Penulis: Sofina Adwitya*
/1/ Tuan, aku hanyalah seorang buruh yang paginya merantau untuk berburu kelabu. Agar malamnya dapat pulas pula perut tertidur. Namun, di tengah jalan aku bertemu tuan-tuan sekalian pada pilar pabrik yang menjulang. Tuan dengan jas hitam kekar membuat deru tanah dengan sepatu hitam lekam.
Tersenyumlah tuan,
Hendak berkata dicuci dahulu tenggorokan dengan lembar merah.
“Bekerjalah Kau, kubayar dengan adil,” kata tuan sekalian.
Aku tuan persilahkan
Mengadu nasib di bawah kaki tuan sekalian.
Kehendakku tak banyak,
Hanya ingin kehidupan bak layak.
Sayang, aku masuk kolong jebakan.
(Baca juga:Candu)
/2/
Trotoar beraroma rerempah roti,
Tuan suguhkan pada tadahan tangan arloji kami.
Itu hanya benda mati.
Tak mengurangi jerit lambung jelata kami.
Tunggu..tunggu…tunggu… dan tunggu tuan dawuhkan.
Anak kami menunggu sesuapan.
Maafkan, Tuan…
Aku harus berkoar di atas pijakan.
Suaraku melagu di antara deruan para buruh.
Koar sana koar sini..
Meminta segumpal hak asasi,
Malah dituduh subversif!
Aghh…
Suaraku dan kawanku terisolasi.
(Baca juga: Konstanta waktu)
/3/
Tuan, aku tak memegang bayonet maupun
terompet.
Aku hanya membawa suara
yang direbus sedemikian rupa,
Agar meluap didengar
tuan yang bertahta di atas kepala.
(Tangkap!….)
—-
—- —-
Rana politik kian mengelit,
Sambangan datang
menjemput di rumah tumpangan,
Untuk menghadiri suatu
perhelatan.
Tak tau untuk siapa…
Tak tau kan bagaimana.
Aku diikat pada kursi,
Namun, pekik suara tak dapat disumpal dengan
tuan punya ambisi.
Tenggorokanku masih
melengking,
Nadiku belum mengering.
/4/
Pada perhelatan ini,
Kepalaku ditetak,
Selangkangan ku
teracak-acak.
Hukum diam tak
bergerak.
Namun, Tuan. Suaraku belum hilang,
Masih meraung di antara gununggunung.
Biarlah Tuan sekarang hidup hati tak karuan.
Melihat Namaku
dibalutan jas tuan.
—- —– —
Tuan,
perkenalkan. Aku Marsinah yang bergentayangan di arloji tuan sekalian
Jember, 13
September 2019