Penulis: Deli Annisa Virca*
Menurut Wikipedia, difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
(Baca juga: Belajar dari Sri Izzati: Penulis muda yang kaya karya)
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental.
Dalam masyarakat tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas memiliki masa depan yang kurang cemerlang, karena mereka cacat, berbeda dengan manusia normal. Hal tersebut tentu saja tidak benar, karena pada era sekarang ini yang semakin canggih tidak sedikit para penyandang disabilitas yang berprestasi serta sukses berkarier, maupun dalam pendidikan. Salah satu penyandang disabilitas tersebut adalah Angkie Yudistia.
(Baca juga: Sule yuksel senler: pembela kaum berjilbab dengan kekuatan pena)
Angkie Yudistia, merupakan salah satu dari 13 staf khusus presiden RI Joko Widodo. Ia merupakan penyandang disabilitas yang sejak umur 10 tahun kehilangan pendengarannya. Angkie tuli awalnya diduga karena konsumsi obat-obatan antibiotic, saat ia mengidap penyakit malaria.
Menjadi penyandang tunarungu diusia remaja bukanlah hal mudah bagi Angkie. Ia kerap merasa tertekan dan tak percaya diri. Perlu waktu 10 tahun baginya untuk bangkit. Kehidupan kampus jadi titik balik Ia bersekolah di SMAN 2 Bogor dan kemudian melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi di London School of Public Relations Jakarta. Kehidupan di kampus itulah yang kemudian sedikit demi sedikit mengubah pola pikirnya.
Berawal dari perkataan dosen di kampusnya yang bilang “Kamu jujur sama diri kamu sendiri. Kalau kamu sudah jujur sama diri sendiri dan jujur sama orang lain, orang lain akan mengapresiasi kejujuran kita. Jadi benar, ketika aku jujur, mereka jadi sangat bantu,” Dari sanalah ia menyadari bahwa sudah saatnya disabilitasdianggap setara. Bila ia tidak pernah menerima kekurangannya, sampai kapan pun ia tak akan pernah menikmati hidupnya.
Angkiepun bangkit dan menulis buku yang berjudul “Perempuan Tunarungu, Menembus Batas Itu Untuk Bangkit”. Kemudian ia juga mendirikan Thisable Enterprise bersama teman-temannya untuk membantu mereka yang memiliki keterbatasan. Latar belakangnya mendirikan Thisable Enterprise karena sulitnya memperoleh pekerjaan. Lalu, ia bekerja sama dengan Gojek Indonesia untuk mempekerjakan orang-orang dengan disabilitas di Go-Auto dan Go-Glam. Dan kini ia berhasil menjadi salah satu staf khusus presiden, dan mendapat tugas khusus yakni untuk menjadi juru bicara bidang sosial.
Hal ini membuktikan bahwasannya para penyandang disabilitas juga mampu, mereka sama dengan yang lain. Mereka juga boleh bermimpi dan menggapai impiannya.
Sumber gambar: difabel.tempo.co
Penulis merupakan siswa kelas XI IPA SMA Nuris
Jember yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik