Penulis: Abd. Halim, W.H.*
Tadarus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rentetan kegiatan ubudiyah ummat Islam di bulan suci Ramadhan. Selain menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa di siang hari, seperti makan, minum, berhubungan suami istri, dan lainnya, seorang muslim juga menjalankan ibadah salat Tarawih, i’tikaf di masjid dan Tadarus di musalla dan masjid, bahkan juga di rumah-rumah.
Secara bahasa, kata Tadarus berasal dari bahasa Arab ٌتَدَارُس (tadârusun), yang dalam ilmu tashrif (ilmu yang membahas tentang perubahan kata dari satu bentuk ke bentuk yang lain karena ada maksud yang dituju, seperti perubahan kata kerja masa lampau, sekarang dan masa akan datang. Atau perubahan dari kata kerja pada kata benda, dan lainnya) adalah bentuk masdar (kata yang ada pada urutan ke tiga tashrif) yang mengikuti wazan ُتَفَاعَلَ – يَتَفَاعَل . Kata ٌتَدَارُس sendiri berasal dari akar kata ٌدَرْس yang memiliki arti: pelajaran/belajar.
(Baca juga: tadarus 1: surat al-fatihah)
Jadi, ketika lafaz tersebut dirubah pada bab ْتَفَاعُل , maka salah satu fungsinya adalah lil musyarokah, sehingga akan memiliki arti saling belajar/saling mempelajari. Dengan kata lain, jika ini dihubungkan dengan al-Qur’an (Tadarus al-Qur’an), maka proses tadarus tersebut harus dilakukan oleh minimal 2 (dua) orang.
Kegiatan Tadarus sebenarnya telah ada sejak masa NabiNabi Saw. Nabi telah menyelenggarakan Tadarus bersama Malaikat Jibril sekali tiap tahunnya. Tadarus tersebut bertujuan untuk mengoreksi bacaan al-Qur’an yang salah, untuk kemudian dicontohkan bacaan yang benar, sehingga bisa sesuai dengan kaidah ilmu Tajwid. Karena al-Qur’an diturunkan dengan ilmu Tajwidnya (لِأَنَّهُ بِهِ الْإِلهُ أَنْزَلَا). Siapa yang membaca al-Qur’an tanpa bertajwid, maka is berdosa (ُمَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرْءَانَ ءَاثِم). Berbeda dengan membaca teks Arab yang selain al-Qur’an.
(Baca juga: pengen tau buka puasa atau salat maghrib dulu ya)
Perbedaan bacaan antara satu sama lain dalam satu majlis bisa saja terjadi. Banyak kemungkinan penyebabnya, antara lain: beda guru ngaji yang menyebabkan berbedanya proses talaqqinya, beda cara belajarnya, atau bisa jadi lalai dalam membaca. Dari sini lah fungsi Tadarus memjadi penting. Jadi, tidak serta-merta yang diperoleh “sekedar” banyaknya jumlah ayat atau juz yang dibaca setiap harinya sebagaimana dijumpai di sebagian musalla dan masjid dewasa ini, tapi lebih dari itu: proses klarifikasi dan tashih dari anggota Tadarus yang paling paham teori dan praktik membaca al-Qur’an. Ketimbang tidak tadarus sama sekali.
Lalu, bagaimana kalau banyak salahnya dan tidak ada yang bisa mengklarifikasi dan mencontohkan bacaan yang benar? Niatkan belajar dan tidak usah menggunakan pengeras suara toa.
Penulis merupakan Khâdim di program Tahfizh Nuris Jember