Santri: Pengejawantahan Kokohnya Pondasi Agama

Penulis: Abd. Halim W.H.*

Dalam dunia pesantren, terdapat banyak tradisi yang menjadi ciri khas santri yang kemudian seringkali dijadikan bagian dari definisi dari santri itu sendiri, seperti: sarungan, bangun malam untuk salat Tahajjud, berdiri (menghormat) ketika bertemu guru, mencium tangan guru ketika sowan, membalikkan posisi sandal guru, antrian di kamar mandi, ngaji, talaqqi, sorogan, mempelajari ilmu Agama dan menghafal nazhoman Imrithi, Alfiyah dan Tashrifan.

Menurut KH. Saifuddin Zuhri,[1] kata Santri berasal dari Bahasa Sansakerta asli, yaitu San dan Tri: San berarti suci, dan Tri berarti Tiga. Jadi, santri yang ada di pondok pesantren harus bisa mencapai 3 (tiga)[2] hal suci berikut;

Pertama, Suci dalam Akidah. Artinya, berakidah Ahlussunnah wal Jamaah. Ini perlu diperhatikan, karena ada kelompok yang berlabel Islam akan tetapi tidak berakidah Ahlussunnah wal Jamaah. Mengutamakan sayyidina Ali dibandingkan khalifah yang lain, sehingga terkesan bahwa khalifah yang tiga merampas kedudukan kekhalifahan.

Kedua, Suci dalam Syari’ah. Artinya, syariahnya adalah syari’ah Ahlussunnah wal Jam’ah yang memang sudah disusun secara sistematik oleh madzhab yang 4 (empat). Perlu diketahui, bahwa islam di Indonesia mengikuti salah satu dari madzhab yang 4 (empat): Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan, sejak masuknya Islam ke Indonesia ratusan tahun yang lalu hanya bermadzhab Syafi’i. oleh karena itulah, di banyak pesantren di Indonesia terdapat kitab-kitab klasik yang bermadzhab Syafi’i, mulai kitab Sullam-Safinah hingga Fathul Mu’in-Fathul Wahhab. Namun pada perkembangannya, terkait kasus-kasus waqi’iyyah, tidak memungkinkan hanya mengikuti madzhab Sayafi’i saja, sehingga nantinya mengikuti salah satu dari madzhab yang 4 (empat).

(baca juga: Mereligikan Wisata Pantai)

Ketiga, Suci dalam Akhlak/Tasawuf. Artinya, akhlaknya adalah benar-benar sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi, mulai dari yang (dianggap) terkecil, hingga hal-hal yang dianggap penting. Seperti membasuh tangan sebelum makan, membaca do’a sebelum dan sesudah makan, minum, dan tidur, mencium tangan ketika sowan kepada guru dan orang tua, mendahulukan kaki kanan ketika memasuki tempat suci (seperti masjid, mushalla, dan bahkan sekolah dan rumah) dan mendahulukan kaki kiri ketika keluar, dan seterusnya.

Pesantren adalah tempatnya Kiai dan Santri yang mempelajari ilmu-ilmu Agama. Pada hakikatnya, pesantren itu melestarikan model pembelajaran yang telah dirintis oleh Rasulullah Saw. sejak beliau hijrah dari Mekkah ke kota Madinah. Saat itu, pertama-tama beliau membangun masjid. Sedangkan para sahabat yang mengikuti beliau hijrah, mula-mula berjumlah puluhan orang, di awal-awal bertempat di belakang maqbarah Nabi, yang mana tempat tersebut hanya bisa ditempati oleh orang dengan jumlah antara 80 sampai 100 orang. Tapi setelah sahabat muhajirin (orang-orang yang pindah dari Mekah ke Madinah) mencapai jumlah 400 orang, maka mereka pindah ke belakang mihrab (sekarang depan tempat imam). Mereka adalah “santri-santrinya Rasulullah” yang menetap bersama beliau, yang dikenal dengan sebutan Ahlus Shuffah[3]. Al-Qur’an mengabadikan mereka dalam al-Qur’an:

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡ‍َٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

Artinya, (Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang yang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui. [QS. Al-Baqarah (02): 273].

            Ayat di atas menjelaskan sifat-sifat mereka (Ahlus Shuffah), yaitu antara lain: fakir, tidak memiliki usaha apa-apa (mencari nafkah), tidak suka meminta-minta, dan aktifitas sehari-harinya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan ngaji kepada Rasulullah.

            Sebagai penutup, mengaku santri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan 3 (tiga) hal di atas (Akidah, Syari’ah dan Akhlak) adalah perkara sia-sia dan omong kosong. Dan  mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren (nyantri), akan tetapi tingkah lakunya didasarkan kepada ajaran-ajaran Nabi dan salafus shalih (mengamalkan ilmu yang didapat), sehingga menyerupai santri, maka sejatinya mereka adalah bagian dari santri. Karena pada hakikatnya, kita semua adalah santri: santri Rasulullah Saw.

*Penulis adalah di Program Tahfizh di Pesantren Nuris Jember


[1]. Lahir di Banyumas pada tanggal 1 Oktober 1919, dan wafat tanggal 25 Maret 1986 pada umur 66 tahun, mantan Menteri Agama RI pada Kabinet Kerja III dan IV, Kabinet Dwikora I dan II, dan Kabinet Ampera I.

[2]. Bahasa lain dari pengejawantahan Islam, Iman dan Ihsan, sebagaimana dalam sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar, yang menceritakan tentang datangnya Malaikat Jibril yang berwujud manusia kepada Rasulullah (yang sedang bersama para sahabat), masuk, duduk di dekat Nabi, dan langsung menanyakan perihal definisi Islam, Iman dan Ihsan, yang langsung dijawab oleh Nabi dengan jawaban yang lugas dan sempurna.

[3]. Sekelompok sahabat Nabi yang tinggal di serambi (Shuffah) Masjid Nabawi. Bagi mereka, tempat ini semacam asrama karena mereka memang tidak memiliki tempat tinggl yang permanen, tidak memiliki keluarga dan fakir.

Related Post