Penulis: Tasya D. Amalia*
Menebar kehangatan di sekitar rimbun pepohonan, bara itu menari di atas tumpukan kayu usang. Desir malam mengajaknya melenggok gemulai diiringi lagu rintihan kelelawar, terhenyak diantara gesekan pohon kesturi mendayu pelan. Dibimbing sinar rembulan pagelaran ini tambahlah megah. Tondi[1] itu berjalan mengitari pagar ilalang pondok bambu kecil beratap jerami didekat pematang ladang. Tepat di tengah belantara pondok itu tegap menatap sekitar. Tondi tak tahu harus berkata apa, bara itu semakin berkobar mengikis atap pondok itu, riuh para Dibata[2] bersumpah serapah serasa mengguncang pondok itu, purnama menyisir malam dengan sinar untuk menunjukkan pagelaran baru. Disudut pondok sehelai celana dalam anak kecil basah bergoyang terbawa desir napas alam. Tondi itu menyadari masih ada noda kuning menempel disisi dalamnya. Ia hendak tertawa namun terhenti saat telinganya menangkap jerit tangis dari pondok itu. Ditengok kesana ternyata bara merebah menjadi lautan api. “ Hangus… terbakar pondok itu!” jerit tondi. Tak mampu lagi ia diam disana, ia harus kembali.
Tondi telah kembali pada raganya. Seketika gelap menyerang, hujan datang sebagai bala bantuan. Tak ada cahaya selain pelita di hati seseorang. Dibawah suatu pohon kesturi, jauh di pinggir belantara anak itu menangis sesenggukan, kasihan.
***
Kursi yang di duduki berderit ketika tertambah satu lagi penumpangnya. Pandanganku menerawang jauh kedalam rimbun pohon kesturi dimana terhalang jendela bus yang berdebu. Guratan kulit kayu mereka nampak terkejut melihat sosokku kembali. Dahan mereka bergoyang rancu di tempa hari yang tak menentu. Tak disangka seorang pemburu jangkrik menengok padaku, kubalas dengan senyum pandangan pemburu itu.
“ Bagak ma bohini botou an bahh, jadi marosuh iba mamereng[3]!”gumam sang pemburu.
Bus terus melaju diantara belukar yang merembet kejalan. Among[4] menginginkanku ikut bersamanya, dia ingin aku mengatasi masa laluku. Perjalanan ini serasa menindih disetiap helaan napasku. Benar kata among, tak ingin aku lari dari masa lalu yang mencekik ini. Hanya saja keadaan yang memaksaku untuk sembunyi. Kobaran itu masih selalu membakar ragaku, bayangan orang tua tercinta yang mati tak berdaya membius diriku untuk bungkam. Meski among bukanlah ayah kandungku tetap saja kasihku tercurah padanya, berkat tangan among aku barhasil selamat dari deraan rasa cemburu.
Tak jauh nampak gerbang desa itu terbuka, sudah lebih dari sepuluh tahun aku berusaha melupakan nama desa itu, namun sekarang mau tak mau dalam hati akhirnya aku mengatakannya. Desa Lobu Pining, Pahae Julu, Taput mengucapkan selamat datang padaku. Menghela napas berat, jantungku berpacu kencang. Tak mampu aku melihat kembali desa itu, walau sudah lama sekali, semakin kumenjelajah kedalamnya aku seperti keledai yang hendak jatuh di lubang yang sama. Tanganku terasa hangat, among menggenggamnya. Terkadang sentuhannya mampu menenangkanku.
Bus berhenti di depan sebuah rumah besar di tengah desa. Seorang pria telah berdiri didampingi para warga untuk menyambut kedatangan kami. Among turun terlebih dahulu, seketika beberapa warga menghampiri dan membawakan barang-barang kami. Sedang aku masih terdiam di dalam bus. Kakiku terasa sulit untuk beranjak, aku butuh waktu sedikit lagi. Kulihat mereka berjabat tangan, entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak sekalipun mengerti bahasa batak meskipun sejak lahir aku tinggal di Sumatera utara. Bahasa itu bagai begu[5] yang menghantuiku. Salah satu warga menjemputku. Berbenah aku sebentar kemudian melangkah keluar. Terasa angin menerpa wajahku begitu kaki ini menapaki tanah, mengibas rambut hitamku yang tergerai, rona wajahku memerah tertimpa sinar matahari, mata kelabuku disipitkan menghindari debu jalan yang berterbangan. Sungguh hari begitu menggerahkan.
“Ini putri saya Siman.” Ujar among. Mata pria itu berkilat memandangku.
“Saya Yosep, kepala desa Lobu Pining, senang berkenalan dengan anda.” Aku hanya mengangguk, pria itu tersenyum penuh arti menatapku. Aku terbiasa mengenali senyum sepertinya.
“Tuan… Tuan…” teriak seseorang. Napasnya tersengal sebab berlari, air mukanya nampak takut bercampur cemas. Sedetik kemudian tubuhku bergetar, aku hampir tumbang jika ayah tak segera merangkulku dari belakang. Kucengkeram rok panjangku erat. Pandanganku mengabur. ‘Ini yang kesekian kalinya, tolong jangan seperti ini, gumamku.’
“Ada apa?” Tanya Yosep.
“Di sana… tuan… disana… cepat”
“Mungkinkah itu tentang…” bibirnya sedikit tergigit,“ Begu Ganjang…[6]”
Secepat mungkin pria itu mengangguk. Langit bermuram ditutupi gumpalan awan hitam yang tiba-tiba datang. Sesegera mungkin kami pergi pada tempat yang dituju tak terkecuali aku. Meski sedikit terseret aku bersikeras pergi dibantu among di sampingku. Sepanjang perjalanan aku mengadu, among betambah erat memegangku. Entah apa yang sedang menderaku, rasanya ada sesuatu yang memaksa keluar dari tubuhku. Sangat kuat dan cepat namun tak dapat.
Jangan… jangan Siman. Kau adalah diriku. Tolong dengarkan aku. Seharusnya kau diam saja. Jangan…
***
Kupeluk wanita tua itu menghalanginya dari amukan para warga. Darah mengalir dari pelipis dan ujung bibirnya. Aku tak peduli meski nanti aku yang akan menjadi sasaran amuk mereka.
“Hentikan…!” teriak yosep, “ Tidak ada yang boleh bertindak brutal disini. Kalian bukan Tuhan! Kalian dengar?” tambahnya.
Apa yang ia katakan terasa parau di telingku, layaknya dengung yang berdecit pada setiap katanya. Kuhiraukan ia dan membawa wanita itu masuk, sepertinya ia telah berhasil membuat seluruh warganya patuh dan akhirnya menepi pada kediaman masing-masing. Dedaunan jatuh bertebaran dibawa angin yang kelelahan, mengitariku yang berusaha kuat mengatasi emosi yang tak henti melahap naluriku. Aku hanya ingin lekas pulang. Seketika beban yang kupikul terasa lenyap.
Semula aku tak menyadari kehadirannya, sepasang mata itu meneduhkan hatiku. Berbadan jangkung semampai, wajah putih pucat berkumis tipis tak lebat. Terkesan kampung dengan kaus abu-abu dan celana hitam kedodoran, namun meski begitu rambut sebahunya tak dapat menutupi ketampanannya, “ Siapakah dia?” pikirku.
“Arghh…” keluh wanita tua itu menahan sakit di kepala membuatku berpaling darinya.
Kami disambut seorang gadis muda yang berlari kecil dari dalam dengan membawa sebuah kotak yang entah apa isinya. “ Dia Leling pembantu saya, tolong biarkan leling yang mengurus saya.” Percikan api sempat menyulutku saat mendengar kata-kata itu terlontar darinya, namun lekas kupadamkan, ‘wanita ini tak mengenalku jadi wajar jika ia begitu.’
Kuputuskan untuk pergi.
“Bisakah saya tahu alasanmu menolongku?” Tanya wanita itu. Aku menengok padanya, sebisa mungkin aku tersenyum.“ Sebab rasa itu pernah kurasakan, menjadi kambing hitam seseorang, benarkan?” bayang jerit tangis ambu[7] membayangi sekarang. Akalku mengingat ambu disaat kulihat gurat menuanya.
“Tapi, bagaimana jika…” wanita tua itu menunduk, “ Semua yang dikatakan mereka benar?” lanjutnya. Mataku terbelalak, jantungku serasa berhenti berdetak. “ Bagaimana jika saya memang pantas dihukum? Bagaimana jika saya memang melanggar dan… faktanya saya memang memilikinya?” aku mematung di ambang pintu.
“Untuk kau, coba lihat disana!” ia menunjuk sebuah pintu setinggi dua meter disisi kiri Leling, gadis itu sama menatapku.
“Nunga lamo memang[8], tapi kurasa ia masih disana” tambah wanita itu.
Gagang pintu terasa dingin dikala telapak tanganku memegangnya, sepersekian detik lamanya aku ragu. Menyadari hal itu Leling berdiri di sebelahku. Pintu berderit, engsel berputar membuka pintu itu lebar. Urat sarafku menegang dikala pandang menapaki ujung ruang. Banyak boneka wanita tanpa kepala penuh tusuk jarum dan paku, timbunan tanah kuburan yang tertata rapi dalam karung kecil dan dedaunan yang entah apa jenisnya di sana. Tak ada ornamen lain selain tikar belukar yang terhampar. Semuanya tak asing, Aku harus pergi, teriak hatiku. Tanpa pamit aku keluar, tanpa sadar kaki beranjak menghampiri Yosep yang ternyata masih menungguku. Ia memperhatikanku yang sedikit linglung disertai langkah panjang yang berat.
“Tolong bawa aku pulang Yosep, tolong…” ucapku sebelum ia menanyakan sesuatu yang akan membuatku tumbang. Hilir mudik serangga melayang diatas tumpukan sampah terbuang. Salahkah aku jika aku menyesal?
Lihat… aku bicara padamu, seharusnya kau mendengarku.
***
Dua hari aku tak pernah keluar rumah, bahkan untuk sekedar menutup mata saja aku takut, selalu di tengah malam aku terbangun dengan bersimbah keringat, mimpi buruk semakin menuankan tidurku. Embun menerpa wajahku yang kedinginan, menggigil aku bukan karena hari yang baru membuka suryanya. Kuberanikan diri untuk menjelajahi desa ini agar saat nanti aku kembali takkan bertambah lagi lukaku. Kupilih merenggangkan otot di sekitar sawah rumah Yosep, menghirup udara segar sungguh dapat menenangkan hatiku. Sawah yang menguning mencerahkan hariku, burung-burung terbang meninggalkan sarang dengan berpasang-pasangan, kuikuti mereka sampai berhenti dan bertengger pada ujung atap yang menyembul dari atap saung di dekat pematang sawah. Disitulah aku merasa sesuatu yang lain, lagi-lagi ia memandangku, tatapan yang sama meneduhkan hatiku.
“Kau mengenalku?” ia tetap diam tanpa sekalipun mengalihkan perhatiannya padaku.
“Hei… aku bicara padamu” ulangku dengan sedikit menunjuk kearahnya.
“Kau… kau bicara padaku, tapi bagaimana mungkin kau…” tiba-tiba raut wajahnya berubah, ia nampak menahan sakit yang terlalu, tangannya mendekap dadanya kuat.
“Kau tidak apa-apa?” ia terbelalak menatapku yang sedang memegang bahunya.
“Bagaimana… uhuk… uhuk…” ia memuntahkan cairan merah dari mulutnya. Berulang kali ia menutup mulut agar tak menjalar kemana-mana. Kebingungan aku melihatnya, dadaku ikut sakit. Ia menatapku, seketika jantungku berlarian.
“Bisakah kau membantuku, tolong…”
***
Pria itu berlari menuju rumah di hadapannya, aku terperangah. Baru kemarin lusa aku kemari, kuyakin wanita tua itu baik-baik saja. Air mataku tak mampu dibendung menahan rasa nestapanya. Melihat ia bersimpuh berlinang air mata di hadapan rumah yang kini telah berkelumun asap dan bara hatiku hancur.
“Ambu mereka jahat, mengapa mereka tak mau percaya padamu, sampai detik terakhir hidupmu aku tak mampu berbuat apa-apa.” Desah pria itu, aku memunggunginya agar dapat menangis tanpa ia sadari. Satu lagi orang yang bernasib sama denganku, mengapa dunia ini semakin kecil akal sehatnya, wanita tua itu adalah ambunya, dengan tega bara telah menelannya. Kuingat semua barang itu untuk ritual pemujaan Begu ganjang, seseorang meletakkan barang-barang itu di belakang pondok orang tuaku dan akhirnya membuat mereka meregang nyawa. Siapakah begu ganjang yang dikabarkan merajalela itu? Mengapa semua orang menyalahkannya? Apakah benar ia yang mengakibatkan wabah penyakit disini hingga kematian menjadi momok menakutkan setiap warganya? Bukankah bedosa menuduh seseorang tanpa sebuah bukti? Aku tak akan menyalahkannya karena orang tuaku dan ambunya harus kehilangan nyawa, justru pemikiran warga disinilah yang harus di reka ulang, aku tak takut pada begu yang katanya dapat mencekikku itu, aku kasihan padanya karena semua orang benci padanya.
“Kau tahu?”
Jantung mengambang diatas kecepatan normal. Tubuhku serasa diberi lem perekat yang ditancap paku pasak bumi, sempat aku mengerjap beberapa kali untuk memastikan. Oh.. Dibata… ia memelukku.
“Maaf jika ini mengganggu. Tapi ijinkan aku untuk seperti ini. Kau tahu bara itu juga membakarku.” Lidahku kelu untuk sekedar mengucap sebuah kata. Pelukannya begitu hangat mendekapku, aku tak mau berbohong jika diam-diam aku menikmatinya. Kurasa pria ini telah menerebos masuk ruang sukmaku. Alam hening dipelupuk suasana, seolah hanya kami berdua yang hidup, meskipun terkadang aku juga merasa mendayung di luasnya samudera, lelah.
Siman, kau! Tak cukupkah semua?
***
Kambing putih telah diikat pada sebuah tiang di suatu hamparan tanah lapang. Menjelang tengah hari warga akan berkumpul di sini. Bersama-sama menyaksikan sebuah ritual yang mereka tunggu dengan penuh suka cita. Kuputuskan untuk mendatangi among yang tak pulang untuk mempersiapkan semuanya. Air mataku mengering sudah sebab habis terkuras semalam. Kebahagianku tak pernah bertahan lama, pria itu telah pulang sebelum datang Yosep dengan ditemani kedua istrinya dan berkata, “ Sungguh mereka telah setuju, saatnya kau putuskan apakah mau menjadi istri ke tigaku?”
Dia hanya mengantarku sekali, namun berani-beraninya ia berkesimpulan bahwa aku telah membuka hati untuknya. Rembulan saja tahu apa jawabku. Aku tak gentar meski akhirnya ia mengancamku, hanya saja perkataannya setelah kukatakan bahwa aku telah memiliki tambatan hati menusuk setiap pori-pori wajahku, perih. “ Berani sekali kau, jangan kira ku tak tahu kau bukanlah anaknya. Pantas saja kau berani menolakku, tapi ingatlah! Kau tak ingin sesuatu menimpamu melebihi orangtuamu dulu, kan?” tahu apa dia tentang orang tuaku. Melihatku tertegun tawanya memecut hebat. Setelah itu mereka pergi, dalam hati aku merenung. Cubit paha sendiri dahulu, baru mencubit paha orang lain, itulah yang selalu dikatakan among kepadaku.
(baca juga: Pesan Cinta dari Hotel Yamato)
“Mengapa kau menangis?”
Sontak aku menoleh padanya, ia sedang berdiri bersilang tangan di dada sembari memandangku yang terpaku. Kulihat kali ini ia berbeda, tak lagi nampak kumal dengan pakaian yang sederhana. Kotoran di pikiranku menepi saat tersungging senyumnya.
“Baiklah… jika tidak mau cerita, aku tak akan memaksamu untuk sekarang, tapi maukah kau mendengarku?” aku mengangguk malas mengiyakan pertanyaannya.
“Aku telah menemukan majikan baru, dan dialah yang membuat semua ini terjadi padaku. Aku merasa menjadi bertambah kuat.” Ia mengepalkan kedua tangannya berlagak seperti binaraga, aku tertawa melihatnya, bersamanya aku takkan jatuh di airmata.
“Kenapa tertawa, nak?”
Kulihat Among datang dengan mendekap ulo rago hotang[9] ditangan kanan. Ia menoleh pada among, sedetik kemudian mereka bertemu pandang. Laksana asam dan garam, pikirku melihat mereka sama membalas senyum.
“Among… dia temanku” aku membuka suara.
Air muka among berubah, nampak tanya yang sangat dalam pada sinar matanya. “ Untuk apa kau kemari?” teriak among memecah kalimatku. ia memandangnya jengah. Aku berusaha mencari suaraku.
“Jangan kau ganggu anakku, sudah kukatakan akan memusnahkanmu sebentar lagi atas dasar permintaanmu, Setelah meninggal ambumu yang ternyata juga majikanmu itu, kau mendatangiku sebab kau ingin binasa bersamanya, mengapa kau malah mendekati anakku?” aku menoleh padanya tak mengerti.“ Tunggu apa lagi, PERGILAH…!” kalimat among menyentakku.
“Tolong jangan seperti itu among, aku..?”
“Dengar nak! Coba lihat dengan mata batinmu, nak. Seharusnya among mendengar tondi waktu itu dan membiarkannya untuk keluar dari tubuhmu, setidaknya itu untuk sementara agar kau tak bertemu dengannya.”
Aku menelan ludah tak percaya, kuberanikan memandangnya sekali lagi. Tak ada yang berbeda darinya, semua terlihat sama. Tanpa sadar tanganku melayang menggenggam tangannya. Kami sama-sama terkejut, tangannya begitu hangat dalam peluk telapak tanganku. Tak mungkin jika ia tak nyata sedang aku mampu menyentuhnya. Aku tersenyum menapaki kemenanganku.
“Sudahlah among jangan bercanda, lihatlah aku bisa menyentuhnya, bahkan aku juga dapat merasakannya.”
“Bisakah kau bantu aku?” kuberanikan diri memandang matanya, ia mendongak, “ Tahukah kau, kita lupa berkenalan sejak pertama kali bertemu?’ ia tersenyum.
“Ah itu… kurasa tak masalah lagi sekarang, karena bagiku ada atau tanpa nama kau_” tak dapat kulanjutkan, aku bersemi putri malu.
“Nama adalah cerminan dari seseorang. Karena orangtua telah berusaha membuat nama sebaik mungkin agar dapat menjadi doa nantinya” ia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. ‘ Tapi itu jika orang tuaku tahu jika aku adalah anaknya. Padahal jauh di lubuk hati, aku ingin mereka memberiku nama.’Aku bersabar menunggu kata darinya, setelah lama ia terdiam. Melepas genggaman tanganku lembut. Berjalan menghampiri among yang terdiam kaku di hadapanku.
“Kau yang bersalah! ” tiba-tiba dari ubun-ubunnya keluar asap putih tebal menyebar, bibir kecilnya naik terus hingga hampir mengenai matanya, sedang matanya sendiri terbelalak mengeluarkan cairan merah gelap, gigi taring menyebul dari ujung mulutnya, kulit mulusnya mengendor berkerut, belatung muncul merayap dari pori-porinya. tubuhnya memanjang, lidahnya terjulur panjang, rambut panjangnya memutih gimbal. Kembali bergeming, badai menghantamku. Itukah wujud aslinya? Tapi mengapa?
Suaraku kembali menghilang, tangannya terjulur menuju pangkal leher among. Seakan terbius oleh sihir, aku terpaku melihat among dipatahkan lehernya, dan itu tanpa sebuah perlawanan yang berarti. Among hanya memandangku dan membisu. Daun berguguran mengantarkan kepergian among, badannya jatuh terlentang dengan kepala goyang. Aku tersedak oleh napasku sendiri.
“Siman, lihatlah aku!”pintanya setelah kembali pada wujud sedia kala.
“Aku… aku… kenapa?” tak dapat dibendung, banjirlah wajahku.
“Tak perlu kau menangisinya, dia orang jahat.”
“Sadarkah kau, dia adalah amongku. Kau membunuh amongku”
“Aku melakukan semua ini agar kita bersatu, dan tentu saja kau dapat bertemu amongmu juga nanti, percayalah!”
“Apa kau GILA…? kita tak bisa bersatu. Kau hanya begu dan akan tetap seperti itu”
Ia mendekatiku, de javu. “ Kita bisa bersama” bisiknya.
Pandangnya menusuk kalbuku, lagi-lagi aku terbius akan teduh matanya. Perlahan tangannya mulai memijat leherku lembut, angin sepoi mengibas rambut meluaskan jarak sentuhnya. Semakin lama pijatan itu semakin kuat, napasku tertarik olehnya, entah apa karena aku begitu mencintainya? Kubiarkan ia mencekikku. Aku terhenyak terlambat menyadari, namun kubiarkan itu terjadi begitu saja. Keyakinanku memuncak saat kata-kata itu terucap darinya.
“Aku memang tak mempunyai nama, karena orangtuaku tak memberinya, namun aku mempunyai panggilan, begu ganjang begitulah sebutanku. Kau tak perlu takut padaku Siman, sebab jauh sebelum amongmu menempaku menjadi seperti ini saat aku masih berumur tujuh hari aku sama manusianya sepertimu. Kau tak perlu khawatir, sebenarnya tuan barukulah yang menghendakiku untuk membunuhmu. Awalnya aku tak kuasa, tetapi saat mendengar jawabmu aku mau. Kurasa aku harus berterimakasih pada amongmu ini karena telah membawamu padaku.” Mengeluh tak guna sekarang. Siapa yang terjebak dan siapa menjebak, aku tunduk begitu saja.
Napasku berada diubun, “Holong rihangku di ho[10]” bisiknya.
Gelap menjalar kemudian. Aku tenang dalam terkatupnya alamku. Entah apa yang aku rasakan saat ini, aku hanya memangku dagu. Menunggu hingga janjinya dapat menempaku, sampai itu terjadi aku akan terus menunggu.
***
Butir debu berkejaran pada petala langit yang kelabu. Bara baru beberapa jam yang lalu usai dipadamkan. Pria itu berjalan mengitari bekas tanah yang masih basah. Aku sendiri masih menunggu, sembari menyegarkan mata dengan pagelaran yang lebih seru.
“Kau tak menyesal?” aku tak tahu harus menjawab apa, tondi berdiri bersebelahan denganku. Ia hendak pamit pergi jauh dariku namun sebelumnya disempatkannya untuk berkunjung pada tempat penantianku.
“Entahlah aku tak tahu, tentang jadi apa sebutanku sekarangpun akupun tak tahu. Tidak mungkin orang akan memanggilku begu laos[11], apalagi begu gunung[12]. Kau tahu sendirikan, kastaku. Mungkin orang-orang akan memanggilku begu nurnur[13][14] atau bisa juga begu siharhat tapi tak pentinglah apa jadinya nanti. Sebuah sebutan tak masalahkan? yang terpenting adalah hubunganku dengannya. Tak ingin aku kalah, ia saja dapat hidup tanpa nama meski bara itu terlanjur membakarnya.”
“Benar… barang kali benar. Tak baik menyalahkan orang lain, apalagi makhluk yang telah tak bernyawa, bisa jadi ia seperti kekasihmu itu. Bara begitu banyak dalam dirinya namun tak sekalipun ia gunakan kecuali untuk kebenaran, benar kan?”
Aku hanya diam, pandangku kembali melihat mata teduh itu. Ia berjalan menuju tempatku berdiam. Bara dihatiku padam dan kurasa dihatinya juga. Sulit bagiku untuk merealisasikannya. Kutinggalkan tondi sendiri, aku tak sabar untuk bersua dengannya.
“Kau sudah selesai?” tanyanya.
“ Nunga, tondi hanya mengucapkan selamat tinggal” aku belajar bahasa itu darinya.
Ia mendekapku, inilah hal yang selalu kusuka. Kami berjalan beriringan, dan tanpa sengaja melewati pria itu. Ia menatap kami dengan penuh bara. Kini ia termangu sembari menggendong tengkorak bayi berambut panjang milik Ganjang. Jika tak ada kata yang keluar darinya untuk menyulut bara itu, mungkin semua ini takkan terjadi. Kasihan Yosep harus menangung akibatnya.
Hari mulai mengantuk, sang surya merenggang otot di ujung kaki langit. Kami pergi, melesat jauh menuju pondok baru kami, disana. Diatas pohon kesturi.
‘Barang kali benar, hanya bara yang tahu. Semakin lama bara tinggallah berdebur debu’ ucap tondi dikala terkikis tubuhnya.
Jum’at, 23/03/18
Ruang tanpa debur debu
(Alhamdulillah menjadi 6 besar terpilih sayembara cerpen mitologi nasional di IKIP Veteran Semarang)
*Penulis
adalah alumni SMA Nuris Jember, berprestasi nasional, penulis buku novel “Riban”,
dan kini sedang studi sarjana di Universitas Negeri Malang
[1] Tondi: roh, nyawa.
[2] Dibata; Dewa.
[3] Bagak ma bohini botou an bahh, jadi marosuh iba mamering ( bahasa batak toba); cantik sekali wajah wanita itu, suka kali saya melihatnya.
[4] Among: panggilan ayah orang batak
[5] Begu: hantu
[6] Begu ganjang: hantu panjang ( sebutan orang batak)
[7] Ambu : ibu
[8] Nunga lamo memang: sudah lama memang.
[9] Ulo rago hotang: kain khas batak
[10] Holong rihangku di ho: aku cinta padamu
[11] Begu laos: hantu yang ketika hidup menjadi pengemis
[12] Begu gunung: hantu gunung
[13] Begu nurnur: tempatnya belum di ukur sewaktu meninggal
[14] Begu siharhat: mati tanpa meninggalkan keturunan