Ilusi Persinggahan

Penulis: Ayu Novita Sari*

Desir debu-debu mungil menjajak. Senja berlubang menyisakan kisah yang akan tumbang. Rayap masih membuat sarang dalam tanah lembab. Terlihat cacing-cacing tanah bergeliut mencari tanah subur. Bagaimana dengan aku?. Awan berganti bentuk sesuka hatinya, hingga pada saat waktu yang bertepatan awan membentuk wajah seseorang. Wajah siapa itu? Mungkinkah manusia yang paling sempurna di dunia ini?. Kerisauan akan masa, segerombolan orang datang membawa sebongkah senyuman dan juga selembar kertas. Lalu, ia duduk di atas batu tertinggi di bagian dunia seribu pulau ini. Aku pemimpin disini.

(Baca juga: retak berdetak)

***

Semut

            Pasukan semut itu meniti pada sebuah gedung yang berdiri kokoh di atas tanah. Cuaca tersenyum sinis hari ini, di ujung seantero alam sana petir dan guntur bersahut-sahutan tanpa arah dan tak mau kalah. Tak lagi ada persinggahan yang bisa diharapkan. Dengan cepat gerombolan semut itu mencari dan saling memberi informasi lewat antenanya untuk saling menjaga satu sama lain. Hujan.

            Bukan hanya hujan yang datang menderasi tanah di bumi. Angin pun ikut andil dalam panorama ini. Para semut tetap berpegangan, makanan hasil pencarian gotong royong langsung mereka lepaskan. Tidak ada yang tahu nasib mereka bahkan tak ada yang peduli dengan keadaan dan nasib mereka. Nada menyandang kepasrahan akan nestapa kepasrahan.

            Aku menyayangi mereka, belajar banyak tentang mereka. Hanya bahasa dan ingkarnasilah penghambat semua.

            Gelap. Tidak ada hujan, Guntur, bahkan angina. Kaki mungilku tergores sedikit, hujan telah membawa mereka. Anginpun sebegitu kejamnya membawaku ke tempat redup dan masih membiarkanku hidup dalam kesepian tanpa keluarga. Kuraba pijakan yang tengah berada di bawahku. Sejenis kayu. Dengan sedikit tertatih aku berusaha dengan sisa-sisa tenagaku. Banyak tumpukan kertas-kertas yang menyulitkan langkah mungilku. Tempat apa ini. Debu berterbangan di mana-mana, kulihat sepercikan cahaya hadir di salah satu celah ruangan ini.

            Susah payah aku memisahkan dua bagian celah itu. Berhasil.tak ku sangka, tak ku duga. ini adalah ruangan perpustakaan para manusia. Benar saja, para manusia itu sibuk dengan kegiatanya masing-masing. Dengan keras kulihat ada yang membaca sambil berdiri, komat-kamit seperti membaca mantra dunia komik. Terdapat di pojokan ruang seseorang yang serius dengan buku dan alat tulisnya. Betapa terkejutnya, buku yang aku pijak diambil oleh seseorang dan dibawa ke luar ruangan entah kemana, seseorang itu akan membawaku.

            Tempat tidur susun, ditata rapi oleh pemiliknya. Terdapat almari berbentuk kota kecil yang entah apa saja isinya. Tak lupa di sana juga terdapat jendela untuk keluar masuk udara. Ah, udara! Udara sama saja dengan angin, penyebab semua ini. Buku yang aku jajaki ternyata diletakkan di jendela yang terbuka lebar.

            Orang itu meninggalkan tempat ini. Dan hanya tinggal aku di sini. Kulemparkan pandanganku ke luar sana. Teringat sesuatu ketika melihat mereka bergotong royong saling membantu.

            Tempat apa ini? Kenapa orang orang berpakaian yang sama semua. Memakai penutup di kepalanya?.

(Baca juga: tergantungnya mata mungil)

***

Nyamuk

            Aku tertidur lelap. Setelah lantunan syair-syair kurapalkan. Lelah, pasti. Tidurku tak lama, karena aku harus terjaga untuk kepentingan raga. Berdialog santai bersama Sang Pencipta. Terus begitu setiap hari. Heran. Ketika terdapat bintik-bintik misterius bagian tangan. Diam.

            Hujan turun sangat deras. Kulihat pohon sangat basah hari ini, kehangatan sangat dibutuhkan saat dingin menyelubung sampai ke tulang rusuk. Tubuhku menciut. Kulihat di sudut ruangan terdapat kucing yang sedang tertidur lelap. Kuterbangkan tubuhku dan mendarat tepat di punggungnya. Bulunya basah, kulihat telinganya terluka. Tubuhnya kering, sepertinya ia tak makan, makanan bergizi satu minggu ini. Tak enak sendiri aku menghisap sisa darahnya. Mungkin menumpang untuk beristirahat dan meminta kehangatan di sela-sela bulunya cukup.

            Dingin yang merasuk terus menerus membuatku nyaman berada di tubuh kucing buruk ini. Hingga aku tertidur. Tak ada mimpi yang hinggap dalam hibernasiku. Tiba-tiba, terjadi goncangan hebat menyebabkan aku tebangun, bukan hanya aku kucing buruk ini pun juga ikut terbangun. Dengan sekuat tenaga aku berpegangan erat pada bulu-bulu di sekelilingku. Kulihat kucing buruk ini, bertarung mempertahankan tahtanya yang akan direbut oleh manusia yang tidak menyukai kehadiran kucing buruk rupa di ruangannya.

            Ketika kucing terpental keluar, aku pun ikut terhempas tak tentu arah. Dengan sigap kukepakkan sayap mungilku dan tak sesempurna yang kubayangkan aku menabrak sesuatu yang membuatku terpantul pada suatu benda. Teringat, tentang sepenggal kisah masalalu yang mengenalkanku pada sebuah benda yang disebut dengan kitab suci orang Islam ini. Tidak cukup sampai situ di dalam kitab ini juga terdapat syair-syair Sang Pencipta yang menerangkan tentang aku dan keluargaku.

            Kucoba perhatikan torehan-torehan di atas kertas itu. Aku tak pernah belajar tentang cara membaca tulisan ini sebelumnya. Nanti setelah aku cukup besar akan aku pelajari mendalam tentang kitab suci ini. Kulihat sesuatu mulai mendekati tubuhku dan benar saja. Tepat di atas tubuhku terdapat tangan manusia yang siap untuk menangkapku. Dengan lihai dan ketangkasanku aku langsung menyelubung pada sesuatu yang entah apa itu namanya.

            Ternyata di balik kain itu adalah rambut si pemilik. Dan terdapat sesuatu yang bergerak-bergerak berusaha keluar dari timbunan rambut yang lebat. Benar saja terdapat sesuatu makhluk hidup yang langsung menghampiriku.

            “Kau tersesat ataukah kau ingin menghisap tuanku di bagian kepalanya” hewan itu memberondongkan pertanyaan sampah padaku.

            “Darah tuanmu tak cocok untukku hisap, aku hanya ingin berlindung di sini” jawabku tenang.

            “Jika memang benar begitu berarti kau memilih tempat yang salah untuk berlindung. Hidupmu terancam jika kamu berada di sekitar manusia”

            “Aku hanya ingin mengetahui sesuatu. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh hewan sejenisku ataupun sesuatu yang tak pernah ingin diketahui oleh kebanyakan hewan”

            “Ayo ikut aku, akan aku tunjukkan sesuatu”

            Tak semudah itu memang berjalan dalam balutan kain yang tertempel rapi. Tetapi dengan susah payah hewan yang bernama kutu itu menembus kain dan aku menerbangkan diri keluar dan kita bertemu tepat diatas kepala.

            “Aku selalu mengikuti tuanku ini kemana saja. Yang aku mengerti dia selalu terlihat senang dengan kesibukannya. Dia patuh dengan Penciptanya, aku di ajarkan salat tepat waktu olehnya ketika azan berkumandang ia langsung meninggalkan aktivitas, aku diajak melantunkan ayat-ayat suci Sang Pencipta, dan bukan hanya itu ia selalu membaca kitab-kitab yang diajarkan oleh gurunya. Bergotong royong dalam hal kebaikan, membersihkan seluruh gedung suci ini. Terkadang aku juga harus bertarung mempertaruhkan hidupku ketika ia ingin memberantas aku dan sekelompok hewan yang sama seperti yang berada di kepalanya. Asalkan kamu tahu aku tidak selancang itu, aku menyayangi tuanku. Tetapi dia mengira semua kutu sama saja”

            Sunyi. Angin menghembus pelan dan menggerakkan lembut antena yang berada di atas kepalaku. Lalu aku lihat apa yang dilakukan tuan dari kutu itu. Ia berjalan menuju pada sesuatu yang sering aku dan teman-temanku singgahi. Loteng. Hari mulai malam. Rapalan-rapalan alam mulai terdengar. Sayup-sayup sendu sudah terlalu dalam.

            Aku tidak mengerti apa saya yang mereka bicaran dan rencana mereka. Yang aku pedulikan hanyalah menjalankan kewajiban melarungkan diri dengan alam.

***

            Sajak-sajak telah menyelakar. Awan mencair terpecah membentuk sebuah titik pertemuan. Kepakan sayap reruntuhan terbaling bersama baletan angin. Bumi berhenti pada porosnya. Gradasi bintang terbentuk menjadi senyuman. Hamparan keberkahan mengalir menyisir pada pori-pori. Udara menyelubung menyusup pada pupil mata dan menggerakkan gendang telinga.

            Para pejuang itu. Berjalan dengan tenang dan khidmat, melantunkan sajak-sajak kerinduan akan angan, terjaga karena badan yang kekurangan akan asumsi belaian, mengingat dan mengulang-ulang syair-syair surga masa depan, dan memanjatkan rapalan-rapalan semesta yang menyelubung sampai dan diterima di langit ke tujuh.

            Kisah yang tak pernah terlupakan tentang status yang selalu menyelempang menyandang bukan hanya di depan dada, tetapi juga masuk ke dalam sel terkecil dalam badan. Hati yang selalu meluruskan pikiran akan tujuan dan kewajiban badan.

            Tersungkur dalam gelaran sajadah dunia. Teriris saat hibernasi menyapa.

***

            Semut itu terduduk pada pojokan jendela yang dingin. Melihat matahari yang memanjakan diri dengan sinar-sinar lembutnya. Sayangnya sinar itu, tidak dapat mendinginkan hatinya. Kerinduan akan kehangatan keluarga. Tak disangka tak diduga terdengar suara mengiang yang menyakitkan indra pendengarannya. Suara hewan yang sangat dibenci oleh manusia kehadirannya. Ia hinggap tepat disamping semut.

            “Aku menyayangkan sesuatu yang telah aku tinggalkan” kutu ternyata ikut bersama nyamuk. “Tetapi aku tidak menyesali perpisahan yang terhormat” ia melanjutkan ucapannya.

            “Hubungannya denganku apa?” semut mengambil posisi menghadap ke arah nyamuk dan kutu.

            “Apa yang kau lakukan disini, mengingat masa lalu yang sudah usai bukan? Ataukah membayangkan masa depan yang penuh dengan teka-teki?”

            “Menunggu keluarga yang entah mereka kemana”

            “Tidak bisakah kamu hidup mandiri tanpa mereka. Ciptakanlah hal baru yang membuat dirimu tidak terikat pada sebuah ikatan yang membuat terkekang dan cengeng. Jadikan kami temanmu”

            “Semua hewan temanku. Hanya saja tidak ada hewan yang mampu menolongku utnuk menemukan keluarga besarku”

            “Kami akan membantumu” nyamuk angkat suara.

            Tidak ada kehangatan yang lebih berharga kecuali terdapat seseorang yang selalu ada di samping kita. Awan malam berjalan dengan perlahan mengikuti angin yang berhembus di atas sana. Mereka tertidur dalam balutan kehangatan ruangan yang penuh dengan lampu. Masjid. Terdengar kemerasak suara sendu dialog makhluk. Tapi aku tidak mengerti arti darinya. Aku masih tertidur.

            Dhuha sudah menampakkan waktunya. Nyamuk mencari makan karena kutu kelaparan. Semut berjalan menujuh kubah masjid yang megah. Burung-burung ternyata suka bertengger disana dari pada di pohon gersang tengah hutan. Embun masih enggan pergi pada tahtanya. Menempel pada keramik-keranik warna yang menarik. Ia mendapati sebuah rongga yang tak asing pintu utamanya. Seperti pernah melihatnya. Benar saja, salah seekor semut keluar dari rongga dan melihat kehadirannya.

            Ternyata semut tidak terlalu jauh terpisah dengan keluarganya. Hanya saja bangunan ini cukup luas dan tinggi. Ayah dan ibunya langsung ingin membawanya pulang.

            “Aku mau pamitan dulu sama teman-teman aku, sekalian mau ngenalin mereka.”

            Nyamuk bersantai membersihkan pisau yang habis dipakai untuk menyobek kulit manusia tadi. Kutu menikmati darah yang diambilkan nyamuk. Tiba-tiba segerombolan semut menghampirinya. Salah satu dari mereka ada yang dia kenal. Benar saja, semut sahabatnya.

            “Aku akan pulang, mereka datang menjemputku”

            “Pergilah karena itu maumu bukan” kutu langsung menelan lidah.

            “Kalian tak ingin denganku?”

            “Kami punya kehidupan sendiri, kami bisa mengatasi hidup kami”

            “Terima kasih sudah bersedia menjadi sahabatku”

            Hening. Semut pergi bersama dengan keluarga besar. Mereka terdiam. Menyisakan dan meninggalkan sebuah kisah. Jangan lupakan tentang butiran-butiran putih yang juga mereka tinggalkan.

***

            Ringkikan jangkrik di malam hari, menyaring menggerakkan gendang telinga. Riuh angin menyelubung masuk pada selimut yang membalut di tubuhku. Lambu kamar kuhidupkan untuk sedikit meredamkan kedinginan. Kulihat tema-teman sekamarku masih pulas dan menikmati masa hibernasi mereka. Mimpi-mimpiku sudah lenyap, berganti getaran hati untuk berjalan mencari ketenangan alam dalam diri.

            Buih-buih yang berbondong berdatangan saat aku tidur tadi membuatku penasaran. Kisah macam apa itu?. Kusisir lorong-lorong satu persatu, kulihat masih sepi. Kupercikan buliran-buliran air suci melumuri sebagian anggota tubuhku.

Untuk kali ini, kau yang tak percaya pada kita kalau kita ada. Suatu hari nanti kau yang akan meminta kita menceritakan kisah kau yang engkau lupakan. Dengar, aku berada di dekat dimana saat kau memercikan air itu.

Jember, 2018

*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember, berprestasi nasional, kini sedang studi sarjana di FIB UNEJ

Related Post