Singkong dalam Amplop

Oleh: Ayu Novita Sari*

Kisah ini tidak akan ada jika dia yang sekarang mengetik dengan berdarah-darah, tidak mengisahkan dalam kata. Hingga kalian membuka mata dengan nyata dan melihat aku yang sedang dicabik oleh anjing-anjing para bedebah itu. Aku tersenyum.

Aku terduduk di bawah pohon kapas yang sedang meranggaskan daunnya. Menganyam batang-batang jerami menjadi sebuah boneka, sesekali melihat ayah yang sedang membelai-belai sapi perah satu-satunya milik kami. Ketika ayah tidak melihatku aku segera mungkin menaiki pohon kapas dan menggantung botol kaca bekas di ranting pohon kapas dengan kuat. Selalu berhasil. Jangan bertanya temanku siapa, aku hanya berteman dengan tanah dan tumbuhan. Tidak ada anak kecil di sini hanya ada aku, ayah, dan sapi perah. Ibuku, aku kira ayah adalah ibuku jadi jika kamu tanya ibuku siapa, maka akan aku jawab ayah adalah ibuku.

Tidak pernah aku bertanya di mana dan ke mana ibuku berada, karena aku tahu hal itu akan membuat ayah sakit. Kita hidup di sini pun aku tak pernah bertanya. Bahkan tentang pendidikan dan sekolah pun aku tidak tahu tempat itu, karena aku besar memang seperti ini tak mengerti apa-apa. Untuk menggambarkan seorang ibu menjadi nyata aku membuat boneka dari jerami untuk menggambarkan sosok ibu. Sederhana.

Tentang pohon kapas di depan rumah yang aku gantungi botol, bukan tak punya arti aku melakukan itu. Dalam botol itu aku taruh lembar demi lembar impian ku. Kenapa aku bisa menulis? Tidak mengetahui apa itu sekolah tidak hayal ayah membuatku bodoh, ia adalah ayah yang sangat pintar membantuku membaca, menulis, dan menghitung, bahkan menggambar. Ayah bisa jadi apa saja dalam hidupku. Ayah bisa jadi juru masak yang sangat andal dengan masakannya yang sangat lezat. Ia juga bisa menjelma anak kecil yang menemaniku memainkan boneka-boneka buatanku.

Aku tidak pernah menangis karena aku tidak pernah jatuh. Ketika keluar rumah, hamparan rumput lembut langsung menyambut kaki mungilku. Di dalam rumahku pun rumput menjadi lantai. Jika aku jatuh langsung di tangkap oleh rumput-rumput itu. Sesekali ayah menaikkanku di atas punggung sapi perahnya, sederhana saja itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Ayah mengangkatku seakan-akan aku terbang seperti pesawat, impian terbesarku.

(baca juga: Memeluk Hujan)

Pesawat. Waktu itu aku berbaring di atas rumput bersama ayah, sederhana saja percakapan kita. Sebuah pesawat besar berwarna biru putih melintas di atas kita. Sunyi. Lalu aku membuka percakapan

“Zawahra, ingin naik itu Ayah. Ingin terbang sama Ayah pergi ke tempat ibu”

“Zawahra ingin naik pesawat?. Itu namanya pesawat”

“Iya Ayah”

“Zawahra ingin pergi ke tempat ibu naik pesawat?”

“Iya Ayah.” lalu ayah memelukku dengan erat.

Aku kembali ke dunia nyata. Aku sudah turun dari atas punggung sapi perah pemalas itu. Tempat ini sangat sepi menurut kalian, tetapi cukup ramai bagiku yang sudah bersahabat dengan alam. Kulihat kupu-kupu kuning terbang bekejaran. Awan berubah bentuk sesuka hati. Jika aku tetap seperti ini, apakah aku bisa mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku ambil buku yang ayah beli entah di mana ia membeli buku-buku untukku. Kerinduan yang terus bertambah tanpa tahu rumus untuk berhenti membuat dadaku sesak mengingat sebuah kisah. Aku tak pernah bermimpi tentang bagaimana bahagianya memiliki ibu. Yang aku mimpikan hanyalah kebahagiaan bersama ayah.

Jangan tanyakan seberapa besar aku sayang kepada ayahku. Bulan yang selalu setia kepada bumi pun kalah. Jika kamu mempunyai perumpamaan yang lain, perumpamaanmu sangat salah besar dan sangat-sangat tidak tepat. Karena sayangku tidak bisa dinarasikan. Dialog ayah yang sangat renyah selalu menyambut celotehan mimpi-mimpiku. Tatapannya yang sangat dalam menenangkan saat aku mulai resah dengan mimpiku. Genggamannya dan pelukannya yang sangat menenangkan saat aku mulai ketakutan dalam kesepian. Itulah kerinduan yang aku ceritakan pada embun yang mengalir pada kaca gedung tempat aku tinggal sekarang.

***

Naskah ini terus di ketik. Tubuhku semakin habis, tetapi mataku masih melihat. Seseorang di sana, seseorang yang sangat aku rindukan. Aku melihatnya, melihat kepiluan hati yang sangat kecewa padaku, aku melihat rasa iba dalam mata terdalamnya, aku melihat ia meronta kesakitan, aku melihat ia menangis, aku melihat ia memanggil dan mengatakan rindu. Sungguh jahat sekali awan saat itu, menjatuhkan hujan, dan membuat pandanganku kabur.

(baca juga: Terima Kasih Rohana Kuddus, Selamat Ki Hajar Dewantara)

“Kau sedang apa Zawahra?” Ayah menghampiriku yang sedang merakit kerangka pesawat buatanku. “Apakah Kamu yakin, bisa membuat pesawat dari kulit singkong dan serat pelepah pisang?” Lanjutnya.

“Zawahra yakin Ayah, karena komponen ini sangat ringan dan tidak mudah terbakar”.

Jika aku memiliki hari yang sangat buruk aku tidak mau menempatkannya di hari itu. Jika ada rahasia besar yang ayah sembunyikan dan itu menyakitkan aku tidak ingin mengetahui dan tidak ingin melihatnya. Awan gelap menggelembung tepat di atap rumah kami. Suara gegap gempita orang-orang itu menghancurkan hamparan rumput yang ada. Pandanganku kabur, menilik sedikit aku melihat ayah tergeret berdarah-darah diseret orang-orang besar dengan sepatu kulit yang sangat besar dan tebal. Aku melihat kepalanya ditendang tangannya berusaha meraihku yang meringkuk terlempat di sudut gubuk kecil itu. Nihil. Mereka membawa ayah dan aku tertidur ketika sesuatu yang keras menimpa kepalaku. Aku berdarah.

Hidupku berubah, aku memerah sapi dan memberi makannya sendiri. Merebus singkong dan mengambil air minum sendiri. Aku sendiri. Usiaku terus bertambah, aku tak tahu tentang dunia di luar daerah rumahku ini. Aku mencoba mencari ayah bertahun-tahun lamanya, ketika aku berada di perbatasan daerah aku tak punya keberanian untuk melangkahinya. Aku kembali pulang. Aku masih sendiri. Lalu aku merasa rindu yang sangat. Aku tak pernah berkata selama bertahun-tahun lamanya. aku hanya bisa bergerak. Melihat almari milik ayah, rasa ingin membukanya membuatku bergerak. Baru tahu jika ayah memiliki baju yang sangat bagus. Sebentar, bukankah ini adalah pakaian orang-orang tak berhati itu? Orang-orang yang membawa ayah jauh dariku? Sesuatu terjatuh dalam baju itu. Amplop. Berceceran dengan warna cokelat yang melapisinya, banyak sekali. Aku buka dan aku baca.

Maaf.

Ini aku titipkan Zawahra padamu. Bukannya kami tak bisa merawatnya, aku takut dia terbawa dalam pembantaian keluarga kami. Sharif tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk menghindari para tentara itu. Asalkan kamu tahu kami bukan teroris, kami bukan termasuk dalam skandal itu. Suamiku, Sharif dijebak oleh skandal bedebah itu. Aku Janatin, meminta dengan sangat kepadamu untuk membawa Zawahra pergi jauh dari kota para bedebah ini, rawat dia. Hanya kamu tentara yang bisa kami percaya.

Sharif sedang mondar-mandir di ruang tamu. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan, bukan aku tak ingin bersama Zawahra, tetapi aku juga tak bisa meninggalkan Sharif sendiri dalam keadaan ini. Sharif memintaku untuk pergi dan membawa Zawahra sejauh mungkin, ia ingin aku selamat. Tetapi aku lebih percaya padamu adikku. Bekerjalah sebagaimana tugasmu sebagai seorang tentara pemberantas teroris. Tapi, jalankanlah tugasmu untuk membantu kakakmu ini.

Aku sangat berharap padamu. Ibtisam.

Sharif dan Janatin

Kau tahu apa yang aku rasakan ketika aku mengetahui sesuatu itu. Aku langsung bergegas membuka lembaran baru dan menjadi orang yang sangat berarti pada dunia ini. Aku menjadi seorang perempuan yang sangat berarti untuk negeri ini. Karena apa? Karena sebatang surat dan beberapa batang surat yang berceceran itu. Aku lupakan padang rumput, aku lupakan sapi perah, aku lupakan pohon kapas yang bergantungan mimpi-mimpiku itu. Tapi aku tidak melupakan kronologi kisah di tempat itu. Aku berjalan di jalan yang benar, menemukan banyak orang yang membuatku kebingungan.

Melawan dan melanjutkan mimpi tentang pesawatku. Merangkai dengan indah mewujudkannya dengan bangtuan singkong dan serat pelepah pisang jangan lupa tentang surat yang membawaku ke ranah keramaian ini. Temuanku yang diragukan ayah, ayah? Apakah itu ayahku?. Membuat orang-orang yang disebut profesor itu terkagum-kagum dan memberiku kekayaan yang sebenarnya bukan ini yang aku impikan. Yang aku inginkan adalah sebuah keinginan. Aku terus mencari dan mencari. Ramainya jalan penuh dengan orang yang berkata tanpa mereka ketahui makanannya aku duduk di sebuah kursi putih di pinggir jalan. Aku membaca koran.

Pada bagian surat pembaca, aku menetaskan air mata.

Zahwara Sharif.

Jika kau sudah menemukan dirimu. Tentang mimpimu yang ayah tidak percaya itu, temui ayah di sini. Ayah sangat merindukanmu. Jika kamu hidup dengan kesenangan dan kamu membenci ayah tak usah temui ayah. Jika kau hidup dengan kesusahan, ayah mohon temui ayah, ayah akan carikan kehidupan yang membahagiakanmu lagi. Maafkan ayah meninggalkanmu, jangan salahkan orang-orang itu. Salahkan ayah yang tidak bisa menjadi ayah yang baik untukmu. (I).

DI TULIS DALAM SEL PENJARA, 212

“Pernahkah Zawahra bertanya tentang kebahagiaan yang abadi Ayah? Pernahkah Ayah membuatku menangis? Ayah atau siapalah anda, anda sangat berati untuk Zawahra. Untuk surat dan rahasia yang ayah kunci dengan gembok yang sangat rapat, selamat ayah kalah dalam hal ini. Zawahra bukan anak kecil lagi. Anda yang mengajari tentang sebuah mimpi. Hari ini mimpi-mimpi itu telah Zawahra selesaikan” semua orang menoleh kepadanya yang berjalan di tengah persidangan. Ibtisam. Orang disebutnya ayah menoleh.

Para dewan hakim tersenyum. Orang-orang yang menjadi saksi berdiri lalu keluar. Awan putih tak berkeliaran siang itu. Aroma kembang kantil menyerbak dalam hidung Zawahra. Ia melihat seseorang yang rambutnya mulai memutih itu menangis. Seseorang yang selama ini ia panggil ayah.

“Ini adalah makam Ayah dan Ibumu. Sharif dan Janatin”

“Zawahra sudah tahu”

Lalu ia memberi replika pesawat yang terbuat dari kulit singkong dan selembar surat. Ibtisam tersenyum. Lalu ia memberi sebuah tiket pesawat.

“Mau naik pesawat buatan Zawahra Ayah?” Ibtisam tersenyum.

Bila kamu ingin menangkap kupu-kupu jangan mengejarnya, itu akan menyulitkanmu. Tapi, tanamlah bunga hingga menjadi taman, niscaya ratusan kupu-kupu akan menghampirimu.

Seseorang sedang mengetik dan terus mengetik kisah ini. Hingga jari-jarinya melepaskan diri.

Februari 2019

*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember, pencinta sastra dan berprestasi, penulis buku antologi cerpen Gandrung Melarung Mendung. Kini sedang menempuh pendidikan sarjana di FIB UNEJ

Related Post