Kewajiban Mengamalkan Ilmu dengan Ikhlas
ثُمَّ اعْمَلَنْ بِمَــــا عَلِمْتَ مُخْلِصَا وَلَوْ بِعُشْرِهِ وَلـٰكِنِ احْرِصَــا
Amalkanlah ilmu yang telah kau tahu
walau satu persen dari yang kau tahu
فَعَـــــــالِمٌ بِعِلْمِــــهِ لَمْ يَعْمَلِ عَذَّبَهُ اْلإِلـٰـــــهُ قَبْلَ الْجَاهِلِ
Orang alim tak mengamalkan ilmunya
sebelum orang yang bodoh siksaannya
سَعَـــادَةُ الدَّارَيْنِ فِى تَقْوَى اْلإلـٰ ــهِ وَهْيَ مِنْ جَهَلَةٍ لَنْ تَحْصُلاَ
Ingin beruntung dunia dan akhirat
harus takwa kalau bodoh mudah sesat
Syarah:
Tidak sedikit orang yang salah paham tentang apa yang dimaksud mengamalkan ilmu. Menurut opini umum, mengamalkan ilmu itu mengajarkan atau menyebarkannya. Bahkan ada pendapat yang lebih parah, yakni bahwa mengamalkan ilmu itu adalah menceramahkannya. Anggapan itu tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja mengamalkan itu lebih dari sekedar berpidato di mimbar, podium, atau mengajar di kelas belaka.
Sebenarnya, mengajar, membicarakan, dan menyampaikan ilmu, bagian kecil dari mengamalkan ilmu. Bukan tujuan utama, tetapi nomor terakhir. Sayyid Abdullah ibn Alawîy al-Haddâd, sebagaimana dikutip oleh Al-Habib Zain ibn Ibrâhîm ibn Sumaith, menegaskan:
مَعْنَى الْعَمَلِ بِالْعِلْمِ هُوَ أَنْ يَعْمَلَ بِمَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْهُ، وَيَتَعَلَّمَ مِنْهُ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ، وَيُعَلِّمَ مِمَّا أَمْكَنَهُ (المنهج السوي، ص. 427)
Maksud mengamalkan ilmu ialah memperaktikkannya (secara pribadi) sesuai kemampuan; mempelajarinya pun sekadar kemampuan; barulah mengajarkannya juga seluas kemungkinan yang ia bisa (al-Manhaj al-Sawîy, h. 427)
Jadi, yang paling utama dalam mengamalkan ilmu adalah mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Boleh saja kita meraih ilmu sebanyak yang kita bisa. Namun itu semua tidak akan ada manfaatnya jika tidak terwujud dalam perilaku sehari-hari. Sebagai contoh, jika kita sudah mengetahui bahwa isi gelas itu adalah racun, namun kita tetap meminum isi gelas itu; tentu yang terjadi kita akan celaka karena tidak mempraktikkan apa yang sudah kita ketahui. Untuk itulah, Mu’âdz ibn Jabal Ra berkata:
اِعْلَمُوْا مَا شِئْتُمْ أَنْ تَعْلَمُوْا فَلَنْ يَأْجُرَكُمُ اللهُ بِالْعِلْمِ حَتَّى تَعْمَلُوا… (رواه الدارمي، المنهج السوي، ص. 427)
Ketahuilah ilmu apa saja yang hendak engkau ketahui! Tapi Allah Swt tak akan memberimu pahala dengan ilmu itu hingga engkau mengamalkannya… (HR. Al-Darimi, al-Manhaj al-Sawîy, h. 427)
Penggubah Nazam ini menekankan kewajiban mengamalkan ilmu walau hanya dengan satu per sepuluh dari apa yang telah diketahui. Sebagaimana orang mengetahui berbagai macam salat sunah, dia mengamalkan walaupun hanya sebagian saja. Misalnya mengamalkan salat tahajud dan salat duha saja.
قَالَ حُذَيْفَةُ بنُ الْيَمَانِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: إِنَّكُمْ فِى زَمَانٍ مَنْ تَرَكَ مِنْكُمْ فِيْهِ عُشُرَ مَا يَعْلَمُ هَلَكَ، وَ سَيَأْتِى زَمَانٌ مَنْ عَمِلَ فِيْهِ بِعُشُرِ مَا يَعْلَمُ نَجَا (غاية البيان شرح زبد ابن رسلان، ص. 6)
Hudzaifah ibn al-Yamân Ra berkata, “Sungguh kalian saat ini berada dalam suatu zaman yang barang siapa di antara kalian meninggalkan satu per sepuluh dari ilmunya akan binasa. Namun akan datang suatu zaman yang barang siapa mengamalkan satu per sepuluh dari ilmunya akan selamat (Ghâyat al-Bayân Syarh Zubad Ibn Ruslân, h. 6)
(baca juga: Menyiram Air Bunga di Atas Kuburan)
Begitu juga orang yang punya ilmu, namun tidak mengamalkannya kelak di akhirat akan disiksa terlebih dahulu sebelum orang-orang yang tak berilmu disiksa.
Penjelasan di atas merupakan isyarat pada salah satu hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabrânîy dan Abû Na’îm berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قال: الزَّبَانِيَةُ أَسْرَعُ إِلَى فَسَقَةِ الْقُرَّآءِ مِنْ عَبَدَةِ اْلأَوْثَانِ. فَيَقُوْلُوْنَ يُبْدَأُ بِنَا قَبْلَ عَبَدَةِ اْلأَوْثَانِ؟ فَيُقَالُ لَهُمْ: لَيْسَ مَنْ يَعْلَمُ كَمَنْ لاَ يَعْلَمُ_رواه الطبرانى وأبو نعيم (غاية البيان شرح زبد ابن رسلان، ص. 6)
Diriwayatkan dari Anas ibn Mâlik Ra bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Malaikat Zabaniyah lebih cepat (memberikan siksa) kepada para orang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya dari pada para penyembah berhala. Orang yang berilmu itu lantas bertanya, “(Mengapa siksa) kami didahulukan sebelum para penyembah berhala itu?” Maka dikatakan kepada mereka, “Karena siksa atas perbuatan dosa orang berilmu itu tidak sama dengan siksa orang yang tidak berilmu” (yakni orang yang berilmu lebih berat siksanya) __diriwayatkan oleh ath-Thabrânîy dan Abû Na’îm (Ghâyat al-Bayân Syarh Zubad Ibn Ruslân, h. 6)
Perihal beratnya siksa orang yang tidak mengamalkan ilmunya, disampaikan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ. (رواه البخاري)
Pada hari kiamat akan dihadirkan seseorang yang kemudian dia dilempar ke dalam api neraka. Isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar–putar bagaikan keledai yang berputar-putar menarik mesin gilingnya. Maka penghuni neraka berkumpul mengelilinginya sembari bertanya: “Wahai Fulan, Apa yang terjadi denganmu? Bukankah engkau dahulu orang yang mengajak kami berbuat kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran. Orang itu menjawab, “Aku memang mengajak kalian pada kebaikan tetapi aku sendiri tidak melaksanakannya. Dan aku melarang kalian berbuat mungkar, Namun aku malah mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhâri)
Termasuk sesuatu yang prinsip di dalam mencari ilmu ialah keikhlasan. Yang dimaksud dengan ikhlas ialah:
اَلْإِخْلاَصُ الْعَمَلُ للهِ وَحْدَهُ
Ikhlas ialah beramal karena Allah semata (Al La’ali wa Al Durar, hal 5)
Mengamalkan ilmu akan sia-sia jika tidak dilakukan secara tulus, ikhlas hanya semata-mata karena Allah Swt. Sebab, ilmu, amal-ibadah, dan ikhlas, adalah satu paket. Tidak dapat dipisah-pisahkan. Jika dipaksa untuk dipisahkan, maka amal-ibadah akan pincang.
Itulah sebabnya, Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddâd mengatakan, seperti dikutip oleh Al-Habib Zain ibn Ibrahim ibn Sumaith berikut:
اِعْلَمْ أَنَّ الْعِبَادَةَ لاَ تَصِحُّ بِدُوْنِ الْعِلْمِ، وَالْعِلْمُ وَالْعِبَادَةُ لاَ يَنْفَعَانِ إِلاَّ مَعَ اْلإِخْلاَصِ، فَعَلَيْكَ بِهِ… (المنهج السوي، ص. 627)
Hendaklah engkau ketahui bahwa ibadah itu tidak sah tanpa (didasari dengan) ilmu; ilmu dan ibadah tersebut tidak ada gunanya jika tidak diiringi dengan keikhlasan. Maka dari itu, engkau harus ikhlas… (al-Manhaj al-Sawîy, h. 627)
Demikian pula kebahagiaan Dunia dan Akhirat tidak akan pernah dapat dicapai dengan tanpa ilmu, atau hanya puas dengan kebodohan. Penegasan ini mengingatkan kita pada pernyataan Imam Syafi’i Ra:
مَنْ اَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ اْلآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (المجموع شرح المهذب 1/ 20)
Barangsiapa menghendaki (kebahagiaan) Dunia, ia harus dengan ilmu; barangsiapa menghendaki (kebahagiaan) Akhirat, ia harus dengan ilmu. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz 1 H.20)
Dalam berkata dan beramal, posisi ilmu sangat penting karena berkata dan beramal tanpa ilmu mudah salah dan tersesat. Itulah sebabnya Imam Al Bukhari membuat bab tersendiri tentang pentingnya ilmu sebagai berikut:
بَابُ الْعِلْمِ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى{فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (محمد:19)}فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ )صحيح البخاري- ج 1 / ص 24)
Bab ilmu sebelum berkata dan beramal berdasarkan firman Allah Swt: Ketahuilah sesungguhnya tiada tuhan yang patut disembah selain Allah Swt, perhatikan Allah memulai dengan kata ilmu (Al Ilmu). (Shohih al Bukhari, Juz 1 hal 24)
(baca juga: Hujjah Aswaja: Azan setelah Mayit Diletakkan di Kuburan)
Dalam menjelaskan bab ilmu dalam kitab Al Bukhari tersebut, Ibnu Hajar Al Atsqolani mengutip pendapat Ibn Al Munir sebagai berikut:
قَالَ ابْنُ الْمُنِيرِ: أَرَادَ بِهِ أَنَّ الْعِلْمَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ، فَلاَ يُعْتَبَرَانِ إِلاَّ بِهِ، فَهُوَ مُتَقَدَّمٌ عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ مُصَحِّحٌ لِلنِّيَةِ الْمُصَحِّحَةِ لِلْعَمَلِ) فتح الباري -ج 1 / ص 193 (
Kata Ibn Al Munir, “Bab tersebut menjelaskan bahwa ilmu adalah syarat bagi sahnya ucapan dan perbuatan (ibadah), kedua-duanya tidak diperhitungkan kecuali berdasarkan ilmu karena ilmu itu adalah yang menuntun pada sahnya niat, yang menjadikan sahnya sebuah amal ibadah.” (Fath al-Bâri, Vol. 1, h. 193)[AF.Editor]
*Terjemahan Kitab Tarbiyatus Shibyan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad