penulis: Ahmad Fahmi Almahdiyyin*
Tit tit…tit tit…tit tit…
Suara alarm dari smartphone berbunyi. Kucoba untuk tidak menghiraukannya, tapi semkain lama bunyi itu terus saja berjalan merambat ke dinding-dinding kamarku yang pengap. Bunyi itu terus saja terpantul-pantul hingga akhirnya sampailah juga di telingaku. Masih begitu saja membuat kepala terasa penuh, dan seperti mau meladak saja. Dan BOOM! Bunyi itu menyulut sumbu kesabaran, membuatku bangkit dari ranjang dan langsung meraih smartphone yang sedari tadi hanya mengganggu tidur pagiku. 0510 AM, membuat teringat akan kewajiban yang masih saja belum terlaksanakan. Langsung saja kuambil handuk kecoklatan yang dulunya berwarna putih ketika kubeli di pasar dekat perempatan. Dan mungkin jika handukku disimpan beberapa waktu lagi, bisa dikatakan sebagai barang antik.
Bagiku, pagi adalah waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan hidup sehat, mulai dari salat, bersih-bersih, bahkan memberi makan ayam sudah aku lakukan. Walaupun sang pemilik ayam masih saja mencerna makanan yang dimakan kemarin sore. Teleponku bergetar, membuat meja kecil dan gelas kaca pun ikut bergetar. Aku yakin getaran tersebut adalah notifikasi telepon masuk karena panjang getaran tersebut tak pernah berhenti. Kuangkat. Ternyata dari kakak kandung ibuku.
“Wan, kamu ada di mana?”
“Ridwan lagi ada di rumah aja, budhe. Soalnya Ridwan kuliahnya kosong, ada apa budhe?”
“Nggak sih Wan, cuma mastiin kesehatan kamu aja, sering-sering main ke rumah Wan!”
“Ashiaap budhe!”
Setelah kututup telepon, satu pesan WA masuk, kulihat, ternyata dari Ana, wanitaku, kubaca.
“Abang, Ana rindu. Kita ketemu di tempat biasa jam 09.00, mumpung Ana gak kuliah bang, ok?” kujawab singkat, “ok”. Sudah lama aku tak bertemu Ana, membuat juga rindu. Ah, entahlah.
45 menit sebelum waktu yang telah dijanjikan, aku berangkat dengam astrea kebanggaanku, motor bobrok yang bisa menebak sifat-sifat wanita, hihihi. Jika seorang wanita tak keberatan menaiki motorku, maka wanita itu sederhana sifatnya. Dan juga sebaliknya. Sudahlah, motorku tidak dibahas, jelas-jelas wanita yang tidak mau menaiki motorku, bukan karena wanita itu tidak sederhana, tapi mungkin takut ketika sedang menaikinya, ban motor ini akan lepas. Bisikku pada diriku sendiri. Tapi diriku yang lain berkata bahwa Ana mau-mau saja, bahkan dia bahagia ketika motor ini mulai tersendat-sendat jika kutarik gasnya berlebihan. Entahlah, mungkin aku dan Ana memiki sifat yang sama.
(baca juga: Sebening Syahadat, Sebening Cintanya)
Sebelum sampai di tempat, aku menepi di sebuah trotoar. “Aku harus membeli bunga.” Pikirku. Bukan karena bunga itu melambangkan keromantisan, tapi karena memang sudah menjadi tradisi, jika dirimu akan bertemu dengan orang yang sangat kamu cintai, berilah dia bunga dan doa-doa syahdu. Bunga sudah kudapatkan. Aku pacu kuda besiku, meliuk-liuk melewati jejeran kendaraan yang tak bisa beraturan, mendahului bayanganku sendiri, kadang menang, kadang kalah, begitu seterusnya. Dan aku pun sampai di tempat yang sudah aku janjikan dengan Ana, kembali kuberi tahu bahwa dia wanitaku. Kulihat jam di tanganku, 08.50, syukurlah tidak membuat menunggu. Ana pun terlihat sedang menaiki motor dengan seorang berjaket hijau, bukan siapa-siapanya, kalian pasti tahu. Kulihat Ana berjalan ke arahku, semakin cepat, semakin cepat, hingga akhirnya dia menyambarku, dipeluknya aku, dan kubisikkann sesuatu, “Ayo kita tuntaskan rindu ini.”
Kami berjalan melalui jalan setapak yang di kanan-kirinya penuh dengan gundukan tanah, juga batu yang menjadi tandanya. Kami mencari batu nisan yang bertuliskan nama ibu kami, Eni Puspita. Ibu kami sudah meninggal 2 tahun lalu, setelah 3 bulan pasca kematian bapak. Ketika kami menemukan pusara ibu, kami saling pandang. Kulihat mata Ana berkaca-kaca, aku ingat pesan ibu, “Le, jaga adikmu, jangan biarkan dia menangis! Kamu adalah abangnya.
Sekarang bapak sudah tiada, dan mungkin ibu juga tak akan lama lagi menyusul bapakmu. Katakan paada ibu bahwa kamu akan menuruti pesan ibu!” Air mataku mengalir, lalu aku melihat Ana menaburkan bunga yang kubeli tadi. Aku juga melihat Ana menyiram pusara ibu yang gersang dengan air matanya. Aku rangkul dia, dan membisikkan sesuatu, “Ana, ayah memang sudah tiada, begitu juga ibu. Tapi lihatlah kedua mata abang! Mereka hidup di dalamnya. Abang janji akan menjagamu, sampai kamu telah menemukan orang ynag pantas untuk menggantikan posisi abang, dan mencegah air matamu bercucuran untuk selanjutnya.” Tangis kami pun pecah.
“Bersama dengan partikel-partikel cinta seorang ibu menjadikan kita tegar untuk melakukan apapun tanpa harus takut untuk menyerah. Ibu, penyelamat saat sinarku mulai redup ditiup oleh angin, namun kau saat ini pergi tanpa memberikan cinta kasih yang abadi. Untuk ayah, kau penyelamat kehidupan kami, demi memperjuangkan moneter yang terus menjarak.” []
*Penulis adalah Ahmad Fahmi Almahdiyyin, biasa dipanggil Al, berasal dari Sukorambi, Kabupaten Jember, lulusan MA Unggulan Nuris Jember tahun 2020.