Penulis: Ayu Novita Sari*
Angin di atas sana terlihat kencang geraknya, terlihat dari pergerakan awan yang sangat cepat ke arah barat. Ilalang di padang sabana bergoyang sangat lihai melepaskan bulu-bulu lembut menyaingi kapas. Siulan burung pipit merasa risau saat mengisap madu bunga sepatu. Daun-daun sedang meranggas siang ini terbawa angin hingga ke ranah negeri lain. Berserakan. Orang-orang masih sibuk bergerak hingga melupakan cara menghargai dan memohon. Banyak orang yang berkata-kata tapi ucapan itu hanyalah sampah tanpa mengetahui apa artinya. Zaman ke zaman kosa kata bertambah tanpa memedulikan arti dan maksud tujuan. Mereka tetap tertawa.
Waktu aku di utus oleh Tuhan untuk turun ke bumi aku lebih memilih menjadi hewan entah hewan apa saja. Aku terbungkus oleh sesuatu yang menurutku itu sangat keras, aku merasa sesak di dalam benda itu. Bergerak dengan sekuat tenaga supaya aku bisa keluar dari benda itu. Aku mendengar suara.
“Bayinya bergerak”
“Dia akan menjadi ratu di kelompok kita”
“Lihat, indah sekali bukan”
Tak mengerti mereka membicarakan siapa dan untuk siapa. Aku di dalam benda itu kebingunan, mencari celah untuk keluar. Nihil. Benda itu rata dan halus aku kelelahan, memutuskan untuk duduk di sudut benda itu. Tiba-tiba, suara terdengar dari atas kepalaku, mataku silau semburat sinar menerangi ruangan benda itu lewat celah yang retak. Merasa penasaran aku bangkit dari dudukku retakan itu makin melebar sehingga membuat bolongan tak sempurna pada benda yang membungkusku, benar saja ternyata aku terlahir menjadi seekor semut.
Keluargaku merasa senang, salah satu dari mereka menangis aku berfikir mungkin itu ibuku. Kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika segerombolan angin menghempasku secara paksa pergi untuk selamanya berpisah dengan keluarga besarku. Sempat aku melihat ibuku tersenyum bangga padaku, menurutku itu arti senyumannya. Semua gelap. Indera penciumku masih berfungsi setelah lama tak sadarkan diri aku terbangun setelah mencium aroma sedap di sekitarku. Berfikir. Aku tak kenal ranah ini.
Setelah perdebatan lama waktu itu, aku baru mengerti jika aku tercipta menjadi seekor hewan kecil yang bisa menyelubung dan terhempas ketempat manapun tanpa harus memikirkan rasa sakit dan kematian. Faktanya aku tak mati ketika aku terlempar jauh dari tempatku dilahirkan. Manusia di sekitarku tinggi-tinggi, aku paham dengan apa yang mereka bicarakan. Mereka juga bertasbih sama halnya aku, aku tak menemukan hewan sejenisku hanya ada manusia di sini. Lalu aku berjalan, menemukan sebuah pohon yang lebat buahnya dengan sisa tenaga aku membuat sebuah sarang kecil untukku tinggal di sana, tepat di dekat buah yang bergelantungan. Setelah cukup istirahat dan memakan buah yang ada aku langsung beribadah, hingga pada akhirnya aku terlelap.
***
Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad,
Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung dan tebing-tebing
Padahal aku tak beralas kaki, dan tak berkendara,
Tanganku pun kosong dan,
Jalan ke sana amat mengerikan.[1]
Matahari menenggelamkan tubuhnya hanya terlihat semburat sinar warna kuning kemerahan di sana. Bintang di hamparan langit yang tampak mulai berhamburan membentuk rasi masing-masing. Pikiranku menembus pada wajah seekor semut yang menangis bahagia saat aku terlahir ke bumi. Tertawa geli. Malam mulai larut aku mendengar tumbuhan di sekitarku mulai bertasbih aku pun mengikutinya. Tak ada semut selain aku di situ. Mataku mulai pekat, mulai menyipit lalu tertidur. Tiba-tiba,
“Apakah Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam pernah mendeklarasikan negara Islam? Lucu sekali pertanyaan Raja Penguasa Bizantium itu”
“Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam tak hanya sekedar mendeklarasikan negara Islam tetapi sudah melakukan sesuatu yang lebih. Aku penasaran dengan apa yang di tulis Rasulullah dalam surat ini”
Hening. Mendengar percakapan itu tubuhku langsung tertarik untuk mendekat pada mereka. Melalu penutup kepala yang mereka kenakan aku terjun menuju lengan baju dan sampai pada benda yang mereka pegang. Sangat tertutup rapat dengan ikatan yang membentuk sebuah simpul. Terduduk aku tepat pada simpul penali benda itu. Mataku yang tadinya pekat tak jadi terpejam, rasa ingin tahuku sangat besar hingga langkah mereka tertuju pada sebuah bangun megah dan mewah. Terlihat dari luar bangunan itu semua berlapis warna kuning keemasan. Lampu-lampu yang menerangi jalan sangat besar dan terang.
(baca juga: Selembar Kerudung dan Senandung Cadar dalam Mata Lelaki Cina)
Terdapat manusia di gerbang utama, badannya tinggi besar dengan rahang yang kuat mimiknya tak menaburkan senyum sama sekali ketika para sahabat Nabi ini berdialog dengannya. Setelah lama percakapan itu para sahabat Nabi memasuki gedung bergerbang besar terbuat dari besi itu. Betapa megah dan mewahnya dalam gedung itu. Sebuah istana kerajaan yang sangat menawan. Kedua sahabat Nabi memasuki ruangan dimana terdapat singgah sana Raja lengkap dengan pegawal dan pelayannya.
“Kalian kah pesuruh Nabi?”
“Nabi tak pernah menganggap kami pesuruhnya, beliau menganggap kami adalah sahabatnya” mendengar sahabat berkata seperti itu Raja tersenyum sinis.
“Berikan padaku titipan Nabimu” Lalu pengawal Raja itu mengambil secara kasar benda yang dipegang para sahabat.
“Silakan kalian pergi dari istanaku”
Tak bisa berbuat apa-apa aku tetap pada benda yang sekarang beralih tangan itu. Benda itu sekarang berada di tangan Raja Penguasa itu, ia membua tali simpul yang semula rapi dengan lihai aku melompat pada bahu sang Raja. Perlahan ia membuka, sebuah surat.
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
(Surat ini) dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya ditujukan kepada Raja Penguasa Bizantium. Kedamaian bagi mereka, para pengikut jalan kebenaran. Kemudian setelah itu, Aku mengajak Anda untuk masuk agama Islam, dana bila Anda menjadi seorang Muslim Anda akan memperoleh keselamatan, dan Allah SWT akan memberi Anda pahala ganda. Namun, jika Anda menolak ajakan untuk masuk Islam ini, Anda akan melakukan perbuatan dosa (Dengan mengikuti jalan sesat) kamum Arisiyin. Dan (Aku tuliskan untuk Anda firman Allah SWT): Hai Ahli al-Kitab! Marilah kita bersatu kata, antara kita, kalian dan kami, bahwa kita tidak menyembah selain Allah. Dan bahwa kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun. Bahwa kita tidak menjadikan antara kita sendiri sembahan-sebahan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah, “Sakikan olehmu bahwa kami adalah Muslim (Orang yang berserah diri kepada Allah SWT)”. [2]
Raja itu berdiri. Berjalan meninggalkan singgah sananya. Aku yang masih berada pada kerah juah kebanggaannya perpegangan saat erat. Raja itu berdialog cepat dengan para prajuritnya aku tak mendengar dialog mereka karena sibuk dengan bulu-bulu baju yang mengganggu pandanganku. Hingga akhirnya Raja itu berjalan menuju pelataran istana, di sana tepat di hadapannya ribuan prajurit dengan senjata dan pakaian lengkap berbaris rapi.
“Kita berniaga ke Negeri Syam sekarang” ucap Raja dengan rahang yang mengeras.
Aku masih betah dengan tahtaku di kerah baju Raja. Ia menunggangi kuda dengan kecepatan tinggi. Perjalanan yang sangat jauh membuatku heran tanpa bisa berkata-kata. Inilah kenikmatan menjadi hewan kecil, aku banyak menemui manusia yang berbeda-beda dalam perjalanan ini. Saat mendekati negeri Ilya’ (Yerusalem) ia bertemu dengan penduduk dan mendapatkan kabar jika Penguasa Mekkah dan kaum kafir Quraisy sedang terjadi genjatan senjata dengan Rasulullah.
(baca juga: Memeluk Hujan)
Raja Penguasa Bizantium itu mengirim utusan untuk memanggil Penguasa Mekkah itu. Penguasa Mekkah itu menemui Raja Penguasa Bizantium di Yerusalem. Raja yang dikelilingi para pembesar Romawi menemui mereka di sebuah ruang sidang. Melalu penerjemah, Raja Bizantium bertanya kepada Penguasa Mekkah dan pengikutnya.
“Siapa di antara kalian yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan orang yang menyebut diinya Nabi?”
“Aku” Penguasa Mekkah itu menjawab.
“Bawa dia mendekat dan biarkan para pengikutnya berdiri di belakangnya” para prajurit Raja Bizantium itu langsung melaksanakan tugasnya, Penguasa Mekkah itu mengikuti.
Penguasa Mekah itu lanjut bercerita.
“Raja Penguasa Bizantium itu menyuruh penerjemahnya memberitahu sahabat-sahabatku bahwa ia akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku tentang orang yang menyebut dirinya seorang Nabi ( Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan apabila aku berdusta ia meminta para sahabatku untuk menyangkalnya” ia melanjutkan lagi
“Demi Allah! Kalau bukan karena rasa malu pada sahabatku akan menyebut diriku sebagai pembohong niscaya aku akan berdusta tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Pertanyaan pertama yang diajukan Raja Bizantium kepada Penguasa Mekkah adalah, “Bagaimana kedudukan orang itu di dalam suku kalian?” Penguasa Mekkah itu menjawab, “Ia berasal dari keluarga terpandang di antara kami.”
Raja Bizantium bertanya lebih jauh, “Apakah sebelum dia ada seorang dari sukumu yang mengaku dirinya seorang nabi?” Penguasa Mekkah “Tidak ada”. Raja Bizantium bertanya “Apakah pengikutnya orang-orang terkemuka atau orang-orang miskin?” Penguasa Mekkah, “Para pengikutnya adalah orang-orang miskin.” Raja Bizantium bertanya lebih jauh, “Apakah para pengikuynya setiap hari bertambah atau berkurang?” Penguasa Mekkah, “Para pengikutnya terus bertambah.” Raja Bizantium bertanya “Apakah ada di antara pengikutnya yang kemudian merasa tidak senang dan meninggalkan agama yang dipeluknya?” Penguasa Mekkah, “Tidak ada”.
Raja Bizantium berkata, “Apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku dirinya sebagai nabi?” Penguasa Mekkah, “Tidak pernah” Raja Bizantium berkata, “Apakah ia pernah mengkhianati atau melanggar perjanjian?” Penguasa Mekkah menjawab, “Tidak. Kami sedang melakukan gencatan senjata dengannya namun kami tidak dapat memperkirakan apa yang akan ia perbuat (dengan pernjanjian itu)? Hingga saat itu aku tidak menemukan kesempatan untuk menentangnya kecuali dengan perkataanku yang terakhir”.
Berpegangan dengan erat. Aku yang sedari tadi hanya bisa bungkam, berusaha tetap pada kedudukanku. Kerah Raja Bizantium itu bergoyang-goyang. Gerakan tubuh Raja itu hampir membuat tubuhku tak seimbang.
Raja Bizantium bertanya, “Apakah kalian pernah berperang dengannya?”, Penguasa Mekkah, “Pernah” Kemudian Raja Bizantium berkata, “Bagaimana kesudahan peperangan itu?” Penguasa Mekkah, “Sekali waktu dia menang dan di lain waktu kami yang menang.” Raja Bizantium berkata, “Apa yang dia perintahkan untuk dikerjakan?” Penguasa Mekkah, “Dia menyuruh kami untuk menyembah Allah Yang Esa, dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatupun, dan menyuruh kami meninggalkan ajaran nenek moyang kami. Ia memerintahkan kami untuk mendirikan shalat, berkata benar, menjaga kehormatan dan menyambung silaturrahim”.
Melalui penerjemahnya, Raja Bizantium menyampaikan perkataan berikut ini: “Aku bertanya kepadamu kedudukan keluarga orang itu dan kau menjawab bahwa ia berasal dari keluarga yang terpandang. Semua rasul adalah orang-orang terpilih yang berasal dari keluarga yang mulia. Aku bertanya kepadamu apakah ada orang lain dari suku kalian yang mengaku sebagai nabi sebelum dirinya, kau menjawab tidak ada. Jika kau menjawab sebaliknya, aku akan berpikir bahwa dia mengikuti perkataan orang (orang yang mengaku dirinya sebagai nabi sebelum dia). Lalu aku bertanya kepada kepadamu apakah di antara leluhurmu ada yang menjadi raja. Kau menjawab tidak ada, apabila kau menjawab sebaliknya, aku akan berpikir bahwa ia sedang berusaha mengambil kembali kerajaan sebelumnya”.
Tertidur terlalu nyenyak, aku seekor semut sekarang terhimpit oleh sudut kertas daun lontar yang terlipat.
Maret 2019
*Penulis adalah lulusan SMA Nuris Jember, dan kini sedang menempuh studi sarjana di UNEJ, Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Indonesia. Pernah meraih juara cipta cerpen nasional, cipta puisi nasional serta menerbitkan buku antologi cerpen “Gandrung Melarung Mendung” tahun 2018.
[1] Syair Imam al-Syafi’i
[2] (QS. Alu-Imran: 64). HR. al- Bukhari [7].