penulis: Ahmad Rahmatullah*
Silir angin menyapa makhluk-mahkluk dengan tariannya yang amat indah. Namun terasa amat dingin malam ini, kesiur angin hadir menyesap dingin melalui dahan-dahan lalu dapat merobek pelepah kelapa di ujung batang pohonnya. Bintik-bintik lintang dengan bahagianya menghiasi langit-langit yang telah petang, tanpa adanya sinar bulan yang indah. Para burung malam saling bersaut dengkur untuk melantunkan takbir yang agung. Gemerlap-gemerlip lampu desa menerangi dedaunan yang bergoyang riang, suara yang tak asing itu memanggilku. Suara penuh serak renta telah menyapa.
“Zain…” Panggil umiku.
“Iya Mi, sebentar.” Segera kuhampiri suara tersebut. Suara yang penuh dengan kenangan indahnya.
Di lingkunganku orang-orang memanggilku dengan nama Zain. Ali Zainal Abidin itulah nama lengkapku. Aku berasal dari keluarga pesantren: Sebuah pesantren yang banyak diminati oleh kalangan masyarakat karena berasal dari keluarga pesantren. Aku suka mempelajari dan memperdalam ilmu agama. Oleh itu dalam hidupku, ketika aku berumur masih seperti jagung kecil, sudah kudapati ilmu agama yang cukup luas, yang pastinya karena didikan dari abah dan umiku.
Walaupun aku dari keluarga pesantren, aku tetap tekun belajar pada para Kang Santri yang menjadi senior di pondok ini. Bahrul Ulum. Itulah orag disekitar menyebut pesantren ini. Para Kang Santri itulah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu yang dapat memberikan restu yang tiada terhingga. Indahnya di saat nanti.
“Ini bungkusan nasi, tolong kamu berikan kepada para Kang Santri yang lagi meronda di pos sana.” Aku mengikuti petunjuk umi yang mengarah ke utara kelas diniah.
“Siap Umi!” Dengan badan tegap, aku langsung mencium tangan beliau dan menghilang dari pandangannya.
Memang di pondok kami sudah terbiasa dengan namanya jaga pos ronda, bagi para santri yang mendapat keercayaan dari abah untuk berkeliling memastikan keamanan pondok.
(baca juga: Singkong dalam Amplop)
Aku memang tergolong anak yang nakal di keluarga besar Bahrul Ulum. Berbeda dengan kakak dan adikku yang selalu taat pada perintah abi dan umi. Oleh itu aku terkenal bandel. Tak lama kudengar lantunan sandal yang terseret-seret yang tak asing pastinya. Musthofa pemilik derai sandal itu. “Fa…sini kau!” Thofa pun menghampiriku, Musthofa inilah yang menjadi khodam setia abi mulai ia pertama kali menyantrikan dirinya di pondok ini.
“Enggeh Mas…ada apa?”
“Ini bungkusan dari bu Nyai, kamu disuruh mengantarkan ke pos ronda samping kelas diniah!” Suruhku..
“Ia mas, apa ada lagi?” dengan menundukkan kepala, seperti biasanya ia mennghormati keluarga pondok.
“Itu saja cukup, silhkan diantarkan!” Hilanglah ia dari pandanganku. Dan tersenyumlah aku, ternyata aku masih selalu jahil kepada santri abahku.
Di kalangan pesantren, sebutan mas digunakan untuk sebutan putra dari kyai yang dihormatinya, seperti aku ini, semua santri menyebutku mas Zain.
***
Ciptaan tuhan yang satu ini memang tiada tara keindahannya. Matahari, itulah aku menyebutnya dengan sinarnya yang dapat menembus lubang-lubang dari semua segi maupun dimensi. Terasa amat indah pagi ini. Aku sudah berpakaian rapi dan mengggendong satu ransel kesayanganku. Memang waktu tak akan bisa berpisah degan kita. Dan sebaliknya, kita tak bisa berisah dengannya, dan aku menjemputnya untuk menepati janjiku, menuntut ilmu.
Pada 6 Juni 2014, aku diberangkatkan ke pondok pesantren, di mana dia akan menjadi tempat hidupku kedepannya. Pondok Pesantren Nurul Musthofa di Jember. Ini memang kewajibanku menuntut ilmu seperti halnya kakakku yang telah berjuang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.
Sesampai di pondok aku sowan ke dalem (Rumah) kyai. KH. Musthofa Bisri orang menyebutnya, dan diresmikannya aku menjadi santri beliau di PP. Nurul Musthofa. Dari waktu ke waktu kujalani. Aku terkenal Cerdas, pintar, dan tampan. Bahkan dikalangan santriwati entah tak tahu darimana, mereka mengenal namaku dan mengidolakan aku
Tak terasa waktu bergilir dengan amat cepat. Enam tahun telah aku lalui menjadi santri di pondok ini. Kuisi dengan kegiatan mengaji, hafalan dan mengabdi. Ilmu tak terasa semakin bertambah dan semangatku untuk mencari ilmu semakin menggebu-gebu bagai api yang tak kunjung padam. KH Hasbullah-lah yang menjadi idolaku untuk semangat menuntut ilmu.
KH Wahab Hasbullah seorang tokoh bangsa yang menjadi salah satu pelopor berdirinya Jamiyah Nahdlatul Ulama’, bersama sahabatnya KH Hasyim Asyari, beliau semua dapat mendririkan sebuah Jamiyah yang sampai saat ini kita tekani akidahnya. Nahdlatul Ulama’.
Aku termotivasi beliau semua untuk menjadi tokoh bangsa dengan mencari ilmu pengetahuan dan agama. Supaya aku bisa menjadi orang hebat seperti beliau semua.
“Kang…!” Aku terbuyar dari lamunanku, seorang santri mengagetkanku dan ternyata aku telah lama melamun di pojok masjid.
“Iya…ada apa Kang?” Tanyaku penasaran.
“Samean dipakon untuk ke dalem Embah Yai!” perintahnya.
“Ohw…ia dah terima kasih.”
“Sama-sama, cepetan Kang.” Timpalnya.
Terasa dunia ini seakan-akan terbalik. Seperti halnya bintang tanpa indahnya cahaya. Keringatku tercucur amat deras. Tak biasanya aku dipakon ke dalem oleh mbah yai. Perasaanku bercampur aduk antara senang, takut, dan bingung daripada membuang waktu aku langsung menuju dalem mbah yai.
Di depan dalem, aku termenung karena takut dan tiba-tiba seorang khadam (Pembantu) kyai datang menyilahkan aku masuk.
“Silahkan Kang Zain masuk, sudah mbah yai mulai dari tadi.” Lalu aku masuk dan tersentak kaget.
“Kenapa banyak tamu-tamu begini!” Pikirku dalam hati. Maka ku buyarkan dengan kalimat salamku.
“Assalamualaikum.” Tiba-tiba semua pandangan tertuju padaku.
“Waalaikum salam, kang sini duduk di samping saya!” Cetus mbah yai padaku.
Tanpa banyak basa-basi aku dudu di saping beliau. Hatiku bertmabah getir dan cemas. Selang satu jam kiranya mereka berbincang-bincang yang takku mengerti maksudnya, tanpa sengaja aku melirik seorang gadis dan cadar putihnya. Seorang gadis dengan mata indahnya. Subhanallah, begitu kuasa Engkau ya Rabb. Pasti begitu indah hidupmu. Tiba-tiba mata kami saling beraduan. Astaghfirullah, tegur dalam hati. Aku tertegun menjadi tempatku. Pada saat ini berada di sekitar kumpulan orang alim pastinya. Namun tanpa ku sadari hanya aku dan gadis itu yang seumuran. Sedangkan yang lain sudah lanjut usia. Sampai terbenak dalam pikiranku. Apakah ini perjodohan? Semoga bukan.
“Begini kang zain” tiba-tiba kiai memotong arah pembicaraan dan menatapku.
“Keluarga besar KH. Ahmad, datang kesini untuk menyambung tali silaturahin” sambil menunjuk seseorang yang ada di depan beliau.
Ternyata orang yang ada di depanku ini beliau bernama KH. Ahmad.
“Selain untuk silaturahim, perkenankan saya memperjelas tujuan beliau, karena beliau mempunyai seorang putri dan beliau untuk melanjutkan perjuangan beliau, jadi beliau ingin putrinya menikah.” Lanjutnya.
Perasaan ini semakin tak terarah, keringatku bercucur bagai tsunami di ujung timur. Aku hanya dian dan mendengarkan tanpa harus berkata-kata.
“Baik saya lanjutkan, beliau memilih saya untuk mencarikan suami yang pas dan cocok dengan Ananda Nur Angraini.” Tunujknya pada seorang gadis di depanku itu.
Perempuan yang di samping kyai Ahmad itu ternyata putrinya yang bernama Nur Angraini.
“Jadi, saya telah menemukan yang pas dan cocok itu samean Kang Zain, dan lebih tepatnya saya menjodohkannya dengan samean.”
Bagai petir di alang-alang langit, menyambar ubun-ubunku dugaanku benar. Ini perjodohan, tapi gimana lagi ini sudah menjadi kewajibanku untuk memenuhinya. Dan jujur aku memang suka dengannya, ketika tatapan kami bertemu.
Sekitar dua bulanan setelah berjodohan itu. Aku lebih mengenal aini lebih luas. Lebih tepanya calon istriku. Dengan cara kirim surat menyurat, walaupun aku amat ingin bertemu dengannya.
Pagi amat indah, yang selalu menyapa senyumku, ketika cahaya matahari tersenyum melihat aktivitas burung-burung yang bernyanyi gembira pertemuan antara keluarga besar kiai Ahmad dan kiai Musthofa kedua kalinya telah digelar di ruang tamu yang amat nyaman ini. Yang pastinya abah dan umi ikut serta dalam pertemuan ini. Namun ada yang membuatku terganjal. Aku tertegun menyadarinya, dimana gerangan perempuan dengan cadarnya itu? Dimana aini? Aku hanya diam. Tidak berani menyempatkan diri bertanya kepada kiai Ahmad.
“Ekhem…” Bagai geledek yang menyambarku. Dekheman kiai Ahmad sangat menggelegar. Amat kaget rasanya.
“Maaf, Nak Zain lagi mencari Aini ya? Aini tadi berpisah dengan kami, dia bersama ibunya izin untuk membeli oleh-oleh.” Jelasnya.
Subhanallah, beliau tahu kalau aku sedang mancari Aini. Namun aku khawatir kalau ia tidak datang kea lam pertemuan ini.
Setelah berjam-jam menunggu, Aini tak kunjung datang. Aku semakin khawatir. Dimana Ainiku?. Waktu memnag tak selalu berpihak dengan arang yang baik. Takdirpun tak selamanya baik. Tiba-tiba telepon kiai Ahmad bordering, dan beliau mengangkatnya.
“Halo… Assalamualaikum Bi”Terdengar suara dari ujung sana, karena ada ucapan’’Bi” pasti beliau bunyai.
“Waalaikumsalam… ya mi, ada apa? Kok lama belanjanya? Mana Aini?.”
Terdengar amat jelas di ujung sana, suara isak tangis bunyai.
“Tolong cepat kesini Bi. Rs As-syifa, tadi…ki..kita ke…kecelakaan Bi dan Ai..Aini sekarang kritis tanpa sadar ain..” Suaranya terbata-bata yang ku dengar, ada apa gerangan?.
“Innalillahi wa inna ilaihi ra ji’un kecelakaan mi, baik abi langsung kesana.”
“Maaf, pak yai Musthofa, saya tidak bisa melanjutkan acara ini. Aini kecelakaan dan saya harus kesana” KH. Ahmad langsung berpamitan untuk pergi ke rumah sakit dan ia menghilang di balik pintu.
“Aini” Gumamku.
Lutut ini terlalu amat sangat bergetar, berdiripun tak mampu ku lakukan. Aku merasa matahari yang selalu senyum kinimelebur dan menghilang dengan sinarnya yang indah. Bumi terasa tak dapat ku pijak, kicauan burung tak lagi terdengar keindahan yang aku rasa di setiap harinya kini ikut melebur dan rapuh berkeping-keping dan menjadi debu.
Padahal….
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat disampaikan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
dan dengan ijab yang sempat ku sampaikan kepada Ainiku
kini semuanya hanya bisa melebur dengan cahaya matahari-Nya. Melebur dengan cahaya yang Agung.
Biodata Narasi
*Penulis adalah Ahmad Rahmatullah, biasa dipanggil Ahmad, tinggal di Wuluhan Jember. Alumni MA Unggulan Nuris tahun 2019 tempatnya belajar di bawah naungan Ning Balqis Al Humairo. Motto yang saya genggam erat adalah, “Berpegang teguh pada keyakinanmu.”