Aisyah Istri Rasulullah, Korban “Lambe Turah” di Zamannya

Penulis: M. Iqbal Fathoni*

Hari ini sedang viral lagu bertajuk “Aisyah Istri Rasulllah”. Saya tak begitu mengenal siapa pencipta lirik dan nada dari lagu tersebut, satu hal yang pasti adalah bahwa muda-mudi tengah bertaburan meng-cover lagu tersebut dan mengunggahnya pada akun sosial media mereka masing-masing.

Hal ini sangatlah positif, mengingat saat ini kita juga berada di bulan sya’ban yang menurut sebagian pendapat ulama merupakan bulannya Rasulullah Saw. Lagu tersebut dapat membantu penyanyi atau pendengarnya untuk mengingat kembali sirah (sejarah) kehidupan manusia termulia di muka bumi, yang dalam hal ini lebih spesifik pada kisah romantisme antara Baginda bersama istrinya yang paling belia, Aisyah, putri dari sahabat terdekat Nabi yakni Abu Bakar as Shiddiq.

Terlepas dari kedekatan Nabi dan Aisyah sebagaimana digambarkan dalam lirik lagu di atas, ternyata beliau berdua pernah mengalami salah satu kasus yang bisa dibilang membuat keduanya ‘tidak baik-baik saja’.

Diceritakan bahwa pada satu kesempatan Aisyah pernah mengikuti perjalanan Nabi dalam suatu ekspedisi penaklukan Bani Al Musthaliq. Sepulang dari ekspedisi tersebut, rombongan kembali bersama-sama menuju Madinah setelah sebelumnya beristirahat di satu tempat. Namun, ternyata Aisyah tertinggal dari rombongan.

Hal ini disebabkan karena sebelum rombongan berangkat menuju Madinah, Aisyah turun dari hawdaj-nya untuk mencari kalung yang diketahuinya telah tiada/lepas dari lehernya. Itu merupakan kalung paling berharga miliknya, kalung yang dihadiahkan oleh ibunya pada hari pernikahannya bersama Nabi dulu.

(baca juga: Tips Menangkal Virus Corona sesuai Syaruat Islam)

Dia terus berusaha mencari dan akhirnya menemui kalung tersebut tergelatak di atas pasir yang posisinya agak jauh dari lokasi peristirahatan rombongan Nabi tadi. Setelah itu Aisyah segera bergegas kembali menuju tempat peristirahatan rombongan untuk kembali ke hawdaj-nya. Pada saat Aisyah kembali ke tempat rombongan berada, tempat tersebut sudah senyap dan rombongan pun telah berangkat.

Aisyah terpaksa terus berjalan untuk menyusul rombongan hingga tiba saat ia merasa kakinya sudah tak kuat lagi berjalan, rasa kantuk pun mulai mendatangi dirinya hingga akhirnya ia tersungkur ke tanah.

Singkat cerita, rupa-rupanya terdapat salah satu sahabat nabi yang bernasib sama dengan Aisyah. Ia adalah Shafwan bin Mu’aththal, yang juga tertinggal dari rombongan Nabi. Mendapati Aisyah, istri Rasulullah Saw. yang tergeletak di tanah, Shafwan terkejut bukan main. Terjadi sedikit perbincangan antara keduanya hingga akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan bersama.

Dalam perjalanan tersebut posisi Aisyah berada di atas unta sedangkan Shafwan berjalan di depan sekaligus menuntun unta dengan penuh kehati-hatian, dalam rangka memberikan pelayanan terbaik untuk istri Baginda Nabinya tersebut.

(baca juga: Mudik, Spiritualitas Nusantara)

Sesampainya di Madinah, Aisyah merasa badannya tak sebaik biasanya. Oleh karena itu, ia meminta izin pada Rasulullah Saw. untuk pulang ke rumah kedua orang tuanya (dengan harapan Rasul tak akan memberikan izin supaya Rasul sendiri yang merawat dan berlama-lama di bilik Aisyah). Namun ternyata, tanpa banyak basa-basi Rasul pun mengiyakan apa yang dikehendaki Aisyah, pada saat itu pula Aisyah mendapati mimik wajah Rasul yang tak biasa, seolah ada pikiran yang menganggu beliau. Aisyah pun pulang menuju kediaman kedua orang tuanya dalam keadaan hati bertanya-tanya.

Pada suatu sore, setelah beberapa hari beristirahat di kediaman orang tuanya. Aisyah hendak menghirup udara segar dengan ditemani salah seorang kawannya. Sesampainya di halaman depan rumahnya, ternyata Aisyah mendapati kabar yang tak baik dan tengah ramai diperbincangkan para sahabat, yakni tentang anggapan adanya perselingkuhan antara Aisyah dan Shafwan bin Mu’aththal pasca ekspedisi kemarin. Tentu hal ini membuat hati Aisyah begitu resah, ia dan kawannya pun segera kembali menuju ke rumah bersama tangis yang tak mampu ia bendung lagi.

Kabar tersebut merebak dan membiak hingga sekitar satu bulan. Nabi pun mencoba mendatangi rumah sahabat sekaligus mertuanya, Abu Bakar Ra. Sesampainya di sana, Nabi mendapati Abu Bakar Ra. dan istrinya, Ummu Rumman, beserta seorang perempuan Anshar dan tentunya Aisyah, yang kala itu tengah menangis. Nabi pun bersabda; “Tiada Tuhan selain Allah. Wahai Aisyah, aku telah mendengar kabar tentang dirimu dan Shafwan, apabila engkau tak bersalah niscaya Allah akan mengumumkan bahwa engkau tak bersalah, tetapi apabila sebaliknya, maka bertobatlah dan meminta ampun kepada-Nya, Allah pasti akan mengampuninya.”

Mendengar kalimat Rasulullah, tangis Aisyah semakin menjadi-jadi, ia merasa diragukan kejujurannya. Dia mencoba meminta pembelaan terhadap ayah dan ibunya, namun keduanya menjawab hal yang sama, yakni “Aku tidak mengeti apa yang harus kukatakan” karena merasa tak ada yang berpihak padanya, Aisyah pun meninggalkan mereka semua dan berbaring di tempat tidurnya.

Beberapa saat setelah Aisyah masuk ke kamarnya, Abu Bakar Ra. melihat diri Rasulullah yang tiba-tiba pucat wajahnya, keringat bercucuran dari keningnya. Abu Bakar membatin; ‘apakah Jibril sedang mendatangimu dan menyampaikan kalimat-kalimat Tuhanmu wahai Rasulullah?’. Namun, setelah itu, Rasul bukan saja menegaskan bahwa Aisyah tidak bersalah tetapi juga mengecam secara keras terhadap orang-orang yang menuduh sembarangan tanpa menghadirkan bukti yang jelas.

Wajah Nabi pun kembali bersinar seraya berkata “Aisyah, segala puji bagi Allah, karena Dia mengumumkan bahwa dirimu tak bersalah”. Kemudian Abu Bakar Ra. memberikan isyarat pada istrinya untuk membangunkan Aisyah dan segera menemui Rasulullah. Setelah itu Aisyah pun bangun, namun tidak memperlihatkan reaksi yang berlebihan kemudian dengan setengah menggerutu ia berkata, “Aku tak akan menemuinya atau berterimakasih kepadanya, aku juga tidak akan berterimakasih kepada kalian berdua yang sama sekali tidak membelaku setelah mendengar fitnah itu, aku hanya akan bangkit dan berterimakasih kepada Allah Swt.”

Setelah itu, segera Rasulullah mengumumkan ayat-ayat baru yang membersihkan nama Aisyah dan mengutuk pemfitnah yang menyebarkan berita bohong mengenai dirinya. Ayat ini kemudian diabadikan dalam QS. An Nur ayat 11 dan beberapa ayat setelahnya, yang lebih dikenal dengan sebutan “Ayatul ifki”.

*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2016 yang sedang melanjutkan studi sarjana di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Related Post