Penulis: Iffah Nurul H*
Suara kendaraan di luar berdesing ricuh. Debu-debu terbang berhamburan menyusuri jalanan. Hari ini cuaca sangat terik, membuat suhu ruang tak lagi menempati batas normal. Murid-murid kelas VIII terkapar. Mereka mengeluh pada siang yang panas ini. Beberapa membuat angin dengan cover buku yang sudah sobek.
Lain dengan Femas, siswa yang merupakan ketua dari Ekskul PMR tersebut punya cara tersendiri untuk mengatasi peluhnya. Femas mengganti seragamnya dengan kaus lengan pendek berwarna abu-abu, kemudian merebahkan diri ke lantai. Tak akan ada yang melarangnya kelas sedang kosong seluruh pengajar sedang rapat bersama kepala dinas pendidikan. “Fem pulang sekolah nanti lansung ke markas ok!” ajak Arya. Tak ada respon dari mulut Femas yang sibuk memainkan gadged-nya, ia hanya mengacungkan jempol sebagai tanda persetujuan.
Pukul 12:30 siswa-siswi SMP Tunas Bangsa dipulangkan lebih awal. Sementara Femas, Arya, Alan, Wildan dan Bintang memilih menunggu sampai keramaian dari sekolah mereka hilang. Pepohonan besar nan menjulang tinggi mengiringi jalan mereka, membuat teduh. Mereka bisa merasakan kesejukan dari oksigen yang mengalir membanjiri paru-paru. Seketika Femas dan lainnya memotong jalan, berbelok ketika mendapati sepetak sawah tandus tak terpakai. Mereka benar-benar hafal dengan jalan yang akan mengantar mereka menuju rumah kayu yang berdiri kokoh bersama ilalang-ilalang liar disekitarnya. Mereka telah tiba.
Tenang saja markas itu bersih dari barang nista. Mereka bukan pelajar nakal yang sering tawuran dan mabuk-mabukan. Martabat mereka masih terjunjung tinggi di sekolah, mengingat mereka termasuk dari siswa yang berprestasi. Tampak lelah, Alan menghempaskan dirinya begitu saja ke kasur berdipan kayu, lainnya asyik bercengkrama membahas kejadian di sekolah tadi. “dunia makin hari makin bikin resah,” ucap Bintang yang menampakkan wajah khawatirnya. Sekarang sedang gempar, dimana mana banyak bencana menimpa membuat nestapa beruntun menyerang dunia. “efek menjelang kiamat kali,” sahut Alan ceplos sambil berbalik arah menatap para sahabatnya. Alan masih di posisi tidurnya. Femas hanya geleng-geleng menanggapi Alan, lantas beranjak dan membersihkan markasnya yang sudah mulai kotor. Sadar bahwa Femas butuh bantuan, Alan pun bangkit disusul lainnya ikut membantu. Sesuai peraturan yang sudah dibuat, mereka pulang sebelum cahaya senja tampak.
###
Jingganya fajar mulai tampak malu-malu. Perlahan-lahan suhu meleleh. Ibu-ibu rumah tangga baru pulang dari tempat shopingnya. Femas terlihat kesulitan membawa satu bak berisi air penuh. Airnya sedikit berkurang, karena sempat tumpah beberapa kali saat dibopong olehnya. Ia dibuat terheran heran oleh terasnya yang masih saja kotor, bukannya mama Femas sudah membersihkannya tadi. Ia bertambah heran ketika sadar bahwa yang mengotori rumahnya bukanlah debu atau pun jenis tanah disekitar rumahnya, melainkan abu berwarna kehitaman. “Ma lantai emang belum disapu ya?” Femas bertanya sembari berteriak. Lama ia menunggu namun mamanya tak kunjung melemparkan sepatah kata. Lantas ia mengurungkan tindakannya untuk memberi kesejukan pada puspa-puspa manis itu. Femas mengmbil langkah memasuki rumah. Mencari mamanya yang sedari tadi tak menyahut. Bagaimana akan menyahut sekarang Femas melihat mamanya sedang duduk manis di sofa, matanya nyaris tak berkedip terfokus pada berita di layar televisi. Femas membuka lebar-lebar telinganya bersiap menyaring suara dari televisi tersebut. Seketika ia terkejut. Ia susah payah menelan ludahnya. Layar televisi itu menampakkan jelas kondisi Gunung Merapi yang sedang erupsi. Lahar panas menyapu apapun yang ada di dekatnya. Femas membatin sekarang, bukan mamanya yang belum manyapu. Namun, angin membawa abu vulkanik itu terbang kemari. Ia mendesis resah. Sekolah diliburkan sementara waktu.
###
“Kenapa Fem? Mendadak banget!” Wildan baru saja tiba, ia melepas maskernya menghindari abu vulkanik yang masih nakal berterbangan kesana kemari. Tanpa pikir panjang Wildan langsung menempati posisinya, bergabung bersama mereka yang telah lama tiba. Femas mulai membuka mulut, menjelaskan maksud pertemuan hari ini. “kalian semua pastinya sudah dengar perkara mengenai bencana gunung meletus tadi pagi bukan?” lainnya menganggukkkan kepala. Femas menarik nafasnya dalam dalam kemudian melanjutkan pembicaraannya. “mereka di sana butuh kepedulian kita. Ini tugas kita yang masih sadar dengan persaudaraan sebangsa!” tukas Femas yang langsung ditanggap baik oleh kelima sahabatnya.
Mereka sibuk menyiapkan ini dan itu. Mereka langsung terjun ke jalanan meminta sumbangan kepada warga yang masih peduli. Bintang terlihat paling antusias berjalan dari satu mobil ke mobil lainnya. Wajah bintang semeringah meminta dengan sopan. “awww” Bintang meringis kesakitan, sebuah sepeda motor baru saja menyerempet Bintang. Yang menabrak tadi lari, entah kemana. Bintang masih bisa berdiri tegak, beruntung tak sampai terluka parah. Tak lama mama Bintang datang, membawanya pulang setelah puas menceramahi Femas dan yang lain di depan umum, dia tahu apa yang terjadi dengan putranya.
(Baca juga: Anugrah tuhan)
Mereka memandang mobil mama Bintang yang sudah tak terlihat. “sebaiknya kita teruskan, keburu malam. Kalau Bintang sudah baikan pasti dia kembali ikut,” entah apa yang merasuki tubuh Femas sedari tadi ia selalu menggebu-gebu. Femas melanjutkan langkahnya, tetapi tak satu pun dari mereka mengikuti. Merasa ada yang mengganjal, Alan menepuk pundak Femas membuatnya menghentikan langkah.
“sudahi saja Fem, kita nggak mau ambil resiko lebih jauh lagi. Kita takut ada lagi yang mengalami hal seperti Bintang, malah bisa lebih parah!” Alan lantas melangkah mundur hendak meninggalkan Femas
“pergi saja sana aku nggak perlu bantuan dari kalian!” kata Femas, ucapannya menohok kawan-kawannya.
“Fem, Alan ngomongnya baik-baik kamu kok nyolot gitu sih?” Arya maju kembali mendekati wajah Femas.
“udah Yak!” Wildan hendak menarik tangan Arya, namun Arya menepisnya terlebih dahulu. Tangan Arya mengenai keras ke wajah Wildan, sudut bibirnya mengeluarkan darah.
“eh, sorry Dan, aku nggak sengaja!” Wildan mendecak kesal, menatap Arya tak nyaman. Ia pergi sembari memegangi bibirnya yang berdarah. Pertengkaran baru terjadi, Alan menatap kecewa lantas pergi menyisakan dua orang disana. Femas masih menatap tajam Arya yang akhirnya pergi membekaskan amarah. Femas tak segera beranjak. Ia lelah.
###
Suasana kelas Femas sunyi, mereka masih tak bertegursapa sejak dua hari lalu. Femas tak menyerah dia memutuskan untuk tetap membantu saudara sebangsanya, meski hanya sendiri. Arya tahu setiap harinya Femas meminta bantuan sendiri dijalanan, ia iba. Arya pun menggenggam kembali kawan-kawannya, meminta untuk membantu Femas yang pastinya kesusahan tanpa teman.
Terlihat disana Femas menyusuri panasnya jalanan. Arya, Wildan, Alan dan Bintang mendekati Femas, menyapa pengguna kendaraan bermotor yang hendak Femas mintai sumbangan. Arya dan yang lain berhasil menarik hati pengguna kendaraan motor tadi, pengendara itu memberikan cek dengan jumlah yang amat besar. “anak muda dijaman seperti kalianlah yang pantas untuk mewarisi negri ini. Dijaman modern ini, pemuda mana yang masih memiliki kepedulian antar sesama. Mereka asyik memainkan gadget, enggan peduli terhadap sekitarnya” pengendara tersebut tersenyum lantas berlalu. “maaf aku egois” Femas tertunduk penuh penyesalan. “kamu nggak salah Fem, kita yang salah. Udahlah, kejadian kemarin lupakan. Kita masih dibutuhkan oleh mereka yang tertimpa bencana” sela Alan yang pura-pura meninju Femas. Senyum kelima sahabat tersebut mengembang. Mereka berjanji akan menjadi seperti yang diharapkan oleh negri ini.
###
Siang itu mereka kembali berkumpul di markas untuk menghitung hasil kerja keras mereka. Bintang, Femas, Wilda, Alan dan Arya duduk melingkar saling berhadapan di atas dipan.
“uang recehan totalnya Rp. 137.500,” ujar Alan sembari memasukkan uang recehan kembali ke dalam wadah.
“berarti total keseluruhannya Rp. 553.500 setelah ditambah dengan uang recehannya,” tambah Bintang setelah memencet tombol samadengan di kalkulator gadgetnya. “Alhamdulillah lumayan banyak juga ya hasilnya, lalu akan kita kirim lewat apa ini?” mereka saling bertatapan, sejak awal mereka tak pernah memikirkan bantuan ini akan mereka berikan lewat siapa? Apalagi mereka masih SMP mana mungkin diperbolehkan datang langsung ke tempat pengungsian. Femas meraih gadgetnya lantas membuka google, mencoba mencari cara. Dia tersenyum simpul setelah menemukan sebuah poster lengkap dengan alamat email dan nomor telepon pembuat poster. “wahai kawan-kawanku betapa kolotnya kita semua,” ujar Femas sembari menunjukkan poster ke arah teman-temannya. “iya juga ya, sekarang kan sudah jamannya fb, line, wa, dan segala macam nya tentang internet kita bisa lebih mudah mendapat banyak dana lewat aplikasi ini, ya sudah mari kita buat poster dan posting di social media masing-masing, untuk rekening bank nya biar aku bilang mamaku, pasti mama mau bantu,” ujar Wildan girang.
(Baca juga: Juni yang merindu)
“sepakat,” ujar yang lain kompak. Femas lantas menepuk punggung Bintang, “kalau tau begini kau tak perlu repot-repot di jalanan sampai terserempet motor,” Bintang tersenyum lantas menjitak kepala Femas. Femas menghindar lantas berlari, “hei mau kemana kau si pemilik ide brilian tapi telat,” ujarnya lantas mengejar Femas. Teman-teman lainnya hanya tertawa melihat kelakuan Femas dan Bintang.
Penulis merupakan siswa kelas XI IPA MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik dan penulisan kreatif sastra