penulis: Gus Robith Qoshidi, Lc.*
Membaca sejarah pendidikan pesantren dengan tolak ukur pandangan Barat adalah langkah yang berbahaya. Langkah ini cenderung menyepelekan bahkan menafikan proses kreatif pesantren dalam bidang pendidikan. Tak jarang label negatif disematkan pada aktifitas pendidikan pesantren. Seperti penilaian sinis dari seorang orientalis Belanda, Verkerk Pistorius, yang dengan entengnya mengatakan, “surau (pesantren) tidak layak diberi nama sekolah”. Ini sungguh penilaian yang tidak adil.
Karakteristik pendidikan Barat sangat berbeda dengan pendidikan pesantren. Barat cenderung sekuler dan materialistik. Sebaliknya, pesantren memiliki karakteristik religius dan spiritual. Dua model pendidikan ini memiliki pandangan dunia (world view) yang bertolak belakang 180 derajat. Maka tak heran dengan kacamata Barat, pendidikan pesantren yang bernuansa religius akan dianggap takhayul dan primitif. Lalu pantaskah kita menganggap pesantren terbelakang hanya karena mempelajari Al-Qur’an dan mengkaji keilmuan menggunakan diktat kitab kuning beraksara Arab? Tentu saja tidak.
Menilai proses kreatif pendidikan di lingkungan pesantren harus bermula dari penghargaan kita terhadap pendidikan berbasis religius. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pasti akan termotivasi untuk mengkaji wahyu Al-Qur’an. Sebab, ajaran Islam tertulis di dalamnya. Semangat keimanan ini juga yang mendorong setiap orang tua mengantarkan anaknya untuk belajar ilmu Al-Qur’an sejak dini. Apakah belajar Al-Qur’an membuat santri semakin bodoh? Sungguh sangat tidak masuk akal.
(baca juga: Aisyah Istri Rasulullah, Korban Lambe Turah di Zamannya)
Memang betul Al-Qur’an mengandung unsur kesakralan. Tapi kajian Al-Qur’an memperlihatkan unsur tradisi ilmiah yang unik. Hasil penelitian yang jeli akan menampilkan fakta bahwa mempelajari Al-Qur’an mengharuskan peserta didiknya mengkaji seperangkat keilmuan yang komprehensif. Mulai dari kajian fonetik dengan ilmu tajwid dan makhorijul huruf. Sampai mempelajari ilmu linguistik dan tafsir untuk mendalami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Keseriusan umat Islam mempelajari Al-Qur’an menggairahkan tumbuhnya kreasi metode pembelajaran yang sangat dinamis. Maka tak heran bermunculan berbagai metode dalam membaca dan memahami Al-Qur’an. Seperti metode Iqro’, metode qiroaty, metode tilawaty, metode allimna, dan puluhan metode kreatif lainnya yang terus dikembangkan. Inilah dinamika keilmuan yang tak akan terbaca jika kita memaksakan pesantren berubah persis seperti pendidikan Barat.
Kajian tafsir Al-Qur’an memperlihatkan sesuatu yang lebih dahsyat lagi. Kita melihat kekayaan ilmiah luar biasa di dalamnya. Berbagai ilmu hukum, sosial, sejarah bahkan sains ikut andil dalam memperkaya khazanah ilmu tafsir. Pada gilirannya, bermunculan beberapa pendekatan dalam kajian ilmu tafsir. Ada yang menggunakan pendekatan hukum disebut tafsir fiqhy, ada yang menggunakan pendekatan sains disebut tafsir ilmy, dan masih banyak pendekatan yang lain. Banyaknya model kajian tafsir membuktikan bahwa proses kreasi ilmiah tak pernah berhenti, bahkan dalam mengkaji wahyu yang sakral sekalipun.
Lebih dari itu, fenomena menghargai perbedaan pendapat dalam ilmu tafsir membuktikan kajian ilmu agama sangat menghargai tradisi ilmiah. Civitas akademika ilmu tafsir sangat menghargai keragaman pendapat selama tidak mengganggu pondasi keimanan masyarakat Islam. Kemunculan perbedaan pendapat di dalam ilmu tafsir bukan sebatas pendapat serampangan dan tidak ilmiah. Selalu ada landasan argumentasi di dalam perbedaan corak karya tafsir. Semisal, Tafsir Jalalain yang menggunakan argumentasi linguistik. Tafsir Jami’ul Bayan karya Imam Ath-Thobary yang banyak menggunakan argumentasi historis. Tafsir Mafatiful Ghoib Karya Imam Ar-Rozi dan Tafsir Al-Jawahir karya Imam Thontowi Jauhary yang melengkapi argumentasi tafsirnya dengan logika dan sains. Hal ini menegaskan di samping mengokohkan keimanan, tradisi berargumentasi terus dipelihara dan dikembangkan dalam pendidikan Islam.
Tidak hanya dalam ilmu tafsir, dalam ilmu hukum Islam (fiqh) kita melihat ciri-ciri ilmiah yang terus dikembangkan. Terbukti pesantren sangat menghargai perbedaan argumentasi empat madzhab fiqh. Meskipun pesantren di Indonesia lebih cenderung pada fiqh Imam Asy-Syafi’i, namun kita juga melihat di dalam madzhab Asy-Syafi’i perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah (cabang) tidak pernah dibungkam. Pemerhati kajian fiqh pesantren mengenal perbedaan pendapat Imam An-Nawawy dan Imam Ar-Rofi’i. Dua Imam ini adalah segelintir tokoh madzhab Asy-Syafi’i yang memiliki otoritas ber-fatwa. Beliau berdua dikenal sebagai mujtahid fatwa; ulama yang memiliki kapasitas memutuskan perkara hukum Islam dan memiliki keahlian berargumentasi dalam ruang lingkup madzhab Asy-Syafi’i.
(baca juga: Perintis Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW)
Perspektif pesantren memberikan informasi kepada kita bahwa menganut salah satu madzhab fiqh bukanlah penyebab keterbelakangan. Melalui kacamata hukum, kita bisa mengerti bahwa keputusan hukum yang berlaku di sebuah masyarakat haruslah bersifat pasti. Maka, masyarakat harus memilih salah satu madzhab fiqh sebagai metode untuk mendapatkan kepastian dalam memutuskan objek hukum yang terus berkembang paska wafatnya Nabi Saw. Fenomena ini memanggil para spesialis hukum Islam untuk memutuskan perkara tersebut berlandaskan teks Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Al-Ulama (Kesepakatan Ulama) dan Al-Qiyas Al-Fiqhy (Analogi). Inilah yang mendorong tumbuhnya kreasi dalam ranah hukum Islam yang bernama ruang “Fatwa” dan ruang “Bahtsul Masail”.
Di dalam wadah “Fatwa” dan “Bahtsul Masail” tumbuhlah proses kreatif kalangan pesantren untuk memutuskan perkara hukum Islam. Perbedaannya, “Fatwa” dikeluarkan oleh seorang spesialis hukum Islam. Sedangkan “Bahtsul Masail” adalah wadah di mana sekelompok pengkaji hukum Islam bertukar pikiran dan argumentasi untuk menetapkan sebuah fenomena hukum. Dua wadah kreatifitas ini semakin mempertegas bahwa tradisi ilmiah dalam ruang lingkup hukum Islam (fiqh) di pesantren tak pernah berhenti berkembang.
Tafsir dan Fiqh adalah sebagian kecil dari keilmuan pesantren yang lebih akrab disebut dengan nama kitab kuning. Sekumpulan diktat berbahasa Arab ini diberi nama kitab kuning karena dulunya dicetak dengan kertas berwarna kuning. Sebelum menggunakan aksara latin sebagai aksara intelektual, pesantren menggunakan aksara Arab dan aksara Jawi Pegon; bahasa lokal yang ditulis dengan aksara Arab. Maka kajian tentang sejarah pendidikan pesantren mengharuskan kita meneliti dinamika dalam karya-karya intelektual yang menggunakan aksara Arab dan Jawi Pegon. Tanpa itu, sejarah pendidikan pesantren dianggap tak pernah ada. Sungguh penilaian yang menyakitkan bagi kalangan pesantren.
Penelitian yang jujur tentang diktat pesantren beraksara Arab membuka mata kita bahwa di pesantren tidak hanya belajar ilmu agama. Ini berlaku bahkan sebelum pesantren mengadopsi sekolah formal di bawah naungan pemerintah. Beberapa ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sains marak dikaji dalam format kitab kuning. Seperti kajian ilmu astronomi, pesantren mengenalnya dengan istilah ilmu falak. Materi kajiannya meliputi peredaran matahari, bulan, tata surya dan planet-planet di luar angkasa. Ilmu ini membantu pesantren untuk merancang kalender dan menetapkan waktu. Kajian ini sangat penting mengingat ibadah umat Islam ditentukan dalam waktu tertentu, misalnya kapan waktu sholat, puasa, haji, bahkan zakat. Dari sini kita sadar bahwa agama adalah faktor penting tumbuhnya kajian sains di lingkungan pesantren. Agama bukan faktor penghambat, tapi justru menjadi faktor pendorong dinamika keilmuan di pesantren.
Bukan hanya ilmu astronomi, ilmu hisab atau lebih dikenal dengan ilmu matematika juga tak pernah absen dalam kurikulum pesantren. Baik itu dikaji secara utuh dalam satu diktat kitab kuning, ataupun dikaji secara parsial ketika santri membahas bab pembagian warisan dan zakat. Pembelajaran matematika dengan menggunakan diktat berbahasa Arab bukan tanpa sebab. Faktor utamanya karena kajian matematika dalam peradaban Islam sangat kaya dan berkembang cukup signifikan. Sehingga literatur matematika berbahasa Arab mudah dijumpai. Lebih dari itu, matematika modern mulanya dikembangkan oleh ilmuwan muslim dan dibukukan dengan aksara Arab. Angka 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 yang kita pakai saat ini berasal dari angka Arab yang dikembangkan matematikawan muslim. Angka itu bukan angka Romawi. Penggunaan angka Arab lebih disukai karena dianggap lebih simpel daripada angka Romawi.
Fibonacci, pakar matematika dari Italia abad ke 12 adalah tokoh yang memperkenalkan angka Arab dalam dunia internasional. Matematikawan yang memiliki nama asli Leonardo Da Pisa ini mempelajarinya dari beberapa karya Al-Khowarizmy, seperti Al-Jabr Wa Al-Muqobalah. Buku yang ditulis dengan bahasa Arab ini diterjemahkan dalam bahasa latin dengan judul Liber Algebrae et Almucabola. Al-Khowarizmy sendiri dikenang sebagai penemu teori aljabar dan logaritma. Nama teori logaritma berasal dari nama Al-Khowarizmy yang dalam bahasa latin ditulis Algoritma. Agar pengucapannya lebih mudah maka dibaca Logaritma. Begitu pentingnya kontribusi Al-Khowarizmy dalam matematika, sehingga beberapa pesantren menghormatinya dengan memberi nama ilmu matematika seperti judul bukunya, Al-Jabr Wa Al-Muqobalah, disingkat mata pelajaran “Aljabar”.
Materi yang tergolong ilmu umum atau ilmu sains lain di pesantren adalah ilmu logika. Ilmu ini mengkaji tentang metode berpikir dan metode penelitian. Ilmu yang akrab disebut sebagai ilmu mantiq ini sangat populer di kalangan santri. Baik sebagai ilmu yang menegaskan tingkat tertinggi intelektualitas santri, atau pun ilmu yang dipelajari untuk menguatkan argumentasi keyakinan santri. Beberapa orang bertanya-tanya mengapa logika berada dalam kurikulum pesantren? Jawabannya, logika sebagai metode berpikir digunakan ulama teolog dalam mempertahankan argumentasi aqidah Islam dari serangan kelompok yang merongrong keyakinan umat Islam.
Peran logika semakin signifikan ketika sejarah fiqh mulai mengembangkan dalil aqly (argumentasi rasional) sebagai penguat dalil naqly (teks keagamaan). Bahasa rasional lebih mudah diterima oleh kalangan intelektual dan praktisi hukum saat memutuskan sebuah perkara hukum. Bahkan Imam Al-Ghozali berkata dalam kitab Al-Mustashfa, “Barangsiapa yang tidak mengetahui (logika) maka keilmuannya tidak dapat dipercaya”. Beliau juga mengatakan dalam kitab ushul fiqh tersebut, “Logika berguna untuk menjaga seorang faqih dari kesalahan dalam berfatwa”.
Dimanakah peran logika dalam kajian fiqh? Pertama, ilmu mantiq (logika) membantu santri menemukan illat/ratio legis (alasan rasional) untuk memutuskan sebuah kebijakan hukum (istinbath ahkam). Kedua, para fuqaha melakukan istiqra’ (eksperimen) dalam memutuskan perkara hukum. Contohnya, praktek eksperimen dalam menentukan periode haid seorang muslimah yang terkenal dalam sejarah fiqh. Inilah yang menyebabkan Dr Ali Syami An-Nasysyar dalam kitab Manahijul Bahtsi Inda Mufakkiry Al-Islam (Metode Penelitian Para Pemikir Islam) berkata bahwa metode berpikir fuqaha sangat ilmiah. Karena, ahli fiqh tak pernah mengabaikan alasan rasional (ratio legis) di dalam fatwanya. Para pakar hukum Islam selalu berusaha menemukan alasan hukum di dalam teks keagamaan untuk diterapkan pada objek hukum kekinian yang berkarakteristik sama.
Kuatnya tradisi ilmiah di pesantren ini membuktikan bahwa pendidikan pesantren tidak antipati terhadap kreatifitas ilmiah dan kajian sains. Sejarah pesantren yang pernah mencatat penolakan sekolah ala Belanda lebih didorong oleh alasan politik melawan kolonialisme. Tapi tidak berarti faktor keagamaan menyebabkan kemunduran pendidikan pesantren. Bahkan realita mencatat semakin marak pendirian sekolah formal di pesantren terutama paska Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia.
Uniknya, tokoh utama di balik lahirnya pendidikan formal di pesantren justru merupakan kyai-kyai yang diakui memiliki tingkatan spiritualitas tinggi. Seperti KH Musta’in Romly Jombang, salah satu mursyid tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyyah. Beliau adalah pelopor berdirinya universitas di dalam sejarah pesantren. Beliau pendiri Universitas Darul Ulum Jombang yang memiliki fakultas hukum, fakultas teknik, bahkan fakultas pertanian. Begitu juga, KH As’ad Syamsul Arifin, ulama kharismatik asal Situbondo, dikenal sebagai pelopor berdirinya Ma’had Aly, sekolah tinggi, dan sekolah formal di pesantren. Dua kyai tersebut hanyalah segelintir contoh dari banyaknya tokoh spiritual yang memperjuangkan berkembangnya kreatifitas pendidikan di pesantren.
Uraian di atas menegaskan bahwa membaca sejarah pesantren dengan bijaksana akan menguak sejarah panjang kreasi pendidikan di lingkungan pesantren yang mengembangkan tradisi ilmiah. Menjadi santri tidak berarti anti logika, argumentasi, dan eksperimen. Justru berlogika, berargumentasi, berekperimen adalah ciri khas pesantren dari masa ke masa. Tradisi ilmiah ini seharusnya lebih dikembangkan lagi untuk menjawab tantangan pendidikan di pesantren, baik dalam pendidikan diniyah maupun pendidikan formal.[edit.AF]
*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Nuris Jember