Judul buku: Tuhan Tidak Perlu Dibela
Penulis : Abdurrahman Wahid, Muh. Shaleh (editor)
Gendre :Islam, Politik, Non-fiksi
Bahasa: Indonesia
Penerbit : IRCiSoD atau DivaPress (2018), LKis(1999)
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun : 2018
Tebal : 316 halaman
ISBN : 978-602-7696-51-8
Peresensi: Tazyinatul*
Editor: Achmad Syuja’i
Ulasan Buku dan secarik pesan tersiratnya
Abdurrahman Wahid beliau lahir pada tanggal 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur. Lebih akrab disapa Gus Dur. Kali ini saya akan mengupas sekelumit ide milik Gus Dur yang termuat di dalam buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela.”
Jika kita melihat ke belakang sepak terjang pendidikan Gus Dur tidak heran dapat menjadikan sosok Gus Dur yang kritis dalam memandang setiap persoalan yang terjadi disekitarnya. Ditambah lagi latar belang Gus Dur yang notabenya adalah anak dari K.H Hasyim Asyari yang merupakan tokoh pendiri Nahdatul Ulama.
(Baca juga: buku tentang perjuangan mencari sosok ibu)
Kiprah Gus Dur sangatlah banyak tidak hanya dibidang keagamaan saja, di bidang sosialpun Gus Dur menjadi sosok yang sangat berpengaruh bagi masyarakat sekitar. Contohnya, Beliau pernah aktif di Lembaga, Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan sosial (LP3ES). Kemudian aktif sebagai jurnalis pada Majalah Tempo dan Harian Kompas dengan alasan Gus Dur berpandangan bahwa kehidupan masyarakat sangatlah memprihatinkan dan membutuhkan perhatian khusus.
Sepak terjang pendidikan Gus Dur dimulai sejak di Jakarta untuk pendidikan dasar, setelah itu memasuki pendidikan menengah pertama beliau pindah ke Yogyakarta. Baru setelah tamat SMP ia nyantri di Magelang yakni pesantren Tegalrejo. Sesudah itu pada tahun 1959 ia kembali ke Jombang dan kembali nyantri di Pesantren Tambakbekas. Di tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari kemenang untuk menempuh study di Universitas Al-Ahzar, Mesir. Tidak sampai di situ, setelah itu beliau pindah ke Universitas Baghdad pada tahun 1970.
(Baca juga: resensi novel surat kecil untuk tuhan karya agnes davonar)
Ada salah satu kutipan di dalam buku yang sangat menarik menurut saya dan merupakan inti dari keseluruhan isi buku. “Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau sudah kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-nya. Yang ditakuti berubah adalah presepsi manusia terhadap hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya”
Al Huwajwiri – Dikutip dari buku Tuhan Tidak Perlu Dibela
Sebagai seorang kiai Gus Dur memiliki keterampilan yang tidak diragukan dalam membuat artikel dan mengkritisi perihal menjalankan Islam sesuai Al Quran, terutama di Indonesia. Buku Tuhan Tidak Perlu Dibela, dimulai dari bagian pertama, sudah berisikan seputar pandangan beliau seputar Islam. Polemik-polemik yang terjadi pada masa itu dikupas dengan detail sesuai dengan pandangan Gus Dur tentang bagaimana Islam itu harus berkemajuan, moderat dan memperjuangkan kehidupan bermasyarakat yang damai dan nyaman. Di sini saya tidak dapat menceritakan seluruh bagiannya, namun saya hanya akan menarik benang merah dari beberapa topic yang dirasa menarik untuk disuguhkan kepada para pembaca dan dapat dijadikan refleksi masa kini dalam menjalankan islam yang sepatutnya.
Topik yang pertama yaitu dalam Fatwa Natal. Menarik untuk dikupas bersama bahwa fatwa natal tidak akan pernah habis diperbincangkan atau dipertentangkan oleh beberapa kalangan sampai kapan pun. Bahkan sampai sekarang, masih banyak yang membahasnya ketika menjelang perayaan natal tiba. Setiap penjelang natal tiba isu ini kembali diangkat ke permukaan, bahkan mungkin ada yang sampai menegangkan urat kepala hanya gara-gara fatwa natal ini, menarik bukan?
Dalam salah satu artikel yang sempat Gus Dur tulis, di sana dituliskan bahwa MUI dulu pernah mengeluarkan mengenai fatwa natal yaitu umat Islam dilarang untuk menghadiri perayaan agama lain. Fatwa ini sempat dipertentangkan sampai-sampai Buya Hamka meletakkan jabatannya sebagai Ketua umum MUI. Gus Dur mengkritik bahwa MUI harus menemukan pangkal dari persoalan ini agar dapat terselesaikan dan tidak lagi menimbulkan perdebatan di setiap natal akan menjelang.
Yang dapat saya tangkap dari pemaparan Gus Dur dalam buku itu yakni mengapa MUI tidak menghadapi persoalan mendasar mengenai bagaimana pandangan agama dalam penanganan kemiskinan dalam masyarakat dan bagaimana keluar dari kebodohan akibat kurangnya pemerataan pendidikan di Negara ini dsb. Jawabannya harus konkret sesuai dengan fakta lapangan yang ada bukan menyitir beberapa hadis saja.
Terlepas dari beberapa persoalan yang dibahas oleh Gus Dur dalam bukunya tersebut, memang persoalannya tidak akan selesai di situ. Setiap zaman mempunyai tantangan dan permasalahannya sendiri. Akan tetapi, sebagai hikmah dan pembelajaran, pemikiran Gus Dur dalam kolom-kolom atau artikelnya tentu sangat berharga untuk diingat dan ditelaah kembali. Tentang bagaimana kita sebagai umat Islam yang terus mendewasakan diri dengan tidak mengutamakan perilaku merusak untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, melainkan lebih menggunakan cara yang terhormat dan lagi cerdas.
Sebagai anak zaman yang memiliki keterbatasan dalam mengupas tuntas segala persoalan yang mungkin dipikirkan seorang Gus Dur dalam bukunya, saya lebih memilih mengakhiri ulasan ini dengan satu kalimat yaitu, terima kasih Gus Dur atas perjuangan dan pemikiranmu terhadap bangsa ini. (taz/jai)
Penulis merupakan siswa MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik