Tantangan Literasi Santri di Era Globalisasi [Membaca Epilog Masa Lalu untuk Masa Depan]

Penulis: Faiq Ihsan Anshori, Lc. MA.Hum*

Disampaikan pada Seminar Pesantren “Ikhtiar Mengembalikan Kejayaan Santri” bertempat di Pesantren Nuris Jember, Jawa Timur

08 September 2017 M

EPILOG PERADABAN

Al Qur’an dan Hadits menjelaskan berkali-kali tentang urgensitas ilmu pengetahuan. Tanpa kunci pengetahuan kehidupan manusia niscaya menjadi tidak punya orientasi kehidupan sebagai makhluk Tuhan yang memikul amanah di muka bumi ini.

AlQur’an memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi dan menjadikan jaminan masa depan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Islam datang ke nusantara tidak dengan jalan penaklukan atau rekrutmen doktrin melainkan melalui jalur damai proses kebudayaan secara alamiah dengan memberi sentuhan nilai Islam pada kebudayaan sebagai tradisi kerifan lokal.

Tradisi Keilmuan Islam di pesantren (Islam Nusantara) bersumber dari dua gelombang

Pertama, gelombang pengetahuan keislaman yang datang ke Nusantara abad ke-13 M ditandai dengan bersamaan penyebaran Islam bercirikan tasawuf tentang hakikat manusia dan kehidupan akhirat.

Kedua, gelombang pengetahuan Islam abad 18 M ketika para ulama kawasan Nusantara menggali ilmu di kawasan semenanjung Arabia khususnya di Mekah dan mendirikan pesantren-pesantren besar bercirikan humanis kepada pemekaran pengertian kehidupan dan kebangsaan

Ketiga, pesantren adalah sebuah bentuk kebudayaan dan buah rahim hasil peradaban nusantara

Keempat, pondok pesantren merupakan satu-satunya warisan lembaga pendidikan yang diprakarsai oleh para habaib, para ulama, para kyai dan para cendekia yang lahir dari bumi pertiwi dan tumbuh dari khasanah budaya nusantara.

Kelima, pesantren merupakan lembaga pengkaderan paling kuno dan terbaik dalam mewujudkan anak bangsa berkarakter hubul wathan minal iman, yakni nasioanalisme bagian keimanan Ekpresi Islam Rahmatan Lil Alamin Hadir di tengah kemajemukan

Keenam, masyarakat Indonesia sejak dahulu kala dengan etnis suku, agama dan bahasa.

(baca juga: Aisyah Istri Rasulullah, Korban “Lambe Turah” di Zamannya)

SUMBANGSIH PESANTREN UNTUK NEGERI

Peran serta dan kontribusi nyata Pondok pesantren, telah melahirkan anak bangsa berkualitas yang memberikan andil besar lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga nilai nilai Islam telah mengilhami Dasar Negara Pancasila dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia,

PANDANGAN BARAT TERHADAP ISLAM (INDONESIA)

Sebuah hipotesa menarik dan masih relevan hingga kini adalah teori berikut:

Pertama. Orientalis Ernast Renan abad 18 berujar sinis:

“Islam bagi Eropa merupakan suatu hal yang sama sekali tidak ada; Islam adalah fanatisme, seperti di Spanyol pada zaman Philip II dan Italia pada zaman Paus Pius IV Islam hampir tidak dikenal… Islam merupakan mata rantai yang paling berat dibicarakan umat manusia” (G.F Pijper, Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 (1984): 101)

Kedua. Orientalis G.K Nieman menaruh perhatian pada Islam Indonesia sebagai representasi Islam dunia berkata:

“Sangat mungkin bahwa segala kesederhanaan yang terdapat dalam agama Islam justru merupakan jaminan bagi kelangsungan kehidupan yang langgeng” (G.F Pijper, Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 (1984): 102)

HASIL HIPOTESA

Pendapat pertama gugur. Hipotesa yang menyatakan peradaban Islam akan tamat diguncang zaman tidak mampu bertahan. Bahkan Islam sejauh ini makin berkembang dan bertahan. Nyatanya agama ini memiliki daya pikat dalam menawarkan perbaikan-perbaikan zaman dan juh dari tradisi kaku yang menutup peluang bagi perkembangan zaman.

Islam mampu melewati batas itu dan mempu mengolah ide-ide modernitas seperti pada abad 19 yang melahirkan banyak pembaharu Muslim, seperti Muhammad Abduh dan murid-muridnya serta Soekarno, Hatta, H. Agus Salim, Wahab Hasbullah, Wahid Hasyim dan lain-lain.

Indonesia mengalami fase sejarah dari masa keemasan raja-raja Islam (14 M-17 M) hingga lahirnya pergerakan nasional yang dimotori oleh para cendikia Muslim (18-19 M).

MENDUDUKAN HABITUS LITERASI SANTRI

Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Literasi merupakan jantung kemampuan siswa untuk belajar dan berhasil di sekolah. Juga dalam menghadapi berbagai tantangan pada abad 21.

Literasi adalah bagian dari ilmu komunikasi dakwah

Strategi dakwah kaum santri dan pesantren adalah melek literasi dan ICT

Milan Kundera yang seorang novelis asal Republik Ceko pernah berujar “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.”

(baca juga: Habib Munzir: Pendakwah Lembut dalam Islam)

TANTANGAN LITERASI

Dalam survei data statistik UNESCO pada tahun 2012 presentasi minat baca Indonesia sebanyak 0,001%. Hal ini berarti dari 1.000 penduduk hanya satu orang saja yang memiliki minat baca.

Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara tersebut.

Tidak dipungkiri rendahnya tingkat literasi di Indonesia dikarenakan minimnya akses buku. Tidak semua lembaga pendidikan bahkan daerah memiliki perpustakaan yang layak. Walaupun demikian faktor minimnya minat baca juga dipengaruhi oleh kurangnya pengenalan buku sejak dini baik dari orang tua ataupun pendidik di lembaga kependidikan.

FAKTOR RENDAHNYA BUDAYA LITERASI

Kebiasaan Membaca Belum Dimulai Sejak Dini

Perkembangan Teknologi yang Makin Canggih

Sarana Membaca yang Minim

Sikap Malas untuk Mengembangkan Gagasan

Kurang Motivasi untuk Membaca

KONDISI LITERASI DI INDONESIA

Literasi Indonesia urutan 64 dari 65 negara

Tingkat membaca siswa, Indonesia urutan ke 57 dari 65 negara (PISA, 2010)

Indeks minat baca : 0,001 (setiap 1.000 penduduk hanya satu yang membaca)

Tingkat melek huruf orang dewasa : 65,5 persen (UNESCO, 2012)

SOLUSI LITERASI

Hilangkan mental inferior di hadapan Barat

Budayakan slogan BACA BACA BACA di setiap kesempatan

Membaca tidak selalu identik dengan tulisan latin bahasa Indonesia

Francis Bacon yang seorang filsuf asal Inggris berujar: “Pengetahuan adalah kekuatan”

Bung Hatta secara khusus menempatkan pembacaan teks sebagai alat pembebasan belenggu ahistoris dan kebodohan, tokoh besar pergerakan Indonesia “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Tan Malaka dalam Madilog-nya juga pernah berujar soal ini. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Reading society menjadi prasyarat utama menuju advance society

Judul buku baru terbit di Indonesia sebesar 0,0009 persen total penduduk Indonesia sebanding dengan 9 judul buku per 1 juta

Indonesia berada pada posisi 34 dari negara minat baca rendah dan berada posisi lebih baik dibanding Qatar, Kuwait, Afrika

literacy (keberaksaraan) merupakan kunci gerbang ilmu pengetahuan dan modernisasi serta kemajuan bangsa

illeteracy (ketidak beraksaraan) identik dengan kemiskinan dan kebodohan

Gerakan Pesantren Membaca (GPM) adalah upaya santri dibaca dunia!

CATATAN [tanpa] AKHIR

Masihkah kaum santri berkutat pada data-data riset yang miris tadi mengenai kondisi literasi Indonesia?

Lantas, apakah kita hanya sebagai penonton saja tanpa ikut berjuang bersama pada pejuang-pejuang literasi dengan membawa tujuan, menyebarkan semangat literasi? Jawaban itu hanya ada pada diri kalian

Tugas kaum santri adalah motor penggerak peradaban dan berperan dalam andil pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan.

Kelezatan membaca akan didapat ketika menguasai dan memiliki modal ilmu pengetahuan

Jadikan gerakan literasi santri sebagai kebutuhan primer!

Mari membaca karena buku adalah jendela dunia!

Mari menulis karena tulisan adalah pengikat ilmu!

Sebarkan panji santri dengan kerja peradaban untuk Indonesia dan dunia!

*penulis adalah pengurus Masjid Istiqlal Jakarta dan Mantan Pimred Arus Kampus Mesir

Related Post