Umbu Wulang Landu Paranggi; Sang Metiyem sampai Ujung Waktu

Penulis: Tazyinatul Ilmiah*

Umbu Wulang Landu Paranggi. Nama ini memang terdengar asing di telinga kita. Bagaimana tidak? Berbeda halnya dengan para penyair lain yang ingin sekali dikenal melalui syair-syair yang mereka rangkai, Umbu lebih memilih tenggelam dari hingar bingar nama besar.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang digaungkan oleh Chairil Anwar, Sang Pelopor sastra modern, yang mengatakan secara implisit dalam puisi “Aku”nya bahwa jika ingin dikenang selama 1000 tahun, maka menulislah. Namun, Umbu tidak fanatik bahkan cenderung mengingkarinya. Baginya nama besar bukan menjadi soal yang penting. Kini, nama Umbu Wulang Landu Paranggi telah tiba pada pungkasannya. Umbu berpulang ke rahmatullah pada Selasa, 6 April 2021 di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur Bali. Umbu wafat di usia 77 tahun.

Umbu Wulang Landu Paranggi merupakan seniman kelahiran tanah penghasil kuda Sandelwood Pony yaitu pulau Sumba. Umbu lahir pada 10 Agustus 1943. Umbu Wulang sering disebut tokoh misterius dalam dunia sastra indonesia semenjak tahun 1960-an. Umbu wulang merupakan sesepuh atau guru bagi para penyair legendaris indonesia seperti Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Linus Suryadi AG, dan Ebiet G. Ade.

Umbu, selain dikenal dengan kemisteriusannya juga dkenal sebagai “Presiden Malioboro”. Meskipun dikenal sebagai Presiden Malioboro Umbu Wulan seperti menjauh dari sorotan publik beliau lebih sering menggelandang sambil sambil membawa kantung-kantung plastik yang berisi kertas naskah karya puisi yang selesai beliau ciptakan.

(baca juga: Syekh Ali Jaber, Sosok Ulama Penghafal Alquran)

Pada tahun 1975,Umbu Wulang membuat geger teman-temannya karena ia menghilang secara misterius. Melansir dari Harian Kompas, Rabu 28 Desember 1994, Umbu menghilang karena telah meninggalkan Yogyakarta dan memutuskan untuk bermukim di Bali pada 1978.

Cak Nun selaku salah satu muridnya pernah mengatakan bahwa selama menjadi murid Umbu Wulang, ia mendapatkan pelajaran berharga yakni kehidupan puisi. Pada hal ini Cak Nun menggarisbawahi bahwa semua ciptaan Tuhan adalah puisi, bahkan seluruh kitab suci adalah puisi.

“Apakah seorang harus mengetahui, mengenali, mendalami, dan mengalami apa itu puisi, supaya ia merasakan bahwa ayat-ayat Allah adalah puisi? itulah yang dirasukkan Umbu pada jiwa saya. Kehidupan ini sendiri adalah puisi” kata Cak Nun dikutip dari situs resminya. Selain mengajarkan tentang puisi dan arti kehidupan disebutkan juga oleh Cak Nun bahwa Umbu merupakan sosok yang sangat sederhana dan sering memandang dirinya sebagai “pupuk”.

(baca juga: Dahsyatnya Bacaan Istighfar dan Sedekah)

Almarhum Iman Budhi Santosa bahkan menulis bahwa Umbu Landu Paranggi ibarat petani yang enggan memetik hasil dari tanamannya. Umbu lebih senang dan bahagia menyaksikan tanamannya tumbuh subur dan memberikan manfaatnya bagi manusia, hewan, dan seluruh entitas di sekitarnya. Terhitung sejumlah puisi indah lahir dari pemkiran sang presiden sekaligus tokoh sastrawan misterius, seperti ‘Sajak kecil’, ‘di Sebuah Gereja Gunung’, ‘Ibunda Tercinta’, ‘Ni Reneng’, dan masih banyak lainnya.

Atas sumbangsihnya yang besar terhadap dunia sastra indonesia, Cak Nun dan beberapa sastrawan lainnya menulis sebuah buku berjudul “‘Metiyem’, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. Metiyem adalah sebutan bagi Umbu yang berarti seseorang yang telah mencapai titik tertinggi. Laksana merpati yang telah mampu menggapai puncak ketinggian melebihi kemampuan burung yang lain. Itulah, Umbu Landu Paranggi, Sang Metiyem yang telah sampai pada pengujung waktunya. Selamat jalan, Umbu.[sy]

sumber foto kover: jogjapost

*Penulis adalah siswa kelas X IPA 3 SMA Nuris Jember, juga aktif di kegiatan ekskul jurnalistik dan penulisan kreatif sastra

Related Post