Inspirasi Ngaji di Suatu Pagi

penulis: Rizqa Alfiani*

Gurun pasir terhampar seluas mata memadang, tak terasa air mata Aisyah mengalir membasahi pipi , bermuara di ujung dagu. Lekatlah sujudnya pada tanah Kairo, tepat di depan universitas impiannya, Al-Azhar. Muslimah bercadar hitam silih berganti memasuki tempat itu juga pria bertubuh tinggi dan mancung khas Timur Tengah dengan kemeja dan tas di bahu kirinya. “Sekarang aku adalah bagian dari mereka.” Batinnya berkata.

“Ayo Nak bangun, jangan tidur! Hidup itu nyata jangan hanya bermimpi.” Suara Kyai mengagetkan Aisyah hingga dia terbangun dari tidurnya.  Hari ini pelajaran aswaja bersama Kyai. Mushalla bawah, tempat para santri dipertemukan dengan sang murabbi. Hari Jumat menjadi hari yang di tunggu-tunggu para santri, dengan berbekal kitab karya Kyai sendiri. Selipan motivasi dan sindiran-sindiran ringan dirangkainya dalam kalam yang lembut terucap dan sekejap mengetuk jiwa.

Aisyah tak bisa menahan rasa kantuknya yang semakin lama semakin menjadi. “Aisyah, bangun! Kamu gak dengar kata kyai tadi..?” Lisa mengoyak-ngoyak tubuh Aisyah. Aisyah Tak menghiraukan pertanyaan Lisa, harus terbangun dalam keadaan terpaksa membuat kepalanya terasa pusing. Suara pecak yang mengiringi langkahnya, pertanda kyai sudah datang memasuki area mushalla. Semua santri menundukkan kepala, hingga kyai menempati posisinya. Sarung hijau dan baju putih ciri khasnya, sudah tak asing mata ini memandang.

***

Perjalanan dari masjid bawah menuju kelas memakan waktu sekitar 5 menit, tubuh Aisyah masih sempoyongan karena bangun tidur. “Ayo Nak bangun, jangan tidur. Hidup itu nyata,” suara kyai menggema di telinga Aisyah. Antara sadar dan tidak, Aisyah mendengar perkataan Kiyai sangat jelas di telinganya.  Pikirannya teralihkan oleh hal itu, “Apa itu, sindiran Tuhan untukku?” Bisik aisyah. “Tanah Kairo yang sudah ada di depan mataku ternyata hanya fatamorgana.” Lanjutnya. “apa?” kata Lisa yang berada di sebelahnya. “hmm.. nggk ada”

Kelas sudah ramai dengan celoten anak-anak yang baru selesai pelajaran aswaja, sebab tak ada guru yang mengisi hari ini.

“Mbk Rina itu pinter bangetnya, dapat beasiswa penuh kuliah di Kairo” kata Meli.

(baca juga: Singkong dalam Amplop)

“Iyakah?” Sahut Andini.

“Hebat banget ya!” tambah Rani

Aisyah tidak ikut nimbrung dengan mereka, diam-diam dia mendengar pembicaraan mereka yang semakin asik tentang mbak Rina. Tangannya dilipatkan di meja dan meletakkan kepala di atasnya. “Kapan ya aku bisa kaya gitu?” Bisiknya. Tiba-tiba bu Maimun masuk mengucap salam, “Assalamualaikum”

Serempak seisi kelas menjawab, “Walaikum salam.“

“Anak-anak, saya akan mengumumkan sesuatu, bulan depan, tepatnya tangga 27 ada lomba baca kitab. Bagi anak anak yang berminat bisa hubungi saya di kantor. Oh ya..  Afif kamu ikut saya ke kantor”

“iya Bu.“

Setelah bu Maimun keluar bergantilah topik mereka menjadi lomba yang diumumkan bu Maimun “Pasti kamu Fif yang terpilih lomba itu!”  kata Meli.

“Iyalah, dia kan udah sering juara lomba.” Afif alumni Mts di pondok ini yang sudah mengupas bersih kajian di dalam kitab itu. Dia pun tidak menjawab dan segera keluar untuk memenuhi panggilan bu Maimun.

***

Diniyah tempat menggali ilmu agama dengan kajian kitabnya, sekolah kedua yang para santri jalani, Aisyah anak yang baru mencium aroma pesanten dan masih asing dengan kata nahwu dan sorrof. Pikirannya selalu terbebani dengan kata mustahil, hatinya selalu berkata itu sulit untuk dia lakukan “Terlambat, mereka sudah bisa berlari sedang aku?” itu yang selalu terlintas dalam pikirannya saat bayang-bayang Kairo kembali menghantuinya.

***

Ruang pojok menjadi kelas diniyah Aisyah, dibimbing  oleh seorang ustad yang konon  terkenal dengan kecerdasannya. Baju putih juga menjadi ciri khasnya, seperti Kyai yang biasa mereka temui saat pelajaran aswaja pada hari Jumat. “Assalamu alaikum” serentak semua menjawab “waalaikum salam” awalnya Aisyah terheran dengan bergantinya kalimat “ bagaimana kabarnya?” yang berubah menjadi “ila hadrati nabiyyil mustofa sayyina muhammadin wa Ala alihi sayyidina muhammad wa ila sheikh muahammad yahya al-imrithi wa nafa`a bi ulumihim.  Al-fatihah”  lantas semua membaca Al-fatihah bersama. Kitab imrithi kuning yang mereka sebut kitab gundulan, menjadi makanan sehari-hari para santri di sini.

Air mata Aisyah menggenang di pelupuk matanya “bagaimana cara membacanya?” dia membolak-balik kitab itu, kitab berwarna kuning dan sangat tipis berciri khas sampul terpisah dari isinya.

Aisyah merasa dirinya seperti anak SD yang baru belajar abjad, semua harus dimulai dari nol. Tanpa satu  pun hal yang dia ketahui. Ustad mulai menerangkan apa itu kalimat, kalam, qoul dan teman temannya. Setiap harinya harus ada setoran hafalan imrithi. kalau tidak, berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran habis konsekuensinya. Hampir setiap hari ada yang di dihukum, termasuk Aisyah. Daya hafalnya yang terbilang cukup lemah membuatnys setiap hari harus menjalani hukuman. Ustadz juga sering melontarkan pertanyaan tiba tiba.

Nanda, nanak yang pemalu, dia tak pernah mengacungkan tangannya. Aisyah  sesekali perhatikan Nanda yang sering tidur di kelas entah itu kelas formal ataupun diniyah. Anehnya dia bisa menjawab semua pertanyaan  yang di tujukan kepadanya.  “Kalo Kamu mah, tidur pun bisa Nan!” kata Meli saat Nanda mengatakan bahwa dirinya sering tidur di kelas. “itu Cuma kebetulan Mel,” ucapnya mengingkari.

(baca juga: Pesan Cinta dari Hotel Yamato)

Aisyah tak memungkiri bahwa dirinya hanya manusia biasa, yang kadang terbesit di hatinya rasa iri terhadap Nanda yang selalu beruntung.

 ***

Isunya Nanda ingin mengikuti lomba itu. Dia juga anak yang baru tahu namanya ilmu nahwu dan sorrof. “Nanda bisa ikut, berarti aku juga harus bisa” batin Aisyah berbicara. Terlintas di kepalanya untuk mengikuti lomba itu juga.

Kamar yang biasa sepi, karena semuanya punya kesibukan masing-masing. Dibukanya kitab kuning tanpa harkat dan makna gandol yang dia tulis, tangannya masih kaku menulis dengan tulisan pego, hingga semua sulit terbaca. Itu membuat keyakinanan dirinya ikut lomba mulai  mengerut. “Ah.. tulisanku saja tidak bisa dibaca”

***

Hari kemerdekaan santri di pondokku ini adalah hari Ahad, hari yang menjadi ajang meluruskan punggung, setelah satu minggu berkegiatan. Hari bebas diniyah, sekolah dan les sore. Kamar yang bisanya hanya ada beberapa orang saja, kini terisi penuh. Menghabiskan waktu dengan candaan. Bukan lagi buku pelajaran yang mereka pegang, tapi sedikit unsur fiksi dan kisah penggugah jiwa. Tak ada kesempatan emas yang mereka sia-siakan. Bahkan untuk merangkai mimpi di atas tas sekolah yang berubah fungsi menjadi bantal. “Sekarang waktunya merangkai mimpi, karena seminggu ke depan kita akan mewujudkannya.” Begitulah alibinya.

Di sisi lain petugas keamanan yang tak bisa bersantai seperti mereka, karena harus bertugas menjaga  santri yang dijenguk oleh orang tuanya. HT alias Handy Talky menjadi senjata mereka saat berjaga, pemberi  informasi kepada stan siaran untuk menyiarkan siapa saja yang orang tuanya menjenguk.

“Panggilan ditujukan kepada ananda Aisyah Putri di tunggu kehadirannya di aula, karena orang tua sedang menunggu ananda” suara stan siaran memanggil Aisyah. “Aisyah, Kamu dijenguk” Lisa membangunkanku. Aku bergegas menuju kamar mandi dan mencuci muka. Tepat pukul 10.00 orang tua Aisyah menjenguknya.

“Assalmualaikum.”

“Waalikum salam.”

“Bangun tidur Nak?”

“Hehe.. .Iya Bi.” Terkekeh.

Aisyah dan orang tuanya mengambil tempat duduk di pojok aula, duduk melingkar dengan kiriman di tengahnya. Tempat lain  sudah penuh dengan orang tua yang juga menjenguk putrinya. Makan bersama dan bercerita panjang lebar seputar kehidupan di pondok sudah menjadi kegiatan rutin para santri ketika dijenguk. Tak terkecuali Aisyah yang sekarang juga berstatus sebagai santri. Ada saja yang ingin dia ceritakan kepada Abi (sebutan Aisyah kepada ayahnya) dan selalu ada cerita para sahabat dan ulama  terdahulu yang menjadi jawaban dari pertanyaan yang Aisyah tanyakan pada beliau.

Abi mulai berkisah “Ada ulama` bernana Ibnu Hajar Al Ashkolani yang terkenal dan telah mengarang banyak kitab. Dulunya, beliau murid yang bodoh, selalu tertinggal jauh dari temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran yang diajarkan oleh gurunya di sekolah, hingga membuatnya frustasi. Beliau pun memutuskan untuk pulang meninggalkan sekolahnya. Di tengah perjalanan pulang, dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolah , hujan turun dengan sangat lebat, memaksa dirinya untuk berteduh dalam sebuah gua. Ketika berada di dalam gua, pandangannya tertuju pada sebuah teresan air yang sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu. Ia pun terkejut. “Sungguh sebuah keajaiban” katanya. Dia mulai merenung, seketika itu dia sadar, bertapa pun kerasnya sesuatu, jika diasah terus penerus pastilah akan menjadi lunak.

“Batu saja bisa berlubang dengan setetes air apalagi kepala saya yang tidak sekeras batu,” ucapnya. Akhirnya beliau memutuskan untuk kembali menuntut ilmu di sekolahnya.”

Terkadang sebelum Aisyah menanyakan apapun, abinya sudah menceritakan sebuah kisah. Dan itu pasti berhubungan dengan jawaban dari pertanyaannya yang bahkan belum sempat  dia ucapkan. Aisyah menganggukkan kepala. “Jadi semua masalah yang santri alami di pondok itu pada hakikatnya sama?”

“Iya, buktinya itu juga terjadi padamu kan Aisyah?”

“Iya,” Aisyah mengiyakan meski dia sedikit heran kenapa abinya bisa tahu masalah yang dia alami. Dia mengernyitkan bahunya.

Mungkin sekitar satu jam setengah, saat matahari tepat di atas kepala. Orang tuanya pamit untuk pulang. Mereka mengakhiri perbincangan mereka dengan salam.  “Siapa mau makan?” Tanya Aisyah kepada teman-temannya saat tiba di kamar. “Aku!” mereka langsung duduk melingkari makanan yang dibawa Aisyah. Dibukanya nasi yang dibungkus dalam gulungan daun pisang, meniupkan aroma khas, dalam bungkusan terpisah pepes cakalan yang berjajar rapi  melehkan liur mereka. Tak sampai lima menit semua makannya sudah ludes termakan.

***

Pada malam itu entah kenapa, Aisyah masih terjaga dari tidurnya. Tidak seperti biasaya, yang sepulang diniyah langsung molor di atas bantal. Dia tak sengaja mendengar suara seperti orang berbisik dari luar, dia ketakutan. Namun karena dia penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk melihatnya, kepalanya keluar sedikit ke jendela. “tak ada siapa pun!” saat dia hendak menarik kepalanya ke dalam, di bawah jendelanya ada seseorang yang sedang memegang beberapa kitab dan buku. Belajar dalam hening dan gelapnya malam, dia adalah Nanda, orang yang selama ini membuatnya iri, karena keberuntungannya.

“Tak pantas aku iri dengannya”

 “Dia bisa bukan karena beruntung, tapi karena memang usahanya sangat besar.” Pikirnya.

***

Baru belajar tidak menjadi alasan untuk mundur dan menyesal, karena kegigihan, kemustahilan bisa menjadi mungkin. Termasuk bayang-bayang Kairo yang masih semu itu.

Hidup itu nyata, Jangan hanya bermimpi!

Jember, Bulan Pahlawan

*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris Jember, pernah aktif dalam kepengurusan Redaksi Majalah Nuris dan MSains Bidang Matematika. Hobi menulis baik puisi maupun prosa.

Related Post