Keempat: Menghormati Segala yang Berhubungan dengan Guru
وَوَقِّرَنْ مَـــا يَتَعَلَّقُ بِـــــــهِ مِنْ آلِـــــهِ وَكِيْلِـــــهِ أَوْ مِلْكِه
Hormati yang terkait dengan gurunya
familinya, wakilnya, lagi miliknya
فَكَيْفَ لاَ وَقَدْ هَدٰاكَ عَـــمَلاَ يُنْجِيْكَ مِـنْ أَهْوَالِ دَارَيْنِ اعْقِلاَ
Sebab guru mengajar yang menguntungkan
dunia akhirat sangat perhatian
Syarah:
Menghormati guru berarti menghormati segala yang berhubungan dengan guru. Mulai dari kerabat, teman-teman, asisten, dan utamanya anak-anaknya, hingga barang-barang milik guru tersebut. Karena bagaimana mungkin kita menghormati seorang guru yang telah mengajarkan keselamatan Dunia dan Akhirat, sementara kita nistakan kerabat, anak, dan asistennya?! Sangat tidak masuk akal.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam az-Zarnuji didalam kitab ta’lim al-mutaallim hal 44:
وَمِنْ تَوْقِيْرِهِ تَوْقِيْرُ أَوْلَادِهِ, وَمَنْ يَتَعَلَّقُ بِهِ.
“Suatu bentuk memuliakan seorang guru ialah memuliakan anak-anaknya, serta orang-orang yang berhubungan dengan guru”.
Menghormati orang yang masih ada persambungan dengan guru, baik sebagai keluarga atau asisten, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan koridor syariat sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki sebagai berikut:
وَلَدُ الشَّيْخِ شَيْخٌ فِيْ الْإِحْتِرَامِ وَالتَّبْجِيْلِ لَافِيْ الْعِلْمِ وَالْمَشِيْخَةِ، هَذَا إِذَا كَانَ عَلَى مِنْوَالِهِ وَمَنْهَجِهِ، وَإِلَّا فَلاَ.
”Putra seorang guru tetap dianggap guru dalam hal penghormatan, tetapi bukan dalam urusan ilmu atau ke-guru-an, itu pun jika ia mengikuti jejak ayahandanya, akan tetapi jika tidak, maka ia tidak pantas untuk dihormati”. (Istikhraj al-Laali wa al-Almas. hal 55)
(baca juga: Acara Muslimatan, Bid’ahkah?)
Penghormatan kepada guru itu ada rambu-rambunya yaitu selama guru atau yang berkaitan dengannya tidak menyimpang dari akidah dan syariat yang sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Apabila sudah menyimpang maka tidak ada kewajiban untuk menghormatinya apalagi menaatinya. Az Zarnuji berkata:
فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَطْلُبُ رِضَاهُ، وَيَجْتَنِبُ سُخْطَهُ، وَيَمْتَثِلُ أَمْرَهُ فِيْ غَيْرِ مَعْصِيَةِ اللهِ تَعَالَى، فَإِنَّهُ لَاطاَعَةَ لِلْمَخْلُوْقِ فِيْ مَعْصِيَةِ الْـخَالِقِ.
Inti (dari sikap hormat kepada guru) ialah bahwa (murid) harus mencari rida gurunya, menghindari murkanya, dan melaksanakan perintahnya selain maksiat kepada Allah Swt karena sesungguhnya tidak boleh taat kepada makhluk dalam urusan maksiat kepada Allah Swt… (az-Zarnûjîy, Ta’lîm al-Muta’allim…, h. 16)[AF.Editor]
*terjemahan Kitab Tarbiyatus Shibyan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad, Syaikhul Ma’had Pesantren Nuris Jember