Penulis: M. Izzul Aroby*
Kelahiran, perjalanan hidup hingga kematian adalah hak prerogatif Allah. Manusia sebagai salah satu makhluk berkewajiban untuk berusaha melakukan yang terbaik sesuai tuntunan yang berlaku.
Beberapa waktu terakhir, berita duka kerap kita dengar, baik melalui tutur lisan teman ataupun dari media sosial. Kabar duka juga datang dari dunia pesantren, Kaum santri akhir-akhir ini sering meneteskan air mata karena banyak kiai sepuh dari berbagai pesantren wafat dengan rentang waktu berdekatan.
Air mata belum kering ketika mendengar kabar wafatnya KH. Abdul Jalil Sidogiri, beberapa hari yang lalu KH. Zainuddin Djazuli menyusul bahagia di surga. Lebih jauh, MUI pusat dalam keterangannya menuliskan bahwa setidaknya terdapat 584 kiai yang wafat selama masa pandemi covid-19 (tidak semua kiai yang wafat dikarenakan wabah covid-19).
Pandemi covid-19 menyebabkan berbagai kesulitan, tidak boleh berkumpul dalam skala besar hingga pelbagai pembatasan yang lain. Pesantren juga mengalami kesulitan serupa, lembaga pendidikan yang mempunyai sistem pembelajaran berkumpul di suatu tempat dengan skala besar rentan terhadap ancaman persebaran virus.
Ancaman virus covid -19 nyata adanya, beberapa kiai wafat dikarenakan terserang wabah ini. Para santri yang masih muda diharapkan turut menjaga kiai sepuh dengan cara menjalankan protokol kesehatan semaksimal mungkin dan menunda sowan pada kiai sembari tidak putus memberikan doa terbaik pada para guru. Hal ini dilakukan semata mata karena niat menjaga para kiai dari wabah covid-19.
(baca juga: Perempuan, Ibu, dan Kemajuan Bangsa)
Menyikapi peristiwa wafatnya para kiai, alangkah baiknya ketika merujuk pada peristiwa silam, ketika para sahabat berguguran saat berperang melawan nabi palsu Musailamah al Kadzab, umat Islam dilanda kebingungan dikarenakan para sahabat penghafal Alquran banyak yang gugur.
Peristiwa memilukan ini memunculkan ide mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf yang samapai saat ini terjaga keasliannya. Setelah itu juga bermunculan ulama-ulama penerus ajaran nabi yang alim dari kalangan tabi’in. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Allah SWT tidak membiarkan agama Islam tanpa pembimbing.
KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) dalam salah satu tausiahnya pernah dawuh bahwa agama Islam di Indonesia pernah ditinggal oleh para walisongo selaku salah satu tonggak awal Islam di Nusantara. Pascawafatnya walisongo, Islam berkembang ke seantero penjuru Nusantara.
Nahdlatul Ulama juga ditinggal Hadratusyaikh KH. Muhammad Hasyim Asyari dan para pendiri Nahdlatul Ulama seperti KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Berbekal semangat dan kesungguhan dari para penerus, Nahdlatul Ulama menjadi salah satu organisasi besar di dunia.
Hal terbaik yang bisa dilakukan santri ketika mendengar kabar wafatnya para guru adalah mendoakan beliau dengan doa terbaik setiap selesai salat, sekaligus berikhtiar sesuai pedoman ilmu kesehatan untuk menjaga para kiai dari wabah dan penyakit.
Bentuk takzim santri pada kiai ketika beliau sudah wafat adalah dengan meneruskan perjuangan guru menebarkan Islam rahmatallil alamin ke seluruh penjuru dunia dan berakhlakul karimah di setiap langkah dan perbuatan. Semoga para kiai diberikan kesehatan dan kekuatan untuk selalu membimbing kita semua.[]
*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris, jurusan IPA, tahun 2017