Mengenal 7 Maqam dalam Tasawuf Abu Nasr As Sarrraj

Penulis: Achmad Syuja’I, S.Pd*

Salah satu ajaran yang masih dianggap tabu sampai sekarang adalah tasawuf atau sufisme. Ada yang mengatakannya bukan ajaran Islam, bahkan ada yang menganggapnya ajaran sesat. Akan tetapi, jika kita pelajari lebih dalam sebenarnya tasawuf tidak seperti yang disangka oleh banyak orang. Memang ada beberapa aliran dalam tasawuf yang ekstrim, tetapi ada juga yang masih sejalan dengan syariat.

Salah satu konsep yang saat ini sering disalahartikan oleh masyarakat adalah tarekat.  Tarekat dalam pengertian saat ini adalah sebuah kelompok atau komunitas tertentu yang memiliki ritual atau bacaan dzikir khusus yang diajarkan oleh mursyid (guru tarekat) mereka. Padahal kalau kita tarik lagi ke definisi awal dari tarekat dengan mengacu pada pendapat As Sarraj (dalam kitab al Luma Fi Tasawwuf), tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi yang hendak menuju pincak spiritual.

Dalam kitab Al Luma Fi Tasawwuf yang ditulis oleh Abu Nasr As Sarraj disebutkan bahwa maqam atau tingkatan spiritual ada 7.

(Baca juga: Kontradiksi pasal 1 uu no 23 tahun 2004 dengan hukum islam)

Pertama, tobat. Tingkatan pertama adalah tobat. Dalam hal ini tobat dijelaskan sebagai kesadaran akan kesalahan dan dosa dan ada keinginan yang kuat untuk meminta ampunan kepada Allah dan janji yang kuat pada diri sendiri untuk tidak mengulangi lagi kesalahan dan dosa yang lalu.

Kedua, Wara’. Perilaku wara diartikan sebagai meninggalkan segala sesuatu yang subhat (tidak jelas asal usulnya). Dalam pengertian ini yang dimaksud dengan segala hal yang tidak jelas asal usulnya adalah yang menyangkut dengan sesuatu yang dimakan atau yang dikenakan oleh seorang sufi. Misalnya, seorang sufi akan menolak makanan yang tidak jelas asal usulnya atau ada kemungkinan ia berasal dari sesuatu yang haram. Contoh konkretnya makanan yang diberikan oleh pejabat pemerintah. Ada kemungkinan bahwa makanan itu berasal dari sesuatu yang haram, seperti korupsi dan sebagainya.

Ketiga,  Zuhud. Perilaku zuhud diartikan sebagai meninggalkan segala sesuatu yang menyangkut urusan duniawi, misalnya harta benda dan sebagainya. Dalam hal ini sufi sangat dilarang mencintai dunia karena hal itu bisa melalaikan mereka dari Allah SWT.

(Baca juga: Anda wajib zakat yuk baca penjelasan ini)

Keempat, fakir. Fakir di sini bukan berarti orang yang tidak punya penghasilan tetap dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi, fakir di sini berarti prinsip yang diyakini oleh sufi bahwa tidak ada yang ia butuhkan di dunia ini selain Allah dan ia tidak punya apa-apa di dunia ini kecuali hanya Allah.

Kelima, sabar. Sabar dalam pengertian ini adalah sabar dalam menghadapi ujian, sabar dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT, dan sabar dalam meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah. Perilaku sabar ini dapat juga diartikan menahan diri segala kekecewaan dan sebagainya atas keputusan yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Keenam, tawakkal. Tingkatan keenam adalah tawakkal yang berarti berserah diri kepada Allah SWT. Dalam hal ini seorang sufi akan menyerahkan segala yang terjadi pada dirinya kepada Allah. Dengan adanya perilaku tawakkal itu akan membawa pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu ridha.

Ketujuh,  Ridha. Ridha adalah puncak dari maqam atau tingkatan spiritual seorang sufi. Ridha dalam hal ini adalah kepuasan dan kebahagiaan atas apa saja yang terjadi dalam hidup. Artinya, seorang sufi itu bahagia meskipun hidupnya miskin dan sengsara karena yang ada dalam pikiran dan hatinya adalah kebahagiaan karena dekat dengan Allah SWT.

Itulah 7 maqam dari tarekat atau jalan yang ditempuh oleh seorang sufi yang dapat meluruskan kembali pandangan kita tentang ajaran tasawuf. Ajaran tasawuf bukan ajaran sesat selama masih sejalan dengan syariat. Justru ketika kita menjalankan perintah agama dengan tidak dibarengi dengan menjalankan laku tasawuf akan mengakibatkan kekeringan spiritual. Artinya, ibadah kita hanya fokus pada yang lahir saja. Meminjam kalimat Alm. Kuntowijoyo, sastrawan Indonesia, menjalankan perintah agama tanpa tasawuf seperti makan pil dan suplemen makanan. Kita memang mendapatkan kandungan gizinya, akan tetapi kita tidak dapat merasakan kenikmatannya.

Sumber gambar: umrah.com

Penulis merupakan staf pengajar Bahasa Indonesia di SMK Nuris Jember

Related Post