Bukan Tentang Sesendok Gula

Penulis: Kinar Tantri E. P.*

Angin semilir berbisik kepada batu, daun, ranting, dan sawah nan luas. Di antara helai yang cantik itu, dia gugur lantaran aku duduk di bawahnya, di atas porselen putih dingin, menunggu kepastian. Langit saat itu sedang mendung, meredupkan suasana bumi saat itu. Menggelora, ingin cantik, namun salah langkah. Aku hanya duduk terdiam memandang mereka. Sunyi , namun lenyap dalam keramaian angan – angan.

            Bolehkah aku berangan kalau aku sedang di rumah ? Aku benci tempat ini. Aku ingin segera pulang. Aku tidak mau lama – lama di sini. Ayah, jemput aku.

            Di sana, aku menunggu kehadiran seseorang yang datang semenit kemudian. Motor ninijanya diparkirkan di samping pintu gerbang yang terbuka, lalu berjalan menghampiriku. Kukira itu Ayah, namun ternyata bukan. Saat dia duduk di sampingku, aku segera bertanya padanya.

                        “Bang Ari, Ayah mana ? “ tanyaku padanya

                        “Ayah sedang sakit, Zara. Beliau mendadak  flu setelah pulang kerja kemarin.  Sebenarnya, “ jawab Bang Ari sedikit tersendat. “…. dia mau menjemputmu kemari. Tapi, Ibu melarang. Kondisi Ayah cukup buruk. “

                         “ Apa aku tidak boleh pulang oleh Ibu ? “

                        “Bukan tidak boleh pulang, Zara….”

                        “ Sudahlah , Bang Ari pulang saja. Kan, tidak jadi menjemput. “

            Kulihat Bang Ari kesal saat itu. Aku tau aku egois dan dia resah, tapi aku diam. Yang kuharapkan, dia menyerah sekarang, dan pulang saja. Aku lebih kesal melihat wajahnya.

                        “Ya, sudah. Bang Ari pulang. Kamu baik – baik di pondok. Assalamualaikum. “ katanya pamit. Syukurlah Bang Ari peka.

                         “ Waalaikumus salam. “ jawabku

                        Setelah Bang Ari pergi, aku masuk ke pesantren, dan mendekam lagi.

(Baca juga: idul fitri)

***

            Hujan sudah turun. Deras selaki, sampai plester di depan basah. Aku diam di kamar, pura – pura tidur. Padahal, aku merenung.  Aku memikirkan Ayah.

            Apa Ayah sakit karena aku ? Karena aku terlalu banyak meminta untuk pulang ? Lalu Ayah kepikiran ? Terus sakit ? Jadi, aku tidak boleh pulang lagi oleh Ibu ? Dan, semua adalah kesalahanku  ? Begitu ? Lalu, aku diusir dari rumah ? Dan, tinggal di pesantren selamanya ? Tidak, Aku tidak mau !

            Pasti menurut kalian yang membacanya, aku berlebihan. Tapi, beginilah perasaanku. Merasa sakit sekali kalau harus tinggal di pesantren, walau cuma tambah sehari. Bagiku, pulang ke rumah adalah anugerah dari surga. Sungguh kumanfaatkan betul – betul sampai aku tidak mau tidur. Kalau sudah waktunya kembalil ke pesantren, waktu pasti kuulur panjang – panjang, sampai sekirang aku puas berada di rumah. Aku benci di sini. Tidak enak. Sudah bayar mahal – mahal, dapatnya tidur di lantai, makan nasi kering, madi di toilet bau, becek, kotor !

            Bukan cuma itu. Di luar fasilitas, hidup masih tersiksa. Terutama sebab Ustadzah. Tidah bersih sedikit,  dihukum. Bicara sedikit, dihukum. Terlambat datang, dihukum. Semua dihukum. Bahkan diam pun disalahkan. Kalau ada apa – apa, masih disuruh –suruh. Mau bilang jahat pun percuma. Mau bilang sedih pun percuma. Siapa yang mau mendengarkan ? Teman?  Mereka tau apa ? Yang ada cuma bilang….

                        “ Yang sabar, ya. Hidup memang susah .“

            Sudah. Lalau hayna sabar, terus bahagia dapat dari mana? Rasanya semua ini tidak adil ! Penindasan ! Di sini kita membayar, tapi  cuma dapat kerja rodi !

            Ini yang namanya santri ? Yang katanya pilihan terbaik itu ? Yang katanya indah ? Yang katanya sukses ? Yang katanya diistimewakan, begitu ?

            Tidak ! Apanya yang istimewa !?  Tidak ada ! Ditindas yang ada ! Tidak ada istimewanya jadi santri ! Kalau ada yang bilang padamu santri itu istimewa, itu salah. Itu tipuan ! Karangan yang nyata.

            Aku santri, dan aku merasakan semua keburukan itu. Keburukan yang keterbalikan faktanya jelas sekali. Keburukan yang lebih nyata dari hujan deras di luar.

            Kalau kalian jadi aku, bagaimana perasaan kalian ? Kalau pada awalnya kalian ingin sepertiku, apa kalian akan berpaling ? Kalau kalian melihatku, apa yang kalian katakan ? Apakah kalian akan menangis ? Menjerit ? Kabur ? Atau, hanya sekedar sabar ? Bagaimana menurutmu ? Apakah kau akan berpikir hidupmu adil jika hidupmu adalah sepertiku ?

            Hujan masih turun deras sekali. Sandal – sandal di teras depan kini mengambang , berlayar sampai ke tangga. Aku tetap diam di kamar. Ingin tidur tapi tidak bisa mengantuk. Aku memikirkan  diriku, nasibku, dan masa depanku.

            Sebab memikirkannya, air mata mengalir sedikit – sedikit lama –lama menjadi  tsunami. Bagaimana tidak ? jika saat itu aku harus  menereima  kenyataan bahawa aku akan tetap tinggal di tempat ini selamanya. Hinggaa…..

***

TOK! TOK! TOK !

            “Assalamualaikum….” salam seseorang dari  luar, sesudah mengetuk pintu. Di dalam ruangan gelap itu, hanya aku yang terjaga, sedang temanku yang lain tidur . jadi, kubuka pintu segera, setelah bangun dari berbaring.

            “ Waalaikumus salam…” jawabku. Ternyata, yang mengunjungi kamarku saat itu adalah seorang penjaga perizinan di mushola depan. “ Ada apa, Mbak ?”

            “ Dek, samean yang namanya  Zara ? “

            “ Iya, kenapa, Mbak ? “

            “ Dikirim, Dek. Ditunggu Ayahnya dari tadi. “

            Hah ? Ayah ? Bukannya Ayah sakit ? Kenapa kemari ? Katanya tidak boleh ?

            “ Iya, Mbak. Terimakasih. “

            “ Sama – sama. Assalamualaikum. “

            “Waalaikumus salam. “

            Setelah petugas perizinan itu pergi, kupakai iket, rangkepan celana, dan kerudung, lalu pergi ke mushola depan menemui Ayah.

            Ketika melihat Ayah, memang kudapati  faktanya kalau Ayah sedang flu. Hidungnya merah, matanya menyipit, dan adsa sirat – sirat pucat di wajahnya. Namun di antara petunjuk sakit itu, ia masih tersenyum riang ke arahku yang  datang  padanya sambil mengucapkan salam. Melihatnya tertawa, aku berasa ingin menangis karena mengetahui fakta bahwa ia terpaksa kemari sebab aku yang egois. Tapi, tidak kuperlihatkan. Aku tidak ingin dia tau.                                                                               

            “ Katanya sakit. Kenapa datang kemari ? “ tanyaku setelah tiba di dekatnya, laulu duduk bersamanya di emperan mushola.

            “ Iya, sakit. Sakit flu, “ jawabnya kelihatan sekali kalau beliau pilek. “ Kenapa ? Memangnya Ayah tidak boleh datang kemari menemui putri Ayah ? “

            “ Ya, tidak apa – apa. Hanya saja, tadi Bang Ari bilang tidak boleh keluar oleh Ibu. “

            “ Oh, begitu….. Tidak, kok. Tidak apa – apa. Oh, ya. Kamu kenapa, nduk ? Kok tadi Bang Ari kamu usir? “

            “Zara kesal, Yah. Karena yang datang Bang Ari, bukan Ayah. Dan, Zara tidak jadi pulang. “

            “ Kenapa pulang terus ? Tidak betah di sini ? “

Setelah Ayah bertanya seperti itu, langsung kutuangkan semua amarahku agar Ayah bisa mengerti perasaanku juga.

            “Memang tidak, Yah. Tempat ini buruk. Sangat buruk. “

            “Seburuk apa ? “

            “Ah, pokoknya buruk. Makannya nasi kering. Toiletnya kotor  terus, padahal sudah disikat setiap hari. Dan, masih disuruh ini dan itu. Salah sedikit, dihukum. Diam, dihukum. Semua dihukum. Salah terus. Rasanya, orang tidak ingin hidup kalau di sini, Yah.”

            “ Oh, begitu…..” itu responnya  kemudian ia tertawa kecil.

Apa maksudnya ? Memangnya penderitaanku ini lucu ?

            “ Kenapa tertawa, Yah ? “ tanyaku heran.

            “ Yang kamu kisahkan itu perjuangan, Nak. Harusnya, kamu bangga karena harus mengalaminya. Karena kamu santri. “ jawabnya.

            “ Bangga ? Jadi santri ? Ditindas kok bangga ? Tidaklah, Yah. Harusnya menyesal. Sebab harus kerja rodi,”

(Baca juga: pendekar ramah)

            “Kerja rodi ? Kau sebut itu kerja rodi ? “  lalu ia tertawa, lebih lama dari yang sebelumnya. Nah, tanda tanya kalau sudah begini. “ Tidak, Nak. Kamu tidak akan menyesal. Kamu akan bangga. Coba kamu perhatikan sekali lagi. Bayangkan, kalau kamu adalah orang yang tinggal di bawah jembatan layang.  Ketika melihat nasi kering, apa pilihanmu ? Tetap membiarkan perutmu lapar, atau memakannya, sebab tak ada lagi yang mau dimakan ? Ketika melihat toilet kumuh, apa pilihanmu? Tetap tidak ingin buang air, atau menggunakannya, karena tak ada lagi yang bisa menggantikannya ? Banyak orang di luar sana yang ingin tinggal di toilet kumuh sebab tak ada lagi tempat yang layak untuknya. Ambillah hikmahnya, Nak.    Jangan mengeluh. Di sini, kamu belajar cara hidup di mana saja. Itulah keistimewaan santri. Bisa bertahan di mana pun ia berada, walau tak sepeser pun uang berada di sakunya. Karena santri tau caranya bersyukur. Banggalah, Nak. Karena kamu santri. “

            Setelah mendengar ucapan Ayah, aku diam sejenak dan merenung.

            Benar. Ayah benar tentang semua penderitaan itu. Keluhanku adalah bentuk perjuangan dari berlatih bersyukur. Bukan ketidak adilan. Justru adil sekali.  Sebanding dengan bayaran kami di sini. Atau harusnya lebih mahal. Karena tak semua orang bisa mendapatkan yang seperti ini. Menjadi santri yang hidup seadanya. Yang memenuhi  definisi  sesungguhnya  tentang dia. Yang tetap pada keistimewaannya, yaitu bertahan di  segala  medan tempurnya.

            Di sini, aku belajar bahwa hidup bukan  tentang sesendok gula yang akan tetap manis selama dia adalah glukosa, dan tidak memiliki kepahitan. Justru kepahitan itulah yang membuatmu  merasa hidup. Banggalah kalau kau jadi santri. Hiduplah karena kau santri. Tenang, Allah tau kau mampu, jadi tidak usah takut jika hidupmu sedang pahit.

            Seketika itu, aku sadar, dan kembali tersenyum.

            “ Iya, Ayah. Aku bangga menjadi santri. “

            “ Alhamdulillah..”

TAMAT

Penulis merupakan alumni SMP Nuris Jember

Related Post