Penulis: Alya Latifatul Fitriah*
Di
belantara musim yang ganas di Persia
Aku mulai membuka bingkai arsiran cerita,
sembari menyeduh secangkir kopi Qahwa[1]
dan menyantap kuah sup linier-linier yang lumer rasanya
Aku menyuguhkan secangkir kopi pada Al-Khowarizmi[2]
Tapi, ia lebih memilih sebotol bir bervolume pelangi pagi
yang sudah ia pesan sedari gigil dini hari
(Baca juga: anugrah tuhan)
Ia
mengusap genang air mata yang bertengger
di ujung bibir,
lalu berkata:
“Untuk apa lagi aku harus meracik akang-akang
angka yang sudah berbau kukang, mereka
lebih suka membuang kata daripada mengolah angka.”
Ia
menyeduh sebotol bir sesekali,
Separuh tabung lebih sedikit mili,
yang jika sudah habis akan ia buang entah kemana lagi.
“Aku tidak membutuhkan cendekiawan yang sok tuan di rumah kebijaksanaan,
karena kebijaksanaan sudah tidak mempunyai rumah untuk bertuan.”
Cetusnya lagi.
(Baca juga: dimensi kehidupan)
Tak
ada lagi Unit Gawat Kuadrat!
Karena sang geometri telah terbungkus rapi
Bersama sebutir elipsis nasi
Di kaleng Khong Guan berisi rengginang simetris dan mimpi Al-Khowarizmi.
Jember, 2021
Naskah puisi diikutkan dalam lomba cipta puisi matematika di ajang SME 2021 di Universitas Muhammadiyah Gresik dan didaulat sebagai juara 2 tingkat Provinsi Jawa Timur
*penulis adalah siswa MA Unggulan Nuris kelas XI PK 1
[1] Qahwa adalah minuman dari tanaman kopi yang pertama kali ditemukan oleh Khalid, sang penggembala kambing dari tepian Ethiopia, berbatasan dengan wilayah Arab
[2] Seorang ahli dalam bidang Matematika, Astronomi, Astrologi, dan Geografi dari Persia atau Bapak AL-Jabar