Mengenggam Sikap Tawassuth di Era Polarisasi

Penulis: M. Izzul Aroby*

Defini kata polarisasi cenderung berbeda dalam berbagai disiplin ilmu. Ilmu Pengetahuan Alam bab tentang cahaya, polarisasi didefiniskan sebagai peristiwa pengurangan arah getaran gelombang cahaya menjadi satu arah. Tulisan ini fokus terhadap peristiwa polarisasi yang terjadi di media sosial yakni, pembelahan kelompok menjadi dua bagian yang saling berlawanan.

Publik belum melupakan ketegangan antardua kubu dalam mendukung calon presiden RI pada tahun 2014 dan 2019. Kedua kelompok pendukung capres tidak segan untuk mecaci maki satu sama lain demi membela capres yang didukung bahkan sampai pada taraf memfitnah pihak lawan.

Polarisasi publik di media sosial juga terjadi ketika menyikapi peristiwa UU Cipta Kerja. Kelompok satu menganggap UU Cipta Kerja adalah bentuk penindasan terhadap buruh, bertolak belakang dengan pendapat pihak yang pro UU Cipta Kerja.

Peluang polarisasi didukung dengan algoritma media sosial yang cenderung menampilkan sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau disukai sebelumnya. Apabila sebelumnya sering melihat dan menyukai konten tentang “pro UU cipta kerja” maka media sosial akan sering menampilkan konten konten yang pro UU cipta kerja di beranda media sosial pengguna.

Sejatinya, di era demokrasi perbedaan pendapat dalam memandang suatu peristiwa merupakan suatu kenisyaan. Namun, perbedaan pendapat menjadi negatif jika menjurus terhadap perpecahan, fitnah, dan caci maki. Parahnya, kondisi inilah yang sering ditemui di media sosial, mengumpat dengan menulis kalimat jorok untuk lawan di media sosial, membela tokoh secara membabi buta tanpa mempelajari lebih lanjut tentang suatu studi kasus hingga menyerang personal hanya karena perbedaan pendapat. Hal ini diperkuat oleh pendapat Microsoft yang menyatakan bahwa netizen Indonesia mendapat peringkat 29 dari 32 sebagai kategori netizen dengan kesopanan dalam bermedia sosial.

(baca juga: Kiai Muhyiddin: Fatayat harus Tulis Buku Aswaja)

Umat Islam khususnya kaum Ahlussunnah wal jamaah mempunyai prinsip kehidupan yang luhur berupa tawassuth yaitu, sikap tengah yang tidak ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.  Tawassuth tidak sesederhana menolak Islam kanan garis keras atau menolak liberalisasi dalam Islam. Sikap ini bisa menjadi pegangan kehidupan sehari-hari termasuk ketika terjun di media sosial.

Tawassuth dan tidak punya pendirian adalah dua hal yang berbeda. Hal utama yang membedakan keduanya adalah ada atau tidaknya landasan ilmu yang dipakai untuk menentukan sikap. Lantas bagaimana cara bersikap tawassuth dalam bermedia sosial?  

Pertama, memposting sesuatu dengan landasan kuat

Media sosial bak lautan yang memuat banyak informasi. Informasi benar dan hoaks bercampur menjadi satu. Memberikan pendapat hanya berlandasakan satu informasi di media sosial sebaiknya dihindari. Seyogyanya mencari informasi yang berkaitan dengan peristiwa yang serupa dari berbagai sumber. Setelah mempunyai banyak informasi, maka analisis informasi tersebut dengan perangkat perangkat ilmu yang telah dimiliki. Kekayaan perspektif akan menjadikan seseorang lebih bijak memutuskan untuk bersikap di media sosial.

Kedua, hindari fanatik buta.

Fanatik  secara membabi buta menyebabkan seseorang tidak rasional dalam memandang suatu peristiwa. Contoh fanatik buta adalah adanya sekelompok orang di media sosial yang selalu membenarkan maupun selalu menyalahkan langkah pemerintah dalam mengambil sikap. Kubu pro pemerintah selalu mendukung tanpa mengoreksi langkah pemerintah, apapun langkah tersebut.

Fanatik buta juga kadang terjadi ketika mendukung suatu tokoh, pengikut atau pendukung tokoh cenderung meng-amini setiap pendapat tokoh dan menyerang pihak yang berseberangan dengan tokoh yang dibela. Hal seperti ini harusnya dihindari dalam memutuskan pendapat. Bisa jadi sang tokoh benar, bisa jadi pula sang tokoh memang keliru dalam memberikan pernyataan atau sikap.

Inti dari tulisan ini adalah mari untuk belajar bersama melihat suatu persoalan khususnya di media sosial dengan kacamata yang seimbang dan jernih, mengutarakan pendapat berdasarkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan serta menuliskan pendapat dengan kalimat yang tidak bernuansa fitnah dan caci maki.

Waallahua’lam…

*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris, jurusan IPA, tahun 2017

Related Post