Penulis: Gibran Ramadhan*
Wajahnya semakin kumal, debu dan asap kendaraan menempel diwajahnya, tak hiraukan semuanya olehnya. Awan menggumpal di atas sana bak kambing di tanah padang, cahaya matahari tak begitu terik entah karena matahari lelah memancarkan sinarnya atau memang fenomena alam. Tapi Retno tetap tak menggubris pada sekitar, matanya yang sipit itu masih memandang anak-anak yang sedang pulang sekolah, hatinya bergejolak dia marah atau sedih ratapnya.
“Ijazah SMA,” kata-kata tersebut selalu tergiang di kepalanya, sudah ia usahakan untuk melupakannya, tapi sungguh tak bisa kata-kata tersebut seperti penyakit saja tak mau hilang. Seharusnya dia sekarang menjadi pekerja tetap, tapi gara-gara tak punya Ijazah SMA, ia selalu ditolak, andaikan dia tidak berhenti dulu saat setiap SMA, mungkin lain ceritanya. Tapi buat apa? Nasi sudah menjadi bubur, dia harus bantng tulang agar bisa makan untuk sehari-hari, dan jika dia melihat anak-anak sekolah membuat dia sedih, kepalang sedih malah.
***
(Baca juga: Jalan Lurus)
3 tahun yang lalu
“Buat apa sekolah itu tak ada gunanya, coba kau pikir TK 2 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, jika ditotal jumlahnya 14 tahun kita sekolah, apa yang kita dapat, Nol selalu Nol, apa kalian tidak pernah berpikir, orang lulusan kuliah mereka malah korupsi, mengambil uang rakyat, apa kalian masih belum berpikir,” ujar Retno saat ditanya kenapa dia bolos.
“Menyesal, aku lebih menyesal sekolah uangku habis sia-sia hanya buat bayar SPP yang mahal itu,” tambahnya ketika temannya bertanya apakah dia tak menyesal. Teman-temannya sudah jera dengan kelakuannya, Retno tambah hari tambah tak terkontrol. Entah sebab apa dia memutuskan berhenti sekolah dan merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.
1 tahun disana ia belum dapat pekerjaan juga, dia selalu ditolak karena tak memiliki Ijazah SMA, untuk menghidupi dirinya dia bekerja serabutan menjadi kuli bangunan. Retno masih terus berusaha mungkin ia bisa menjadi mandor pikirnya. Selama dua tahun ia tekuni menjadi kuli bangunan, dengan usaha kerasnya ia terpilih untuk mengikuti seleksi pemilihan mandor, akan terpilih lima orang yang akan menjadi mandor, tak sia-sia usahanya selama dua tahu terakhir.
(Baca juga: Tanya Pada Sisi Jalan Sebuah Tragedi Tersimpan)
Akan tetapi dia mendapar kabar saat seleksi terakhir pemilihan mandor bahwa abunya sakit keras dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Ia bingung, apa dia harus pulang atau tetap mengikuti test terakhir menjadi mandor. Kalau dia pulang maka otomatis dia tidak akan menjadi mandor dan usahanya selama dua tahun tidak ada gunanya, karena keegoisannya mencari kerja, ia meninggalkan ibunya, sebab ia tahu kesempatan ini tak akan datang dua kali dan ibunya akan sembuh dengan sendirinya pikirnya.
Malang tak bisa dihindari, ia kehilangan keduanya, ia tak mendapatkan pekerjaannya menjadi mandor dan juga ibunya, test mandor tersebut mudah sekali, cukup menyetorkan Ijazah SMA, sedangkan retno tak memilikinya, sedangkan ibunya meninggal dunia dikarenakan kanker mematikan yang tak kunjung ditangani.
Sejak saat itu ia menyesal, menyesal sesesal-sesalnya. Mungkin kalu dia mau bersabar dua tahun saja maka dia akan mendapatkan Ijazah SMA dan dia akan mendapatkan pekerjaan, sedangkan ibunya bisa cepat dioprasi.
Kini ia hanya bisa meratap dalam diam, dua kata menyakitkan itu takkunjung hilang dalam angannya.
Penulis merupakan siswa kelas XI IPA MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik.