Penulis: Sarwatul Izza Mufida*
Gema malam yang berselimut dingin, di salah satu ruang di rumah sakit Citra Husada terdapat calon ibu yang malang terbaring di ranjang. Dengan perasaan khawatir dan penuh kegelisahan ia terus berjuang atas penantian panjangnya. Tanpa lelakinya, sang ibu membayangkan buah hati yang mungil hadir di pelukannya.
Di temaram lampion ruangan operasi si ibu hanya bisa berdoa agar bayi itu terlahir di dunia ini meskipun nyawa taruhannya. Di sudut mata bergulir air mata, menetas tertahan, menggenang, perlahan jatuh di pelupuk pipinya. Tampak dokter dan beberap asistennya bersiap, mata ibu itu mulai remang, cahaya lampion itu memudar, perlahan abu-abu, dan gelap. Selang beberapa jam kemudian, operasi berjalan dengan lancar dan terlahirlah cakrawala semesta yang akan menjadi kebanggaan sang ibu di masa depan.
Sang ibu dipindahkan ke kamar rawat. Tak berapa lama kemudian si ibu pun sadar dan suster memberikan bayi tersebut untuk diberi asi terlebih dahulu. Bercururlah air mata sang ibu melihat bayi mungil yang baru saja keluar dari rahimnya. Namun, sang ayah tak nampak di sudut mana pun. Tak ada azan dan iqomah berkumandang untuk telinga kanan dan kiri buah hati itu. Karena lahir dalam kondisi lemah, bayi itu harus berpisah lagi dengan ibunya untuk dihangatkan di ruang observatorium.
Waktu berlalu begitu cepat. Kondisi si ibu dinyatakan semakin membaik. Sementara bayinya juga dinyatakan sehat. Si ibu dan keluarganya pun membereskan pakaiannya. Namun, tak berapa lama kemudian suster datang dengan memberi kabar buruk kepada si ibu.
Suster mengabarkan bahwa bayi si ibu telah hilang. Seluruh karyawan rumah sakit ikut membantu mencari bayi tersebut sekitar rumah sakit dan hasilnya tetap nihil. Pihak rumah sakit pun segera melaporkan ke polisi dan meminta maaf kepada keluarga bayi terutama sang ibu tersebut.
Si ibu pun tidak terima dan bersikeras untuk mencarinya sendiri, tetapi kakaknya pun menghadang untuk mencarinya karena pihak polisi dan rumah sakit sudah mencarinya.
“Kita serahkan kepada pihak berwajib untuk mencarinya.” Katanya.
***
Waktu berselang dengan cepat, tak terasa 3 tahun berlalu semenjak kehilangan bayinya, Rini masih belum bisa menerima kenyataan. Si Rini berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan kepalang lambat laun ekonomi Rini pun semakin jatuh tak karuan. Tak ada yang bisa dikerjakan oleh Rini di desa. Sawah-sawah banyak yang tidak ditanami dengan alasan harga hasil panen yang tak memuaskan. Akhirnya sawah-sawah itu perlahan berubah menjadi area sengon, membentuk hutan-hutan kecil di desa yang terletak di lereng bukit itu.
Namun, terdengar kabar bahwa kakaknya sudah sukses di kota, akhirnya Rini memberanikan diri untuk meminta pekerjaan di sana. Katanya di kota pekerjaan sangat banyak. Rini pun berangkat dengan hati yang masih tertahan di desanya. Dan anaknya. Entahlah. Tentu saja Rini masih mengharapkannya. Tetapi apa daya, perjuangan hidup harus dilanjutkan. Meski pedih sendiri, tak ada pandangan pasti. Rini harus terus berjalan menggapai asa demi asa kehidupannya.
(baca juga: Merindu pada Seekor Kupu-Kupu)
Setiba di kota, Rini melamar pekerjaan di mana-mana. Tetapi tidak ada yang mau menerimanya kerja. Sampai pada akhirnya Rini bertemu sahabat karibnya dan menceritakan semua yang dialaminya selama ini .
“Rini. Apa kabar Kamu sekarang?”
“Baik, An. Tetapi aku lagi butuh kerjaan sekarang.”
“Emang suami Kamu ke mana?”
“Aku sudah lama tidak tinggal dengan suamiku, An.”
“Maaf ya, Rin. Kamu jangan bersedih karena aku punya kabar baik buat kamu Rin.”
“Kabar baik apa?”
“Di perusahaan tempatku kerja sedang mencari baby sitter. Tapi di luar kota, gimana kamu mau gak kerja di situ?”
“Iya aku mau, An.”
“Oke. Ini aku kasih nomor teleponku. Besok aku antar Kamu ke sana. Kebetulan aku sedang cuti.”
Rini pun tiba di rumah dan menyiapkan persyaratan yang akan dibawa keesokannya. Rini pun bergegas bangun pagi dengan penuh semangat tak lupa juga sebelum berangkat Rini sarapan terlebih dahulu agar badannya tetap segar. Setelah itu Rini menuju tempat janjian untuk bertemu dengan Dian, sahabatnya.
Beberapa menit kemudian Rini sudah sampai tempat yang dijanjikan dan bertemu Dian sahabatnya dan langsung menuju kantor agency di mana Dian bekerja. Setelah sampai di sana Rini langsung menuju ke ruangan HRD dan menunjukkan persyaratan yang telah disiapkan. Rini langsung diwawancarai oleh Kepala Bagian Sumber Daya Manusia kantor agency tersebut. Setelah itu Rini menunggu hasilnya di luar.
Selang beberapa menit pun telah berlalu dan kepala HRD pun memberitahukan hasilnya bahwa si Rini diterima di kantor agency sebagai baby sitter. Mulai besok pagi Rini langsung bisa bekerja. Karena belum hafal jalan menuju kantor sehingga perlu diantar oleh Dian.
Setelah sampai di sebuah rumah yang besar megah menawan itu Rini dan Dian tidak lupa mengucapkan salam. Mereka dipersilakan untuk masuk dan menunggu di ruang tamu. Tak berapa lama tuan rumah pun turun menyambut tamunya. Si tuan rumah pun memperkenalkan namanya dan keluarganya. Calon majikan itu memberikan peraturan yang wajib dipatuhi oleh semua orang yang bekerja di situ.
Di pagi hari yang cerah Rini pun segera melaksanakan kewajibannya yaitu membangunkan Sinta yang masih terlelap dan memandikannya. Tak lupa juga Rini membuatkan bubur untuk Risa. Setelah melakukan semua pekerjaan rumahnya, Rini dan Sinta pun bermain bersama di taman belakang. Sinta langsung akrab ke baby sitter barunya itu. Risa mengajak Rini ke sebuah toko untuk membeli ice cream di dekat rumahnya dan Rini pun membelikan ice cream kesukaan Sinta. Tak lama kemudian Risa pun merasa ngantuk dan kecapekan, oleh karena itu Rini membawa Risa untuk tidur dikamarnya dan tak lupa pula Rini pun membacakan sebuah dongeng putrid tidur untuk Risa.
(baca juga: Pesan Cinta dari Hotel Yamato)
Ketika Risa sedang tidur Rini pun membereskan semua ruangan termasuk ruangan Bu Dina tak sengaja Rini menemukan sebuah foto yang dibelakangnya tedapat sebuah alamat di meja Bu Dina. Air mata pun menetes tiba-tiba ketika melihat foto tersebut dan dibelakangnya terdapat sebuah alamat dimana alamat itu pernah ia kenal. Rini pun langsung menghapus air matanya dan kembali untuk membersihkan ruangan tersebut.
Malam hari pun telah tiba, Rini pun memberanikan diri untuk bertanya dan berbicara empat mata dengan Bu Dina tentang foto yang telah ditemukan agar perasaannya pun menjadi tenang .
“Permisi, Bu boleh saya minta waktunya sebentar untuk menanyakan beberapa hal yang perlu saya ketahui.”
“Memang apa yang ingin Kamu tanyakan kepada saya?”
“Ibu tau tentang foto ini.”
“Kamu dapat dari mana foto ini Rin ?“
“Maaf sebelumnya Bu, tidak sengaja saya melihat foto ini ketika saya sedang bersih-bersih diruangannya anda Bu.”
“O, itu foto Sinta ketika Risa masih bayi emang kenapa sebelumnya Rin ?”
“Maaf sebelumnya Bu, itu persis foto anak saya ketika masih bayi jadi saya teringat kembali ketika melihat foto anak ibu.“
“Emang kemana anak Kamu sekarang Rin?”
“Tiga tahun lalu anak saya hilang di rumah sakit yang alamatnya sama dengan yang ada di foto anak ibu itu.“
“Besok aja kita bahas lagi, sekarang saya mau istirahat dulu.”
Mentari telah terbit begitu cepat dan Rini pun sudah mencari teka-teki yang ia hadapi untuk saat ini. Diam-diam Rini masuk kembali ke ruang kerja Bu Dina ketika Bu Dina sedang tidur dan mencari bukti bahwa sanya Risa ialah anak kandungnya. Beberapa menit kemudian Rini menemukan sebuah kertas yang berisi perjanjian jual beli anak tepat sehari sesudah hilangnya bayi Rini dirumah sakit.
Ketika Bu Dina sedang duduk sendirian. Rini pun segera menghampirinya dan memberikan sebuah bukti yang perlu dijelaskan ke Rini.
“Bu, saya ingin menanyakan dimana dulu Anda beli anak ?”
“Kenapa Kamu nanya kayak gitu?”
“Saya menemukan ini di laci meja kerja ibu dimana ibu membeli bayi itu tepat sehari setelah anak saya hilang Bu.”
“Saya tidak tahu maksud Kamu apa memberikan kertas ini kepada saya.”
“Saya tau bahwa Risa itu bukan darah daging ibu, dan ibu membeli Risa ketika Risa masih kecil benarkan Bu.”
Tak sengaja tangan lembut itu menampar pipi Rini begitu saja.
“Jangan asal ngomong Kamu itu ya. Risa itu anak saya, saya punya dokumen tentang kelahiran dan dimana Risa dilahirkan. Jadi tolong jaga ucapanmu itu.”
“Emang saya benar kok bu bahwa Risa itu bukan anak kandung ibu, buktinya pun sudah jelas apa yang ibu lihat ini.”
“Silahkan Kamu angkat kaki dari sini, mulai hari ini kamu saya pecat .“
“Baik Bu, dengan senang hati saya angkat kaki dari rumah ini. Tapi jika ada apa-apa dengan Risa jangan harap saya mau bantu ibu “
***
Beberapa bulan kemudian kesehatan Risa tidak membaik, Risa mengalami penyakit kanker darah dan membutuhkan darah yang sama dengan Risa tetapi kedua ortunya mempunyai golongan darah yang berbeda. Bu Dina pun ingat apa yang diucapkan Rini bahwa Risa ialah anak kandungnya, dan Bu Dina pun mencari Rini di kampung halamannya demi menyelamatkan Risa anak angkatnya itu.
Setelah sampai di kampung halaman Rini. Bu Dina memohon mohon kepada Rini agar Rini ikut ke kota untuk mendonorkan golongan darahnya yang cocok dengan Risa, tetapi Rini tetap menolak permintaan Bu Dina sebab dia sakit hati dengan ucapannya dulu. Bu Dina pun meminta maaf dan bersujud di kaki Rini. Beberapa lama kemudian Rini pun setuju demi menyelamatkan anak kandungnya itu. Mereka pun menuju rumah sakit dan mendonorkan darah untuk Risa agar kembali pulih seperti dulu lagi.[]
*penulis adalah lulusan MA Unggulan Nuris, tahun 2021. Kini sedang menempuh pendidikan sarjana di Ma’had Aly Nuris Jember