Penulis: Kinar Tantri Emeraldin Purwanendra*
Ubin persegi melekat pada trotoar Van Deventer
Di jamahan sungai berjarak sepuluh meter
Dari tempatku mereguk secangkir kopi di Pelataran Dago Pakar
Menghirup dinginnya hujan yang menghangatkan geometri kehidupan berakar
Teorema secangkir kopi mewakili geometri kehidupan ini
Tertata dan tersambung konstanta yang pasti
Tersaji hangat saat mendung bersemi
Di masa lampau atau masa kini
(Baca juga: Keadilan Sang Difisor)
Mempertebal kurva sekelebat cerita perjalanan
Menggeser kordinat pada percintaan, atau ketegangan
Mananjak bersama grafik arus di lautan
Hitam, pahit, namun kau sebut itu titian
Reguklah kopimu selagi masih hangat
Karena variabel kenikmatannya bukanlah tetap setiap saat
Yang ada takdir menghitam secepat kilat
Bersama kisahmu ia beradu cepat
Resonansi teorema secangkir kopi
Aktif, lugas, berfilosofi
(Baca juga: Kurva warna-warni)
Ditakar, dituang, diaduk dengan grafik notasi penuh melodi
Dibidik sesuai kordinat pada tatakan penyaji
Nafasnya yang bergelora menggaung di atas permukaan baki
Desisnya menjerit, direbutnya segmen seribu kelana hati
Letakkan di sini, biar kuhirup elemen itu dengan pasti
Jangan biarkan aku termangu sambil berdiri, menunggui detik berlari
Ah, dia datang…
Jember, 22 Januari 2020, pukul 20.03
Sebuah kedai kopi di Dago Pakar
Penulis merupakan peraih juara 1 lomba puisi matematika 2020 tingkat provinsi, kelas IX SMP Nuris Jember