Tergantungnya Mata Mungil

Penulis: Tasya D. Amalia*

Di balik pintu jati terpaku kopiah hitam berkarat. Lebih dari sepuluh tahun lamanya kopiah itu terdiam. Gurat-gurat tua telah nampak. Warnanya yang hitam dulu, kini berubah coklat kekuningan. Jika dipandang dari sudut dipan ia terlihat begitu lesu. Kadang ia terhimpit oleh tegangnya kayu dan dinding batu. Kepala yang telah memilihnya tengah tergantung. Bukan kepala itu tak setia. Tapi apa mau dikata. Masih untung sarung dan surban kelabunya telah memiliki badan baru. Meski lama sekali, tetap saja mereka melekat pada tubuhku.

            Dhamar berkelebat redup terang. Listriknya hampir habis. Mungkin dompetku lupa membayar biaya listrik. Pantas saja setiap terduduk di atas lantai serasa ada yang mengganjal di saku celanaku. Udara berhembus dingin penuh sesak embun rindu. Lailahaillah… Subhanallah… dzikir hari yang menua. Dilihat mata dari balik jendela yang usang dunia terlihat lesuh. Tak ingin berbohong jika mereka juga ikut merasa jengah. Langit memuntahkan isinya, perang antar samudra membuat mereka saling memisahkan diri. Bumi terbatuk. Kopiah berkarat itu bergeming.

            “ Bumi sekarat, benar kawan?”

***

            Allah pasti tahu, memanglah begitu…!

Rintik air menangis membasahi bumi pertiwi. Tak ada angin yang menambah keruh suasana di kala hujan datang. Hanya tetap saja pengeroyokan air terhadap rimbun pohon membuatnya menghentikan niat untuk pergi. Air hujan membasahi halaman serta pelataran toko kelontong itu. Kacamatanya ikut berembun terkena bias-bias air. Semuanya terkurung termasuk aku.

Toko kelontong menjadi tempat terakhir pemberhentianku. Cicak-cicak menyambut dari balik pintu bambu. Melihatku mereka tak percaya. Tuanku menempatkan posisiku agar dapat dilihat semua orang. Di dekat jendela besar sebelah kanan. Setelah mengucapkan salam perpisahan. Orang bermata sipit itu mengajak tuan bersalaman. Sepanjang perjalanan tuan banyak bercerita tentangnya. Si pemilik toko kelontong itu sedikit pemalu. Begitu mantap perjanjian mereka. Sesaat dua puluhan lembar uang berada di tangan tuan. Syukurlah akhirnya aku terjual. Berhari-hari tuan merajutku agar kelak aku menjadi yang terbaik. Hal ini tentu saja membuat para saudaraku iri. Sejak aku masih berbentuk bahan dasar hujatan selalu saja datang. Apalagi mengetahui tuan sering begadang untuk memastikan aku tercipta bukan sembarangan. Mereka semua menjauhiku. Tetapi bukan salahku tuan lebih perhatian padaku, bukan…?

(Baca juga: retak berdetak)

Sedikit bangga aku menyadari akulah mahakarya terbaik yang dimiliki tuan. Begitu lem-lem dalam tubuhku melekat sempurna jadilah aku utuh. Tubuh hitamku bersinar. Menantang cahaya matahari yang menyilaukan. Dibersihkannya debu yang tertinggal. Saat itulah tuan menamaiku, kopiah.

“ Gak salah dia di sini, ini kan tempatnya barang antik?” Ucap tempayan. Tak kupedulikan gumamannya. Mataku tetap memandang bayang tuan hingga hilang di tikungan.

“ Mungkin dia juga barang antik… lihat saja bentuknya! Aku saja tak tahu ia apa?” jawab guci Cina. Menjadi ciptaan yang sempurna bukab berarti tak ada celah. Selalu di setiap sisi ada yang tak suka.

Jalanan kembali ramai. Barisan truk-truk pengangkut barang sibuk menghujat sombongnya lampu jalan. Sedari tadi ia hanya diam dan terus menghitung mundur laju kendaraan. Klakson-klakson mengering sudah dipaksa berteriak kencang. Begini ternyata suasana ibukota. Dimana-dimana penuh saingan. Kasihan rem kendaraan, berulang kali mengeram kesakitan. Apa itu…?

Tak sengaja kutangkap sepasang mata mungil menatapku. Ia tersenyum. Lalu ia berbisik pada wanita di sampingnya. Kupastikan ia adalah ibunya. Ibu dan pemilik mata mungil itu kini menatapku secara bersamaan. Ada dua hal yang berputar pada kepalaku saat ini melihat mereka tak jemu menangkap suasana tentangku. Mungkinkah mereka berpikir sama seperti tempayan, atau malah ia juga iri seperti saudara-saudaraku. Tetapi atas dasar apa? Beragam tanya kini berkutat di kepala. Alih-alih pergi, mereka justru mendekat. Aku seperti kehilangan atmosfer yang kupunya. Dunia serasa sempit. Jantungku berdebar. Bukan aku takut ataupun gentar mengahadapi mereka. Hanya saja senyuman tulus dari sepasang mata mungil itu serasa mencekik belum ada yang tersenyum padaku seperti itu. Selain tuan semuanya mendengki padaku.

“ Yang itu Ali…?” mata mungil itu mengangguk. Tak lama pemilik toko menyambut mereka. Mata sipit itu kemudian menanyakan maksud kedatangan mereka di sini. Aku tak mau lagi memperhatikannya. Kupalingkan wajah agar mereka tak menyadari posisiku. Malangnya mata mungil itu tetap berhasil menemukanku. Ia raih tubuhku dan mendekapku erat. Seolah-olah tak ingin aku lepas.

(Baca juga: buih sapih parih)

Di balik pintu jati terpaku kopiah hitam berkarat. Lebih dari sepuluh tahun lamanya kopiah itu terdiam. Gurat-gurat tua telah nampak. Warnanya yang hitam dulu, kini berubah coklat kekuningan. Jika dipandang dari sudut dipan ia terlihat begitu lesu. Kadang ia terhimpit oleh tegangnya kayu dan dinding batu. Kepala yang telah memilihnya tengah tergantung. Bukan kepala itu tak setia. Tapi apa mau dikata. Masih untung sarung dan surban kelabunya telah memiliki badan baru. Meski lama sekali, tetap saja mereka melekat pada tubuhku.

            Dhamar berkelebat redup terang. Listriknya hampir habis. Mungkin dompetku lupa membayar biaya listrik. Pantas saja setiap terduduk di atas lantai serasa ada yang mengganjal di saku celanaku. Udara berhembus dingin penuh sesak embun rindu. Lailahaillah… Subhanallah… dzikir hari yang menua. Dilihat mata dari balik jendela yang usang dunia terlihat lesuh. Tak ingin berbohong jika mereka juga ikut merasa jengah. Langit memuntahkan isinya, perang antar samudra membuat mereka saling memisahkan diri. Bumi terbatuk. Kopiah berkarat itu bergeming.

            “ Bumi sekarat, benar kawan?”

***

            Allah pasti tahu, memanglah begitu…!

Rintik air menangis membasahi bumi pertiwi. Tak ada angin yang menambah keruh suasana di kala hujan datang. Hanya tetap saja pengeroyokan air terhadap rimbun pohon membuatnya menghentikan niat untuk pergi. Air hujan membasahi halaman serta pelataran toko kelontong itu. Kacamatanya ikut berembun terkena bias-bias air. Semuanya terkurung termasuk aku.

Toko kelontong menjadi tempat terakhir pemberhentianku. Cicak-cicak menyambut dari balik pintu bambu. Melihatku mereka tak percaya. Tuanku menempatkan posisiku agar dapat dilihat semua orang. Di dekat jendela besar sebelah kanan. Setelah mengucapkan salam perpisahan. Orang bermata sipit itu mengajak tuan bersalaman. Sepanjang perjalanan tuan banyak bercerita tentangnya. Si pemilik toko kelontong itu sedikit pemalu. Begitu mantap perjanjian mereka. Sesaat dua puluhan lembar uang berada di tangan tuan. Syukurlah akhirnya aku terjual. Berhari-hari tuan merajutku agar kelak aku menjadi yang terbaik. Hal ini tentu saja membuat para saudaraku iri. Sejak aku masih berbentuk bahan dasar hujatan selalu saja datang. Apalagi mengetahui tuan sering begadang untuk memastikan aku tercipta bukan sembarangan. Mereka semua menjauhiku. Tetapi bukan salahku tuan lebih perhatian padaku, bukan…?

Sedikit bangga aku menyadari akulah mahakarya terbaik yang dimiliki tuan. Begitu lem-lem dalam tubuhku melekat sempurna jadilah aku utuh. Tubuh hitamku bersinar. Menantang cahaya matahari yang menyilaukan. Dibersihkannya debu yang tertinggal. Saat itulah tuan menamaiku, kopiah.

“ Gak salah dia di sini, ini kan tempatnya barang antik?” Ucap tempayan. Tak kupedulikan gumamannya. Mataku tetap memandang bayang tuan hingga hilang di tikungan.

“ Mungkin dia juga barang antik… lihat saja bentuknya! Aku saja tak tahu ia apa?” jawab guci Cina. Menjadi ciptaan yang sempurna bukab berarti tak ada celah. Selalu di setiap sisi ada yang tak suka.

Jalanan kembali ramai. Barisan truk-truk pengangkut barang sibuk menghujat sombongnya lampu jalan. Sedari tadi ia hanya diam dan terus menghitung mundur laju kendaraan. Klakson-klakson mengering sudah dipaksa berteriak kencang. Begini ternyata suasana ibukota. Dimana-dimana penuh saingan. Kasihan rem kendaraan, berulang kali mengeram kesakitan. Apa itu…?

Tak sengaja kutangkap sepasang mata mungil menatapku. Ia tersenyum. Lalu ia berbisik pada wanita di sampingnya. Kupastikan ia adalah ibunya. Ibu dan pemilik mata mungil itu kini menatapku secara bersamaan. Ada dua hal yang berputar pada kepalaku saat ini melihat mereka tak jemu menangkap suasana tentangku. Mungkinkah mereka berpikir sama seperti tempayan, atau malah ia juga iri seperti saudara-saudaraku. Tetapi atas dasar apa? Beragam tanya kini berkutat di kepala. Alih-alih pergi, mereka justru mendekat. Aku seperti kehilangan atmosfer yang kupunya. Dunia serasa sempit. Jantungku berdebar. Bukan aku takut ataupun gentar mengahadapi mereka. Hanya saja senyuman tulus dari sepasang mata mungil itu serasa mencekik belum ada yang tersenyum padaku seperti itu. Selain tuan semuanya mendengki padaku.

“ Yang itu Ali…?” mata mungil itu mengangguk. Tak lama pemilik toko menyambut mereka. Mata sipit itu kemudian menanyakan maksud kedatangan mereka di sini. Aku tak mau lagi memperhatikannya. Kupalingkan wajah agar mereka tak menyadari posisiku. Malangnya mata mungil itu tetap berhasil menemukanku. Ia raih tubuhku dan mendekapku erat. Seolah-olah tak ingin aku lepas.

“ Mulai sekarang kau jadi temanku, kopiah.”

Aku tertegun. Darimana mata mungil mengetahui namaku. Bukankah tuan memberiku nama itu agar aku menjadi istimewa? Aku celingukan. Barangkali sebelum pergi tuan memberi papan nama di sebelahku. Aku kebingungan. Lidahku kelu menyadari ternyata otakku buntu. Semua permainan kata ini melelahkan. Saudara-saudaraku saja riuh saat tuan mendeklarasikan namaku. Aku bangga karena itu. bagaimana pemilik mata mungil ini mengetahui namaku? Caping, saudara yang paling tua menyebutku “ sok istimewa”. Sebabnya adalah karena ia iri tuan membuatku dari kain yang indah sedang ia dari bambu.

“ Yang ini Bu.” Suara mata mungil menyadarkanku.

“ Alhamdulillah… di kota ini jarang sekali yang jual kayak gini. Kaki anak saya sampai kesemutan jalan keliling-keliling untuk mencarinya.” Seperti selebritis. Wajahku berkerut seketika. Aku tersanjung mendengar usaha seseorang untuk bersua denganku. Kelangkaankulah yang membuatku istimewa.

Dengan penuh kasih, mata mungil menggendongku. Ia biarkan tubuhku nyaman di dalam ranselnya. Di sanalah dapat kurenggangkan setiap sendi. Ternyata berposisi beberapa jam saja sudah cukup membuat sakit pinggangku.

***

Menyingsing sore, senja datang ditemani rintik hujan yang kesepian. Burung-burung berpayung angin kencang menghadang sayap keriuhan. Bertumpuk-bertumpuk jemuran disisihkan. Mengantarkan sekelebat asa pulang. Aku terlelap. Tak kusangka berpejam mata aku di dalam ransel tanpa sedikitpun kehabisan napas. Mata mungil mengeluarkanku dengan bahagia. Ia dudukkan aku pada sebuah meja kayu di tengah ruang santap. Tak seutuhnya dapat kulihat ia. Lensaku dipenuhi semut-semut nakal. Aku masihlah mengantuk.

“ Tunggu disini, ya!” Ucap mata mungil padaku. Paling tidak aku mulai terbiasa olehnya. Sinar surya menerobos masuk jendela berpagar besi di atas sana. Menyilaukan mata jika aku punya mata. Beruntung yang kupunya hanya lensa.

Di ujung dinding penuh sesak perabot rumah tangga. Pada bagian samping segerombol piring kotor bersembunyi. Malu tatkala melihatku. Jika boleh kubandingkan masih jauh luas ruang di rumah tuan. Selain sempit banyak sekali barang-barang yang menyesakkan. Kulihat sekeliling, aku merasa lebih hidup disini. Belum lagi telah kumiliki saudara-saudara baru. Mereka sangatlah manis. Sejauh perbincangan kami kutahu nama mereka piring dan sendok. Mereka mengaku belum mandi. Sebenarnya walau tanpa mereka katakan akupun sudah tahu. Terlihat pada tubuh mereka yang masih tersisa beberapa butir keringat nasi. Namun tak kukatakan dan hanya kusimpan dalam hati. Hati seorang wanita sangatlah rapuh.

“ Kau berasal dari mana?” tanya sendok.

“ Tempat yang jauh. Ayahku menempatkanku pada toko kelontong di tengah kota.” Aku tak bermaksud berbohong padanya. Hanya saja memang telah kuanggap tuan sebagai ayahku.

“ Wah… ternyata kita sama. Dulu ibu juga menjualku disana.”

Sunggguh nyaman berbicara dengan mereka. Tak…tak…tak… suara ketukan sendok pada piring membentuk irama yang menghibur. Sendok harus membentur-benturkan kepalanya pada tubuh piring agar dapat bernyanyi, menyambutku. Kali ini mereka memasuki nada tinggi… tak…tak…taakkk…. lagu selesai. Kamipun tertawa bersama.

“ Sstt… diam! Tuan Ali datang.” Tegur gelas pada kami. Dia memang sedikit berbeda. Kurasa ia belum terbiasa dengan kehadiran laki-laki lain di ruangan ini. Sejauh yang kulihat kebanyakan di sini memang perabotannya adalah perempuan.

“ Baiklah kopiah… kali ini kamu istirahat dulu. Saat ini aku mengantuk.”

Kembali kudipapah oleh mata mungil. Melewati lorong-lorong rumahnya yang sempit. Kulihat piring dan sendok melambai padaku. Mereka mendoakan semoga aku betah disini. Paling tidak Ali, begitulah mereka memanggil mata mungil adalah seorang tuan yang baik. Usianya masihlah tiga belas tahun, tak sekalipun ia bertindak kasar pada mereka.

Tuan Ali, serasa aneh bagiku. Meski ia lebih tua dariku yang baru berusia beberapa minggu entah mengapa ia tetap terlihat lebih lucu. Sepertinya lebih baik kupanggil ia mata mungil saja.

***

“ Jam berapa ini?” Aku mengerjap dua kali saat tiba-tiba lampu kamar membangunkanku. Cahaya sama tetaplah sama terang meski ia sama terpaksa untuk bangun. Aku mengerang tak setuju. Kemarin adalah hari yang berat. Aku harus menempuh berpuluh-puluh kilo bersama ayah untuk bisa sampai di kota ini. Benar-benar menguras tenaga. Aku butuh sedikit waktu.

Kamar terlihat lengang. Seekor nyamuk menguap keluar dari balik sisi gelap lemari barang. Kukira ia hendak menyapaku, namun ternyata ia malah terbang ke bawah ranjang. Lensaku merayapi dinding dan lantai kamar. Tak berubin tetapi tergelar tikar. Hiasan dinding?… tak ada. Hanya jam weker pengisi ruangan ini. Ia sedang tepekur di sebelahku. Matanya lekat menatap lantai. Mungkinkah ia kesepian? Lemari barang tak mau tahu.

“ Weker…” panggilku. Sedari tadi belum ia jawab pertanyaanku. “ Jam berapa?” dengan sedikit penekanan. Ia menengok. Mata jarum jam weker bengkok. Gerakannya sangat lemah. Berulang kali ia teracung namun tak lama terjatuh lagi.

“ Kamu sakit?” tanyaku. Aku harus memulai keakraban dengannya. Sejak tadi malam ia begitu dingin. Dalam keremangan ia tak mau bicara padaku. Mau tak mau aku yang memulai.

“ Bateraiku habis… tolong jangan bertanya terus. Lagi pula ini pagi buta. Aku sedang mengumpulkan sisa-sisa ruhku.” Jawabnya ketus.

Pasti menyebalkan jika masa hidup kita telah diketahui dan pada detik-detik terakhir kita secara tak sengaja ikut menghitung mundur. Seperti jam weker, mata mungil mungkin lupa memperbarui baterainya. Tunggu sampai ia lihat akibatnya, seseorang akan mereganggang nyawa. Pintu berderit.

Kusasar suara itu. Nampaklah orang yang kucari. Mata mungil tengah keluar dari kamar mandi dengan berselimut handuk. Ia tersenyum menghampiriku. Tidak… ia menghampiri jam weker. Kulihat mata mungil mengamati gerak mata jarum jam yang semakin melemah. “ Wah… bateraimu habis ya? tenang… besok kuberi tahu ibu.” . Mata mungil memang baik. Semoga aku beruntung.

Lantas ia meraihku, “ berhubung kau terjaga. Mari ikut denganku!” kata-kata belum sempat terjun bebas dari lidahku. Gerakannya begitu mantap. Tubuhku seolah berayun-ayun pada lengannya. Handuk yang tersandang disampirkan. Ia membuka pintu. Ruang dihadapanku masih meremang. Mata mungil menghidupkan saklar dan berjalan. Aku yang sedang berayun kini tertegun memperhatikan.

***

            Awalnya aku mengira ia akan mengajakku bermain kuda-kudaan. Aku merasa tersanjung ia biarkan aku duduk di atas kepalanya. Kami berjalan jauh melewati sejuknya pagi. Bersama ibunya ia membawaku pada suatu tempat. Aku terperangah. Tempat itu lebih aneh dari toko kelontong di kota itu. Tak terlalu besar. Bangunan itu hanya terdiri dari satu ruang besar dengan banyak pilar sebagai penyangganya. Aku menahan tawa saat menyadari penutup bangunan itu berbentuk seperti bawang merah. Bedanya penutup bangunan itu berkilauan.

            “ Kau tahu, kan? Apa nama tempat ini?” dengan bimbang aku bergoyang sebagai isyarat jika aku tak tahu.

            “ Ali… kok diem? Ayo masuk nak!” ibu menggenggam tangan mata mungil. Membimbingnya masuk kedalam. Aku juga ikut terseret. Sempat kulihat bayang wajahku pada kaca pintu bangunan itu. gagah sekali…! bukan aku tentunya. Mata mungil terlihat lebih dewasa tatkala aku berada di kepalanya. Kami terdiam cukup lama. Mata mungil bersila di atas sajadah, itulah nama alas yang didudukinya. Aku mengatahui nama itu sesaat setelah kami berkenalan. Ia bercerita jika ia sering mendengar namaku disebut, namun tak perbah sekalipun melihatku. Wajahku memerah tak percaya. Aku sudah jauh terkenal sebelum aku diciptakan. Sajadah yang berusia puluhan tahun mengatakannya sendiri.

            Aku bosan…

Awan itu berjalan melintasi bulan. Tak peduli bahwa ia tengah sendiri. Kemana sang bintang? Bosankah tuk dekap ketakutan? Sungguh kejam! Tak lihatkah, tangis bulan itu memadamkan banyak kawan. Jangan pergi bintang. Karena kau, wajah rupawannya tenggelam. Ditelam suram yang tengah menjerit senang. Kini yang tersisa hanya dendam dan kebencian. Maka janganlah kau utarakan, cukup simpan dalam-dalam dan kuburkan dengan iman. Oh tidak! Sekawanan burung mengacaukan. Aku mohon, jangan buyarkan tatap ini pada bulan. Masih kunikmati bayangan tangan yang menggenggam erat senyuman.

Kuintip mata mungil dari atas kepala. Kini ia tengah tertunduk menatap sajadah. Lama sekali ia berdiam diri seperti itu. tak lelahkah ia.

“ Sedang apa mata mungil?” tanyaku pada sajadah. Ia mengernyit tak mengerti.

“ Siapa mata mungil?” benar juga. Ia tak tahu siapa itu mata mungil.

“ Maksudku Tuan Ali, sedang apa dia?”

“ Oh… tuan Ali. Tentunya ia sedang melakukan kebiasaannya saat di surau.” Surau? Jadi tempat ini bernama surau.

“ Apa itu?”

“ Kau tak tahu? Bukannya engkau sering dipakai oleh orang yang taat beragama?”

“ Entahlah… usiaku baru berumur tiga minggu. Tentunya masih perlu banyak belajar.”

“ Baiklah… aku mengerti anak muda. Tuan sedang berdikir. Ia sedang mengagungkan Tuhannya dengan menyebut namanya berulang kali.”

Tuhan…? ­aku baru mendengarnya. Mungkinkah Ia yang selama ini kucari. Aku merasa damai berada diruang ini. Berulang kali kurayapi setiap atmosfir hatiku berdesir. Mungkinkah aku telah berada di rumah Tuhan..?

“ Benar…!” Kali ini mata mungil yang menjawabku. Aku terbatuk. Aku baru tahu ada manusia yang dapat mengerti kataku. “ Karena itu aku mengajakmu… sejak kulihat kau berpose tanpa tujuan di depan kaca toko kelontong. Hatiku tergerak, kau tersesat. Leluhurmu sudah banyak yang menjadi batu, dengan congkaknya berpose tanpa mengetahui fungsi awal penciptaanmu.”

Luluh lantak setiap denyut nadiku. Aku serasa tersetrum berjuta volt listrik bertegangan tinggi. Tak kusadari aku menangis. Dari mana datangnya air mata ini?

“ Apa? Mata mungil… tolong bantu aku! Aku tak tahu.”  Ia tersenyum. Mengelus-mengelus kepalaku lalu menempatkanku di hadapannya.

“ InsyaAllah… satu yang terpenting. Tuhanmu yang paling besar. Dan Tuhanmu hanya satu. Bisakah kau tahu siapa itu?” Sembilu mengiris hati. Kupejamkan lensa. Berusaha mengingat semua. Mendengar kata Tuhan disebut aku menciut. Serasa aku menjadi kerdil, mengecil menjadi debu. Bayang-bayang congkakku kandas. Semuanya mendebu,

“ Aku tak tahu apa sebenarnya Tuhan itu? tetapi saat kau membawaku menuju Surau ini. Hanya satu nama yang kutangkap. Anehnya dapat kubaca nama itu meski aku tak pernah sekalipun mengunyah huruf saat TK dulu. Tidak itu bukan huruf yang biasa. bentuknya saja meliuk-liuk. Mata mungil tolong koreksi aku jika salah!” Mata mungil hanya bergeming. Tak hentinya ia menebar senyum pada seantero suasana. Termasuk aku. Sajadah ikut basah akan tangis, bahkan waktu seakan ingin berhenti melaju. “ ALLAH…” ucapku berlinang airmata. Aku sadar seutuhnya benar ia.

Angin berhenti berderu. Bulan memancarkan sinarpaling terangnya. Melintasi sela-sela surau, ia seakan menyinariku. Aku bertasbih saat itu juga. Aku bertekad akan belajar semuanya dari awal. Mungkin inilah penyebab ayah membuatku. Agar dapat kutemukan Tuhanku. Malam itu aku belajar pada mata mungil. Ia hanya tertawa geli saat kupinta ia mengajariku mengaji.

“ Ya Allah… Aku memiliki seorang santri.” Ucapnya senang. Hingga pagi kupatuhi semua yang dikatakannya. Ustad… begitulah sebutanku untuknya sekarang.

***

Langit muram tak berbintang. Bulanpun enggan menampakkan diri meski di butuhkan. Gelap mencekam ditemani rinai hujan yang mulai bertaburan. Membasahi atap, halaman dan pepohonan. Membawaku ke alam berbeda. Ke sebuah pelataran kesepian. Menahan teriak hati yang tersekat di tenggerokan. Terus mencoba  menutup penglihatan tentang keadaan. Alangkah indahnya dulu saat semua masih tetap sama. Lagi- lagi hanya bisa menghela nafas kecewa.

Hari ini adalah lebaran pertamaku bersama mata mungil, ma… maksudku ustad. Dengan gembira kami menuju Surau tempat dimana kami biasa belajar mengaji. Berbondong-bondong umat islam solat idul fitri bersama. Kami memilih shaf paling depan. Saat takbir dikumandangkan kami hanyut dalam kekhusyukan. Bersama dengan mata mungil aku bahagia. Ia bukan hanya tuan dan ustad yang baik. Dari yang terpenting ia telah kuanggap saudaraku sendiri. Ia tak pernah mengeluh ataupun iri. Tak ada kepayahan selama ini. Benar kata sendok dan piring, saudara perempuanku. Aku akan betah bersamanya. Menjadi penurut dan tentu juga santrinya.

***

Presiden telah berganti sebanyak tiga kali dengan satu presiden menjabat sebanyak dua kali. Mata mungil… lama sudah tak pernaha kupanggil nama itu lagi. Berjalannya waktu ia semakin besar. Mata mungil yang kusukai itu telah berubah menjadi mata tajam yanh beribawa. Kamar yang biasa menjadi tempat kami bermain dan mengaji kini telah berubah menjadi ruang kosong tak berpenghuni. Aku tak marah ia pergi. Kuyakin suatu saat nanti kami pasti bersua. Hanya saja rinduku ini benar-benar mencekik.

aku berkarat dibalik pintu. Memang dunianya kini telah berubah. Tetapi tetap kuyakin ia pasti kembali. Jika ada yang bertanya ‘dimana mata mungilmu?’ Akan kujawab dengan hati ikhas,

‘ia tengah tergantung. Kopiah lain memang telah menggantikan posisiku. Tetapi tetap kuyakin ia takkan pernah menggantikanku.’Menelan ludah perih rasanya.

Dhamar berkelebat redup terang. Listriknya hampir habis. Mungkin dompetku lupa membayar biaya listrik. Pantas saja setiap terduduk di atas lantai serasa ada yang mengganjal di saku celanaku. Udara berhembus dingin penuh sesak embun rindu. Lailahaillah… Subhanallah… dzikir hari yang menua. Dilihat mata dari balik jendela yang usang dunia terlihat lesuh. Tak ingin berbohong jika mereka juga ikut merasa jengah. Langit memuntahkan isinya, perang antar samudra membuat mereka saling memisahkan diri. Bumi terbatuk. Kopiah berkarat itu bergeming,

            “ Bumi sekarat, benar kawan?”

Kembali kuseka air mata yang menjorok ke ulu hati ini. Pintu selalu terbuka untuknya. Aku akan tetap menunggu.

“ Lama sekali ya?” seseorang mengejutkanku dengan suara tegasnya. Tubuhku yang usang mendebu namun ia berhasil menemukanku. Terlihat luka bekas lilitan yang menggantungnya. Kataku melebur, dalam hati kuucap syukur…

Pongah terkurung dalam jahannam…

Hati ikhlas menabung kata…

Lamat-lamat namun kuat…

Berkelumun dalam firdaus lumbung..

Rabu, 31 Oktober 2018

Lumbung melarung

*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember, berprestasi nasional, dan kini sedang melanjutkan studi sarjana di Universitas Negeri Malang

“ Mulai sekarang kau jadi temanku, kopiah.”

Aku tertegun. Darimana mata mungil mengetahui namaku. Bukankah tuan memberiku nama itu agar aku menjadi istimewa? Aku celingukan. Barangkali sebelum pergi tuan memberi papan nama di sebelahku. Aku kebingungan. Lidahku kelu menyadari ternyata otakku buntu. Semua permainan kata ini melelahkan. Saudara-saudaraku saja riuh saat tuan mendeklarasikan namaku. Aku bangga karena itu. bagaimana pemilik mata mungil ini mengetahui namaku? Caping, saudara yang paling tua menyebutku “ sok istimewa”. Sebabnya adalah karena ia iri tuan membuatku dari kain yang indah sedang ia dari bambu.

“ Yang ini Bu.” Suara mata mungil menyadarkanku.

“ Alhamdulillah… di kota ini jarang sekali yang jual kayak gini. Kaki anak saya sampai kesemutan jalan keliling-keliling untuk mencarinya.” Seperti selebritis. Wajahku berkerut seketika. Aku tersanjung mendengar usaha seseorang untuk bersua denganku. Kelangkaankulah yang membuatku istimewa.

Dengan penuh kasih, mata mungil menggendongku. Ia biarkan tubuhku nyaman di dalam ranselnya. Di sanalah dapat kurenggangkan setiap sendi. Ternyata berposisi beberapa jam saja sudah cukup membuat sakit pinggangku.

***

Menyingsing sore, senja datang ditemani rintik hujan yang kesepian. Burung-burung berpayung angin kencang menghadang sayap keriuhan. Bertumpuk-bertumpuk jemuran disisihkan. Mengantarkan sekelebat asa pulang. Aku terlelap. Tak kusangka berpejam mata aku di dalam ransel tanpa sedikitpun kehabisan napas. Mata mungil mengeluarkanku dengan bahagia. Ia dudukkan aku pada sebuah meja kayu di tengah ruang santap. Tak seutuhnya dapat kulihat ia. Lensaku dipenuhi semut-semut nakal. Aku masihlah mengantuk.

“ Tunggu disini, ya!” Ucap mata mungil padaku. Paling tidak aku mulai terbiasa olehnya. Sinar surya menerobos masuk jendela berpagar besi di atas sana. Menyilaukan mata jika aku punya mata. Beruntung yang kupunya hanya lensa.

Di ujung dinding penuh sesak perabot rumah tangga. Pada bagian samping segerombol piring kotor bersembunyi. Malu tatkala melihatku. Jika boleh kubandingkan masih jauh luas ruang di rumah tuan. Selain sempit banyak sekali barang-barang yang menyesakkan. Kulihat sekeliling, aku merasa lebih hidup disini. Belum lagi telah kumiliki saudara-saudara baru. Mereka sangatlah manis. Sejauh perbincangan kami kutahu nama mereka piring dan sendok. Mereka mengaku belum mandi. Sebenarnya walau tanpa mereka katakan akupun sudah tahu. Terlihat pada tubuh mereka yang masih tersisa beberapa butir keringat nasi. Namun tak kukatakan dan hanya kusimpan dalam hati. Hati seorang wanita sangatlah rapuh.

“ Kau berasal dari mana?” tanya sendok.

“ Tempat yang jauh. Ayahku menempatkanku pada toko kelontong di tengah kota.” Aku tak bermaksud berbohong padanya. Hanya saja memang telah kuanggap tuan sebagai ayahku.

“ Wah… ternyata kita sama. Dulu ibu juga menjualku disana.”

Sunggguh nyaman berbicara dengan mereka. Tak…tak…tak… suara ketukan sendok pada piring membentuk irama yang menghibur. Sendok harus membentur-benturkan kepalanya pada tubuh piring agar dapat bernyanyi, menyambutku. Kali ini mereka memasuki nada tinggi… tak…tak…taakkk…. lagu selesai. Kamipun tertawa bersama.

“ Sstt… diam! Tuan Ali datang.” Tegur gelas pada kami. Dia memang sedikit berbeda. Kurasa ia belum terbiasa dengan kehadiran laki-laki lain di ruangan ini. Sejauh yang kulihat kebanyakan di sini memang perabotannya adalah perempuan.

“ Baiklah kopiah… kali ini kamu istirahat dulu. Saat ini aku mengantuk.”

Kembali kudipapah oleh mata mungil. Melewati lorong-lorong rumahnya yang sempit. Kulihat piring dan sendok melambai padaku. Mereka mendoakan semoga aku betah disini. Paling tidak Ali, begitulah mereka memanggil mata mungil adalah seorang tuan yang baik. Usianya masihlah tiga belas tahun, tak sekalipun ia bertindak kasar pada mereka.

Tuan Ali, serasa aneh bagiku. Meski ia lebih tua dariku yang baru berusia beberapa minggu entah mengapa ia tetap terlihat lebih lucu. Sepertinya lebih baik kupanggil ia mata mungil saja.

***

“ Jam berapa ini?” Aku mengerjap dua kali saat tiba-tiba lampu kamar membangunkanku. Cahaya sama tetaplah sama terang meski ia sama terpaksa untuk bangun. Aku mengerang tak setuju. Kemarin adalah hari yang berat. Aku harus menempuh berpuluh-puluh kilo bersama ayah untuk bisa sampai di kota ini. Benar-benar menguras tenaga. Aku butuh sedikit waktu.

Kamar terlihat lengang. Seekor nyamuk menguap keluar dari balik sisi gelap lemari barang. Kukira ia hendak menyapaku, namun ternyata ia malah terbang ke bawah ranjang. Lensaku merayapi dinding dan lantai kamar. Tak berubin tetapi tergelar tikar. Hiasan dinding?… tak ada. Hanya jam weker pengisi ruangan ini. Ia sedang tepekur di sebelahku. Matanya lekat menatap lantai. Mungkinkah ia kesepian? Lemari barang tak mau tahu.

“ Weker…” panggilku. Sedari tadi belum ia jawab pertanyaanku. “ Jam berapa?” dengan sedikit penekanan. Ia menengok. Mata jarum jam weker bengkok. Gerakannya sangat lemah. Berulang kali ia teracung namun tak lama terjatuh lagi.

“ Kamu sakit?” tanyaku. Aku harus memulai keakraban dengannya. Sejak tadi malam ia begitu dingin. Dalam keremangan ia tak mau bicara padaku. Mau tak mau aku yang memulai.

“ Bateraiku habis… tolong jangan bertanya terus. Lagi pula ini pagi buta. Aku sedang mengumpulkan sisa-sisa ruhku.” Jawabnya ketus.

Pasti menyebalkan jika masa hidup kita telah diketahui dan pada detik-detik terakhir kita secara tak sengaja ikut menghitung mundur. Seperti jam weker, mata mungil mungkin lupa memperbarui baterainya. Tunggu sampai ia lihat akibatnya, seseorang akan mereganggang nyawa. Pintu berderit.

Kusasar suara itu. Nampaklah orang yang kucari. Mata mungil tengah keluar dari kamar mandi dengan berselimut handuk. Ia tersenyum menghampiriku. Tidak… ia menghampiri jam weker. Kulihat mata mungil mengamati gerak mata jarum jam yang semakin melemah. “ Wah… bateraimu habis ya? tenang… besok kuberi tahu ibu.” . Mata mungil memang baik. Semoga aku beruntung.

Lantas ia meraihku, “ berhubung kau terjaga. Mari ikut denganku!” kata-kata belum sempat terjun bebas dari lidahku. Gerakannya begitu mantap. Tubuhku seolah berayun-ayun pada lengannya. Handuk yang tersandang disampirkan. Ia membuka pintu. Ruang dihadapanku masih meremang. Mata mungil menghidupkan saklar dan berjalan. Aku yang sedang berayun kini tertegun memperhatikan.

***

            Awalnya aku mengira ia akan mengajakku bermain kuda-kudaan. Aku merasa tersanjung ia biarkan aku duduk di atas kepalanya. Kami berjalan jauh melewati sejuknya pagi. Bersama ibunya ia membawaku pada suatu tempat. Aku terperangah. Tempat itu lebih aneh dari toko kelontong di kota itu. Tak terlalu besar. Bangunan itu hanya terdiri dari satu ruang besar dengan banyak pilar sebagai penyangganya. Aku menahan tawa saat menyadari penutup bangunan itu berbentuk seperti bawang merah. Bedanya penutup bangunan itu berkilauan.

            “ Kau tahu, kan? Apa nama tempat ini?” dengan bimbang aku bergoyang sebagai isyarat jika aku tak tahu.

            “ Ali… kok diem? Ayo masuk nak!” ibu menggenggam tangan mata mungil. Membimbingnya masuk kedalam. Aku juga ikut terseret. Sempat kulihat bayang wajahku pada kaca pintu bangunan itu. gagah sekali…! bukan aku tentunya. Mata mungil terlihat lebih dewasa tatkala aku berada di kepalanya. Kami terdiam cukup lama. Mata mungil bersila di atas sajadah, itulah nama alas yang didudukinya. Aku mengatahui nama itu sesaat setelah kami berkenalan. Ia bercerita jika ia sering mendengar namaku disebut, namun tak perbah sekalipun melihatku. Wajahku memerah tak percaya. Aku sudah jauh terkenal sebelum aku diciptakan. Sajadah yang berusia puluhan tahun mengatakannya sendiri.

            Aku bosan…

Awan itu berjalan melintasi bulan. Tak peduli bahwa ia tengah sendiri. Kemana sang bintang? Bosankah tuk dekap ketakutan? Sungguh kejam! Tak lihatkah, tangis bulan itu memadamkan banyak kawan. Jangan pergi bintang. Karena kau, wajah rupawannya tenggelam. Ditelam suram yang tengah menjerit senang. Kini yang tersisa hanya dendam dan kebencian. Maka janganlah kau utarakan, cukup simpan dalam-dalam dan kuburkan dengan iman. Oh tidak! Sekawanan burung mengacaukan. Aku mohon, jangan buyarkan tatap ini pada bulan. Masih kunikmati bayangan tangan yang menggenggam erat senyuman.

Kuintip mata mungil dari atas kepala. Kini ia tengah tertunduk menatap sajadah. Lama sekali ia berdiam diri seperti itu. tak lelahkah ia.

“ Sedang apa mata mungil?” tanyaku pada sajadah. Ia mengernyit tak mengerti.

“ Siapa mata mungil?” benar juga. Ia tak tahu siapa itu mata mungil.

“ Maksudku Tuan Ali, sedang apa dia?”

“ Oh… tuan Ali. Tentunya ia sedang melakukan kebiasaannya saat di surau.” Surau? Jadi tempat ini bernama surau.

“ Apa itu?”

“ Kau tak tahu? Bukannya engkau sering dipakai oleh orang yang taat beragama?”

“ Entahlah… usiaku baru berumur tiga minggu. Tentunya masih perlu banyak belajar.”

“ Baiklah… aku mengerti anak muda. Tuan sedang berdikir. Ia sedang mengagungkan Tuhannya dengan menyebut namanya berulang kali.”

Tuhan…? ­aku baru mendengarnya. Mungkinkah Ia yang selama ini kucari. Aku merasa damai berada diruang ini. Berulang kali kurayapi setiap atmosfir hatiku berdesir. Mungkinkah aku telah berada di rumah Tuhan..?

“ Benar…!” Kali ini mata mungil yang menjawabku. Aku terbatuk. Aku baru tahu ada manusia yang dapat mengerti kataku. “ Karena itu aku mengajakmu… sejak kulihat kau berpose tanpa tujuan di depan kaca toko kelontong. Hatiku tergerak, kau tersesat. Leluhurmu sudah banyak yang menjadi batu, dengan congkaknya berpose tanpa mengetahui fungsi awal penciptaanmu.”

Luluh lantak setiap denyut nadiku. Aku serasa tersetrum berjuta volt listrik bertegangan tinggi. Tak kusadari aku menangis. Dari mana datangnya air mata ini?

“ Apa? Mata mungil… tolong bantu aku! Aku tak tahu.”  Ia tersenyum. Mengelus-mengelus kepalaku lalu menempatkanku di hadapannya.

“ InsyaAllah… satu yang terpenting. Tuhanmu yang paling besar. Dan Tuhanmu hanya satu. Bisakah kau tahu siapa itu?” Sembilu mengiris hati. Kupejamkan lensa. Berusaha mengingat semua. Mendengar kata Tuhan disebut aku menciut. Serasa aku menjadi kerdil, mengecil menjadi debu. Bayang-bayang congkakku kandas. Semuanya mendebu,

“ Aku tak tahu apa sebenarnya Tuhan itu? tetapi saat kau membawaku menuju Surau ini. Hanya satu nama yang kutangkap. Anehnya dapat kubaca nama itu meski aku tak pernah sekalipun mengunyah huruf saat TK dulu. Tidak itu bukan huruf yang biasa. bentuknya saja meliuk-liuk. Mata mungil tolong koreksi aku jika salah!” Mata mungil hanya bergeming. Tak hentinya ia menebar senyum pada seantero suasana. Termasuk aku. Sajadah ikut basah akan tangis, bahkan waktu seakan ingin berhenti melaju. “ ALLAH…” ucapku berlinang airmata. Aku sadar seutuhnya benar ia.

Angin berhenti berderu. Bulan memancarkan sinarpaling terangnya. Melintasi sela-sela surau, ia seakan menyinariku. Aku bertasbih saat itu juga. Aku bertekad akan belajar semuanya dari awal. Mungkin inilah penyebab ayah membuatku. Agar dapat kutemukan Tuhanku. Malam itu aku belajar pada mata mungil. Ia hanya tertawa geli saat kupinta ia mengajariku mengaji.

“ Ya Allah… Aku memiliki seorang santri.” Ucapnya senang. Hingga pagi kupatuhi semua yang dikatakannya. Ustad… begitulah sebutanku untuknya sekarang.

***

Langit muram tak berbintang. Bulanpun enggan menampakkan diri meski di butuhkan. Gelap mencekam ditemani rinai hujan yang mulai bertaburan. Membasahi atap, halaman dan pepohonan. Membawaku ke alam berbeda. Ke sebuah pelataran kesepian. Menahan teriak hati yang tersekat di tenggerokan. Terus mencoba  menutup penglihatan tentang keadaan. Alangkah indahnya dulu saat semua masih tetap sama. Lagi- lagi hanya bisa menghela nafas kecewa.

Hari ini adalah lebaran pertamaku bersama mata mungil, ma… maksudku ustad. Dengan gembira kami menuju Surau tempat dimana kami biasa belajar mengaji. Berbondong-bondong umat islam solat idul fitri bersama. Kami memilih shaf paling depan. Saat takbir dikumandangkan kami hanyut dalam kekhusyukan. Bersama dengan mata mungil aku bahagia. Ia bukan hanya tuan dan ustad yang baik. Dari yang terpenting ia telah kuanggap saudaraku sendiri. Ia tak pernah mengeluh ataupun iri. Tak ada kepayahan selama ini. Benar kata sendok dan piring, saudara perempuanku. Aku akan betah bersamanya. Menjadi penurut dan tentu juga santrinya.

***

Presiden telah berganti sebanyak tiga kali dengan satu presiden menjabat sebanyak dua kali. Mata mungil… lama sudah tak pernaha kupanggil nama itu lagi. Berjalannya waktu ia semakin besar. Mata mungil yang kusukai itu telah berubah menjadi mata tajam yanh beribawa. Kamar yang biasa menjadi tempat kami bermain dan mengaji kini telah berubah menjadi ruang kosong tak berpenghuni. Aku tak marah ia pergi. Kuyakin suatu saat nanti kami pasti bersua. Hanya saja rinduku ini benar-benar mencekik.

aku berkarat dibalik pintu. Memang dunianya kini telah berubah. Tetapi tetap kuyakin ia pasti kembali. Jika ada yang bertanya ‘dimana mata mungilmu?’ Akan kujawab dengan hati ikhas,

‘ia tengah tergantung. Kopiah lain memang telah menggantikan posisiku. Tetapi tetap kuyakin ia takkan pernah menggantikanku.’Menelan ludah perih rasanya.

Dhamar berkelebat redup terang. Listriknya hampir habis. Mungkin dompetku lupa membayar biaya listrik. Pantas saja setiap terduduk di atas lantai serasa ada yang mengganjal di saku celanaku. Udara berhembus dingin penuh sesak embun rindu. Lailahaillah… Subhanallah… dzikir hari yang menua. Dilihat mata dari balik jendela yang usang dunia terlihat lesuh. Tak ingin berbohong jika mereka juga ikut merasa jengah. Langit memuntahkan isinya, perang antar samudra membuat mereka saling memisahkan diri. Bumi terbatuk. Kopiah berkarat itu bergeming,

            “ Bumi sekarat, benar kawan?”

Kembali kuseka air mata yang menjorok ke ulu hati ini. Pintu selalu terbuka untuknya. Aku akan tetap menunggu.

“ Lama sekali ya?” seseorang mengejutkanku dengan suara tegasnya. Tubuhku yang usang mendebu namun ia berhasil menemukanku. Terlihat luka bekas lilitan yang menggantungnya. Kataku melebur, dalam hati kuucap syukur…

Pongah terkurung dalam jahannam…

Hati ikhlas menabung kata…

Lamat-lamat namun kuat…

Berkelumun dalam firdaus lumbung..

Rabu, 31 Oktober 2018

Lumbung melarung

*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember, berprestasi nasional, dan kini sedang melanjutkan studi sarjana di Universitas Negeri Malang

Related Post