Penulis :Abdullah Dardum, M.Th.I*
Ratusan tahun yang lalu, syaikh al-Zarnuji menceritakan bahwa kala itu beliau melihat banyak para penuntut ilmu (pelajar) memiliki semangat yang besar dalam belajar, akan tetapi mereka tidak mendapat faedah dan barakah dari ilmu yang mereka peroleh. Dalam pandangan beliau, hal itu terjadi karena mereka tidak memperhatikan etika yang harus dilakukan oleh pelajar. Karena itulah beliau menulis kitab yang diberi judul Ta’lim al-Muta’alim yang menguraikan tentang etika penuntut ilmu.
Kita tidak bisa membayangkan jika di zaman beliau saja sudah banyak orang yang mencari ilmu tapi tidak mendapatkan faedah dan keberkahan, lantas bagaimana dengan zaman kita sekarang ini? Zaman dimana banyak pelajar yang sudah tidak menghiraukan dan menghormati gurunya, apa yang disampaikan gurunya hanya menjadi angin lalu saja dan yang lebih parah lagi guru hanya menjadi teman diskusi bahkan teman curhat saja tanpa memperhatikan hak-hak yang harus diberikan kepadanya.
(Baca juga: amalan agar segera menikah)
Etika Penuntut Ilmu
Pada dasarnya menuntut ilmu bukan hanya sekedar mengumpulkan dan mengoleksi pengetahuan di otak saja. Karena jika demikian, maka harddisk PC yang bisa menyimpan ratusan bahkan jutaan Gigabyte data jauh lebih canggih dari kita semua yang hanya memiliki simpanan data (ilmu) sedikit saja. Yang paling utama adalah bagaimana ilmu yang kita miliki bisa barakah dan manfaat, untuk diri kita sendiri maupun orang lain.
Dan diantara kiat untuk meraih keberkahan dalam ilmu adalah menghormati guru. Dalam pandangan penulis, sekalipun ada banyak faktor yang dapat membuat ilmu itu manfaat dan barakah, namun faktor yang paling dominan adalah bagaimana sikap yang ditunjukkan seorang murid kepada gurunya. Mungkin itulah kiranya yang menyebabkan para ulama banyak mengarang kitab yang berkaitan dengan etika seorang pelajar atau murid, seperti Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji, Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan sebagainya. Demikian pula, Imam al-Ghazali dalam kitab monumentalnya –Ihya ‘Ulumuddin– juga menguraikan etika seorang murid kepada gurunya.
(Baca juga: orang berilmu yang berbahaya, kok bisa?)
Tentunya, jika etika tersebut dijaga dan dilakukan, insyaallah apa yang dicita-citakan oleh murid akan berhasil dengan baik, pelajaran akan mudah dimengerti, dan yang paling utama ilmu yang diperoleh menjadi barakah.
Diantara etika tersebut adalah:
أَنْ لاَ يَتَكَبَّرَ عَلَى الْعِلْمِ وَلاَ يَتَأَخَّرَ عَلَى الْمُعَلِّمِ.
“Seorang pelajar itu jangan sombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.” (Ihya Ulumuddin I, hal. 50).
Artinya seorang murid hendaknya mendengarkan dan memperhatikan dengan baik semua nasehat-nasehat gurunya lalu mengindahkannya dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai ada sifat sombong dalam hatinya hingga menyebabkan dirinya tidak begitu antusias dalam memperhatikan ilmu yang disampaikan gurunya tersebut. Selama apa yang diperintah oleh guru tidak bertentangan dengan syara’, maka murid wajib melaksanakan dan tidak menentangnya.
Al-Ghazali juga mengatakan:
فَلاَ يَنَالُ العِلْمَ إِلاَّ بِالتَّوَاضُعِ وَإِلْقَاالسَّمْعِ.
“Ilmu pengetahuan tidak akan diperoleh selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian”. (Ihya Ulumuddin I, hal. 50).
Seorang pelajar harus memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati), karena dengan sikap ini, ilmu itu akan melekat dalam hati sehingga ia menjadi manusia yang beradab atau bermoral. Sebagaimana dikatakan dalam Ta’lim al-Muta’allim:
ان توا ضع من خصال المتقى # و به التقي الى المعالى يرتقى.
“Sesungguhnya sikap tawadhu’ (rendah hati) adalah sebagian dari sifat-sifat orang yang takwa kepada Allah SWT. Dan dengan tawadhu’ akan semakin baik derajatnya menuju keluhuran.” (Syaih Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, hal. 14).
Seorang murid hendaknya mendegarkan dengan baik apa yang disampaikan gurunya, sekalipun keterangan itu sudah pernah didengarnya seribu kali, kalau perlu dia harus menampilkan sikap seakan-akan keterangan tersebut pertama kali didengarkan. Murid yang sopan dan rendah hati akan mudah mendapatkan ilmu dan mendapatkan manfaatnya. Sebaliknya murid yang sombong dan tidak sopan hanya akan menambah kesombongan dan memperburuk perilakunya.
Lebih jauh Imam Nawawi berkata:
يَنْبَغِي لِلْمُتَعَلِّمِ أَنْ يَتَوَاضَعَ لِمُعَلِّمِهِ وَيتَأَدَّبَ مَعَهُ وَإِنْ كَانَ أَصْغَرَ مِنْهُ سِنّاً وَأَقَلَّ شُهْرَةً وَنَسَباً وَصَلاَحاً, فَبِتَوَاضُعِهِ يُدْْرِكُ العِلْمَ.
Imam Nawawi berkata, “Seyogyanya bagi seorang pembelajar itu bersikap sopan dan santun kepada gurunya, walaupun sang guru itu lebih muda umurnya dan lebih rendah popularitas, nasab, dan kebaikannya. Karena hanya dengan sikap sopan tersebut seorang pembelajar akan mendapatkan ilmu.” (Al-Mahaj al-Sawi, hal. 217).
Sikap tawadhu’ ini juga ditunjukkan oleh sayyidina Ali dengan ungkapannya yang populer, “Aku adalah budak orang yang mengajarku walau hanya satu huruf, jika dia mau silahkan menjualku, atau memerdekakan aku, atau tetap menjadikan aku sebagai budaknya.” Apa yang diungkapkan sayyidina Ali ini tidak berlebihan kiranya jika melihat betapa berat perjuangan seorang guru yang tanpa mengenal lelah dalam mengajar murid-muridnya. Perjuangan itu sungguh tidak bisa dinilai dengan rupiah. Sebagaimana dikatakan dalam sya’ir:
“Tidak ada hak yang lebih besar kecuali haknya guru. Hal ini harus dijaga oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang mengajarmu satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam agama.”
Etika lain yang harus dilakukan murid adalah tidak berjalan di depan gurunya, tidak duduk di tempat duduknya, tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak menanyakan sesuatu ketika dia lelah, berdiri ketika dia lewat di hadapannya, menjaga waktu dan tidak mengetuk pintu rumah atau kamarnya, tetapi menunggu sampai ia keluar. Begitu pula seorang murid harus menghormati keturunannya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya.
Mungkin bagi sebagian orang, hal-hal tersebut termasuk hal sepele yang seakan tidak ada hubungannya dengan keberhasilan belajar. Tapi faktanya disadari atau tidak ia memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menggapai keberkahan ilmu.
Teladan dari Para Ulama Salaf
Para ulama salaf sangat menghormati dan menghargai guru-guru mereka. Itulah kenapa mereka menjadi ulama besar yang melahirkan karya-karya besar dan dikenang sepanjang sejarah. Semua itu berkat ke-ta’dziman luar biasa yang mereka tampilkan kepada guru-guru mereka.
Dalam kitab-kitab sejarah dan biografi ulama, kita akan menemukan bagaimana sikap yang mereka tunjukkan kepada guru-guru mereka. Semua itu mereka lakukan untuk mencari keberkahan dalam ilmu.
Syaikh al-Zarnuji menceritakan dalam kitabnya (Ta’lim al-Muta’allim), bahwa salah seorang pembesar negeri Bukhara duduk dalam suatu mejelis pengajian, di tengah-tengah pengajian, dia sering berdiri. Lalu oleh teman-temannya ditanya mengapa berbuat demikian. Dia menjawab, sungguh putra guruku sedang bermain di jalan, oleh karena itu jika aku melihatnya, aku berdiri untuk menghormatinya.
Hakim Agung Fahruddin al-Rasabandi seorang pemimpin para imam di Marwa sangat dihormati oleh sultan (raja) berkata, “Aku mendapat kedudukan ini karena aku menghormati guruku, Abi Yazid Addabusi. Aku selalu melayani beliau, memasak makanannya, dan aku tak pernah ikut makan bersamanya.”
Dikisahkan pula bahwa khalifah Harun Ar-Rasyid mengirim putranya kepada Imam Ashmu’i supaya diajari ilmu dan akhlak yang terpuji. Kemudian pada suatu hari Harun Ar-Rasyid melihat Imam Ashmu’i sedang wudhu’ membasuh kakinya dengan air yang dituangkan oleh putra khalifah. Melihat hal itu, Harun Ar-Rasyid berkata, “Aku kirim anakku kepadamu supaya kamu ajari ilmu dan budi pekerti, mengapa tidak kamu perintahkan saja dia untuk menuangkan air dengan tangan kiri supaya yang kanan bisa membasuh kakimu?”
Dalam Manhaj al-Sawi diceritakan:
وكان الامام الشعراني رحمه الله إِذَا خَرَجَ لِلدَّرْسِ لِيَقْرَأَ عَلَى شَيْخِهِ يَتَصَدَّقُ عَنْهُ فِي الطَّرِيْقِ بِمَا تَيَسَّرَ, وَيَقُوْلُ: اللهم اسْتُرْ عَنِّي عَيْبََ مُعَلِّمِيْ حَتَّى لاَ تَقَعَ عَيْنِيْ لَهُ عَلَى نَقِيْصَةٍ وَلَا يُبَلِّغُنِي ذَلِكَ عَنْهُ أَحَدٌ.
Imam Sya’rani ketika akan berangkat belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah semampunya di jalan tempat dia berlalu, sembari berdo’a: “Ya Allah, jangan perlihatkan kepadaku kelemahan guruku agar mataku tidak melihat pada kekurangannya dan jangan sampai ada seorang pun yang memberitahu tentang cela guruku tersebut.” (Al-Manhaj al-Sawi, hal. 220).
Doa yang dipanjatkan Imam Sya’rani tersebut menunjukkan betapa beliau sangat tawadhu’ kepada gurunya, sehingga beliau memohon kepada Allah agar kelemahan gurunya tidak ditamppakkan kepadanya sehingga menimbulkan keengganan untuk menimba ilmu kepada gurunya tersebut atau menghilangkan ke-tawadhu’an-nya kepada sang guru.
Berbeda dengan cara yang dilakukan Imam Sya’rani, Imam Ahmad memberi teladan kepada kita dalam berbakti kepada guru dengan cara mendoakannya dalam shalatnya. Imam Ahmad berkata:
إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ.
Saya mendoakan Imam Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, II/254).
Itulah diantara sikap yang diajarkan oleh para ulama salaf dalam interaksi dengan guru mereka. Betapa mereka sangat menghormati para guru, hingga pada akhirnya mengantarkan mereka meraih ilmu yang bermanfaat dan barakah. Bahkan dari segi keilmuan pun juga tak kalah dengan guru-guru mereka yang juga sama-sama melahirkan karya-karya fenomenal. Semisal Imam Syafi’I yang berhasil menulis kitab sebagaimana gurunya, Imam Malik. Begitu pula Imam Ahmad yang juga banyak mengarang kitab sebagaimana gurunya, Imam Syafi’i dan lain-lain. Semua itu mereka peroleh tidak hanya dengan usaha yang gigih, tapi disertai pula dengan doa dan sikap ta’dzim yang luar biasa kepada guru-guru mereka. Semoga kita bisa senantiasa meneladani sikap dan perilaku ulama dalam berbakti dan menghormati guru sehingga ilmu yang kita peroleh bisa bermanfaat dan barakah. Amin.
Sumber gambar: nu.or.id
*Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin, Adab & Humaniora IAIN Jember/Wakil Sekretaris Aswaja Center PCNU Jember