan. Sebagian parsial memorinya tampak megingat ucapan ayahnya.
“Pergilah ke negeri seberang!…”.
Ia hanya mendiami perkataan ayahnya. Ambang keputusannya masih mengambang dan melayang di pikiran. Terlalu banyak yang dipertimbangkan. Timang menimang dalam remang. Sekali lagi ia masih mendesahkan napasnya kuat-kuat di suhu udara berderajat tinggi. Berharap resahnya akan menghilang terbawa lengang.
(Baca juga: Sepotong Sapa Yang Mencenangkan)
—
Sebuah pesawat Airline tampak take off. Suaranya sedikit mendengung di gendang telinga para penumpang yang cukup lengang. Mode pesawat nampak telah terpasang di setiap handphone. Seorang lelaki putih dan bermata sipit tengah memandang kabut awan yang begitu tebal mengangkasa.
“Semoga rencanaku tidak akan sia-sia” ucap hatinya tanpa bersua. Harapannya telah terlihat di kedalaman kornea matanya yang berwarna cokelat lekat.
—
Batang kepercayaan berulangkali menunduk dan menengadah. Kepulan asap dupa semerbak menelisik setiap lelambai helai kain. Membaur seiring lantunan merdu sang penenun. Kelopak matanya menutup demi penghormatan. Tak sedikitpun tercipta derap. Permohonannya membisik di setiap sudut ruangan. Mendesis di sela-sela angin lengang.
Ting tong!!!... Dentang waktu bergemuruh. Menghempaskannya di setiap daun pendengaran. Lelaki berkulit putih masih tercekat likat. Pita suaranya masih tak bersua. Seusai beberapa ketukan jarum jam, ia membuka kelopak matanya. Ia segera meletakkan batang merah nyala dengan sedemikian hati-hati. Langkahnya berpaling. Ia menutup pintu kotak sesembahnya. Batang kakinya tampak menepuk pualam perlahan. Sekilas tempias cahaya menghempas tubuh jangkungnya.
—
Tik-tok-tik-tok…. Jarum jam terus berpacu melewati dimensi waktu. Mengikuti alur yang teratur. Sang penenun tampak begitu khusyuk mengencani tuhannya. “Tuhanku.. anugerahkan kemudahan kepadaku untuk menekuni usahaku. Berikan kekekalan panji-panji yang terdapat dalam diri ini.”
Asap dupa masih mengepul. Bertebaran di antara angin yang tak bersinergi. Udara di sekitar sang penenun tampak tak berkutik. Cukup sembap, namun menyejukkan. Seusai menyelesaikan ritual sesembahnya, ia segera menyiapkan kain dagangannya dan membuka pintu toko kainnya. “Aku yang akan memulai, dan keturunanku adalah penerusku yang tak akan tergerus”. Sabda hatinya. Beberapa saat setelah ia membuka tokonya, seorang lelaki datang. Kedatangannya diambut oleh senyum ramah sang penenun. Liangyi Fengyin.
—
Jalan kota tampak lengang seiring panas mendera kota Kediri. Pepohonan tampak berbaris tegap menghadap jalan. Sebuah mobil Alphard putih menghentikan laju rodanya di depan sebuah pasar. Terlihat hiruk pikuk. Seorang lelaki berjubah putih keluar dari mobil. Sepotong perbincangan tampak terjalin. Dengan sumringah sang pedagang jalanan menjawab untaian pertanyaan. Lelaki tinggi itu segera melanjutkan penjelajahannya di kota antah berantah. Roda berpacu menelusuri jalan aspal yang tak terlalu berpenghuni. Pandangannya tampak mengawasi setiap papan penunjuk jalan. Melampaui setiap batas logistika yang pernah ia sabdakan kepada umatnya. Persepsi yang pernah ia koarkan tampak mendengung di telinganya. Berulang-ulang. Suara rem tampak sedikit mendecit di halaman depan sebuah toko kain. Lelaki berjenggot pirang itu tampak turun dari kendaraannya.
Klining!…. Suara lonceng berdenting tatkala lelaki itu membuka pintu toko kain yang cukup megah tersebut.
“Selamat pagi, ada yang bisa Wo bantu?”.
“Saya ingin membeli kain hitam untuk cadar ”. Tanpa pikir panjang Jianheeng tampak segera mencarikan kain yang diinginkan sang pelanggan.
(Baca juga: Air Mata)
Detik demi detik melampaui porosnya. Hawa malam semakin menusuk rahang wajah seorang lelaki berkulit sawo matang. Ia masih mengawasi jalanan yang tampak suram dengan lampu jalan yang cukup redup. Lelaki berpeci putih tersebut tampak mengawasi gps di handponenya. Mobil Avanzanya tampak menelusuri lorong-lorong jalan yang semakin kosong sebab pinggan gelas waktu yang hampir habis melewati masanya. Bulan masih menggelantung seiring cahaya kemuningnya yang tak asing. Laju rodanya berputar seiring dengan ketukan detik jam tangan yang melekat di tangan kiri lelaki bermata bulat itu. Pepohonan itu melewati mobil yang ia kendarai. Ia menghembuskan napas lega secara perlahan tatkala ia menghentikan mobilnya di depan toko kain.
Klining!…. Denting itu berbisik pada angin malam yang bisu. Seorang karyawan berujar.
“Malam.., ada yang bisa Wo bantu?”
“Saya ingin membeli kain untuk kerudung”. Ucapnya dengan tenang.
—
Tuan Liang tampak terdiam di sebuah kursi singgasananya. Sebuah ketukan terdengar. “Masuk!..” . Terdengar suara pintu berderit. Ia memutar pandangannya ke arah pintu. “Para tamu undangan sudah datang tuan”
“Baiklah, saya akan segera kesana”. Tuan Liang tampak membenarkan arlojinya. Ia segera melangkahkan batang kakinya menuju acara peresmian tokonya dengan tenang. Langkahnya terhenti. Seorang tamu undangan lelaki tampak menarik cadar seorang tamu perempuan. Krashh!!... Mulai kacau. Caci maki terus bersabda di setiap mulut antah berantah. Teriakan bersahut sahutan bagaikan riuh gemuruh. Beberapa lelaki tampak menodongkan senjata kepada lawannya.
Dorr!!..Dorr!!..
Tempias darah memercik. Bau anyir menyeruak dimana mana. Tuan Liang tampak menutup sebilah kelopak penglihatannya. Krakk!!… Bunyi kain cadar telah tersobek egoisme. Bagai remah Tuan Liang membelalakkan matanya kuat-kuat. Nestapa berkemelut di hatinya. Ia segera pergi menuju kotak sesembahnya. Ia tampak mengucap permintaan demi permintaan. Prang!!…. Suara gaduh di luar kotak sesembahnya memecah kekhusyukannya. Hatinya hancur bagai remah yang tak bertuah.
“Tuhanku.. Bagaimana ini?..”. Asap masih mengepul dan mencuat di udara. Berulangkali batang-batang merah nyala itu masih saja menunduk dan menengadah demi memohon. “Tuhan bagaimana dengan ini??..”. ia terbatuk-batuk sebab asap dupanya yang semakin menyala. Membara. Tuhan marah padanya. Kelopak matanya tampak mengeluarkan bulir-bulir bening dengan derasnya. Bahkan membanjiri seluruh batang tubuhnya.
“Tuhan bagaimanaaaaa?!!!!!!…..”. Batang merah nyala membakar kehidupan mereka dengan kejam. Tuhan marah.
Lelaki cina itu semakin cemas. Mengapa mereka yang hanya berbeda cara menutup kepala saja harus berseberangan padahal satu golongan. Apakah iman yang semakin dalam malah menebarkan pertengkaran sampai banjir darah. Lelaki cina itu semakin cemas apakah ia harus tetap menjual kain kepada siapapun? Kisah ini kukisahkan kepadamu sebentuk kegelisahanku kepada semesta, kepada kehidupan kita atau barangkali juga kepada segala air mata.
Penulis merupakan siswa kelas XI IPA MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik