Pesan Harmoni dari Santri untuk Kebhinekaan Indonesia melalui Sastra

Judul Buku       : Selayang Kerudung dan Senandung Cadar
Penulis              : Sirli Qurrota Aini dkk.
ISBN                  : 978-623-6791-25-7
Penerbit           : CV. Sulur Pustaka Yogyakarta
Halaman            : 14 x 21 cm, 150 hlm.

Cetakan             : Cetakan I, 2021
Kategori            : Kumpulan Cerpen

Pengulas           : A. Faizal*

Isu deharmoniasi di Indonesia seperti gelombang di lautan yang selalu mengalami pasang surut. Kalau kita ingat peristiwa Pilpres tahun 2019 lalu, badai rasisme dan sikap merasa paling benar membentuk kutub perpecahan yang miris di negeri ini.

Atau kita ingat kembali kasus perang saudara di Kalimantan Tengah antara suku Madura dan Dayak dalam beberapa puluh tahun silam, bahkan kisruh yang berkepanjangan di Papua yang tak kunjung usai hingga kini.

Konon kalau kita amati lebih jauh di berbagai laman media sosial, isu kesukuan, atau sensitivitas keyakinan atau kepercayaan juga masih tampak ngeri. Sedikit demi sedikit tentu ini dapat menggerus keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Negeri kepulauan terbesar di dunia seperti Indonesia dengan potensi kekayaan hayati termasuk di dalamnya agama dan keyakinan/kepercayaan, budaya, etnis, bahasa, dan sebagainya seperti menjadi dua mata pisau. Di sisi lain menjadi keuntungan dan kebanggaan tersendiri dengan kebhinekaan negeri ini bak pelangi, tetapi sekaligus menjadi gesekan atau percikan api permusuhan.

Tak heran sebutan sebagai negara multikultural tersemat bagi bangsa Indonesia. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri hidup di negeri dengan segala kekayaannya yang tentu memberikan pengalaman hidup yang tak ternilai. Namun, kita perlu waspada dengan segala perbedaan yang kadang menyulut emosi hingga menimbulkan chaos.

(baca juga: Melihat Dunia dengan Kacamata Bening Bernama Cinta: Sebuah Resensi Buku)

Berdasar pada kondisi tersebut, barangkali dapat dipahami, sikap etnosentris atau fanatisme tertentu harus menjadi perhatian khusus. Hal ini karena perilaku tersebut dapat menjadi salah satu pemecah keutuhan bangsa tercinta ini.

Berbagai cara dilakukan oleh segenap elemen bangsa demi terus merekatkan segala perbedaan yang ada. Seperti kita ketahui, perbedaan tetap berbeda yang tak akan menemui jalan yang beriringan tanpa ada kesadaran bahwa perbedaan adalah rahmat seperti yang ada dalam sabda Nabi Muhammad saw.

Di antara sekian usaha dalam menciptakan kondisi harmoni atas kekayaan kultural bangsa, sekumpulan karya sastra berupa cerita pendek (cerpen) karya santri Pesantren Nuris Jember, lebih tepatnya siswa MA Unggulan Nuris Jember, hadir mengetengahkan segala perbedaan. Dengan visi khas santri sebagai agen perdamaian bangsa dan dunia, karya sastra ini menjadi pembawa pesan harmoni atas kebhinekaan Indonesia.

Dari 33 cerpen karya siswa MA Unggulan Nuris tersebut semua bertema multikultural sehingga sangat menarik untuk dinikmati. Bagaimana mereka membaca keadaan terkini sebagai ide untuk bermoderasi dan menangkal radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui karya sastra.

Seperti nilai pesan yang terdapat dalam cerpen berjudul Embun Biru, di mana kisah kasih romantis dibalut dengan konflik keyakinan dan etnis yang berakhir tragis. Lalu, cerpen Sehabis Hujan lalu Kemarau menceritakan kegetiran tokoh dalam mencari keadilan dalam warna kehidupan bangsa yang tampak rapuh dituturkan dengan narasi yang menawan.

Selain itu, cerpen Selayang Kerudung dan Senandung Cadar menjadi miniatur harmonisasi bangsa dengan sajian kisah yang kental dengan etnisitas. Mengingatkan pada kata-kata “Antek Aseng” yang sempat fenomenal atau “anti China”, namun disadarkan dengan tamparan  kisah kasih yang tak terduga dengan pesan moral religius yang menyatu jadi kesatuan yang utuh.

Kumpulan cerpen ini sangat menarik dan menjadi renungan tersendiri bagi kita bahwa perbedaan itu akan membuat kita banyak ide cerita dan pengalaman hidup tak terduga. Bukankah kita akan bisa melangkah dengan baik tak harus dengan dua kaki yang maju bersama atau mundur bersama? Well, kita akan melangkah bahkan berlari mencapai tujuan karena jejak kaki yang saling menunjang, kadangkala di depan atau pun di belakang sama saja.[]

*penulis adalah guru pengajar bahasa dan sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris   

Related Post