Penulis: M. Robith Dinillah*
Sya’ban akan berlalu cepat, cahaya Ramadan sedikit demi sedikit mulai terlihat, tak terasa kesempatan menunaikan puasa akan kembali didapat. Puasa bukan suatu ibadah yang baru. Puasa juga telah menjadi ibadahnya umat-umat terdahulu, jauh sebelum Islam datang. Bahkan menurut Imam Mujahid semua umat terdahulu juga disyariatkan atau diwajibkan berpuasa di bulan Ramadan. Imam Qurthubi mengatakan bahwa Nabi yang pertama kali berpuasa di bulan Ramadan adalah Nabi Nuh dan kaumnya, yakni pasca-peristiwa dahsyat banjir bandang terjadi.
Ayat al-Qur’an tentang kewajiban puasa sudah pasti kita tahu, bahkan sebagian mungkin hafal tanpa disadari karena seringnya mendengar. Akan tetapi kita tidak pernah sejenak memperhatikan tentang ayat tersebut. “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa (di bulan Ramadhan) sebagaimana telah kami wajibkan hal tersebut pada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. Dalam ayat itu Allah Swt memerintahkan orang mukmin untuk berpuasa, selain itu menjelaskan bahwa umat terdahulu juga berpuasa agar menjadi motivasi terhadap orang-orang mukmin yang akan menunaikan puasa.
Puasa merupakan ibadah yang berat dilakukan. Terlebih untuk kita yang kadar keimanan masih sangat minimalis, naik-turun bahkan lebih sering turun. Puasa berarti menahan. Bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Puasa yang sempurna mengharuskan seseorang menahan syahwat dari perkara haram, mengalahkan hawa nafsu dari bertindak sembarangan dan mengontrol diri untuk menghindari suatu perkara yang dapat menghilangkan ruh Ramadan.
(baca juga: Niat Puasa Ramadan, antara Romadlona dan Romadloni, Manakah yang Benar?)
Hal itu yang menjadikan puasa berat dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam pensyariatan puasa Allah Swt juga memberitahu bahwa puasa adalah ibadah yang juga telah dilakukan oleh umat terdahulu. Agar berpuasa lebih terasa mudah. Seakan-akan Allah berkata pada hambanya “Puasa ini tidak hanya diwajibkan kepada kalian, dulu sebelum kalian ada manusia telah aku wajibkan berpuasa. Mereka bisa, masa kalian tidak bisa ?”.
Itu merupakan bentuk dorongan semangat al-Qur’an terhadap orang-orang yang akan menunaikan ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah Swt ini. Sama halnya anak kecil yang akan dikhitan ia merasa ketakutan, biasanya orang tua akan mendorongnya dengan hal seperti itu “itu kakakmu telah dikhitan, kakak berani kok, adik juga harus berani, adik pasti bisa melewatinya”. Sejak dulu al-Qur’an telah mencontohkannya. Sungguh pemilihan kalimat yang tepat dan tak sembarangan.
Dari sepotong ayat ini kita menjadi tahu dan paham sifat Allah Al-Alim (yang Maha Mengetahui). Allah Swt tahu bagaimana cara memberikan syariat hukum dan tahu bagaimana caranya agar manusia lebih mudah menerima syariat itu. Kedua kita juga bisa merasakan sifat Al-Rahman-Nya (yang Maha Menyayangi). Puasa yang digambarkan Nabi Muhammad lebih berat dari perang badar, dalam pensyariatannya Allah Swt tidak hanya sekadar memerintahkan dan menuntut manusia melakukannya, akan tetapi Allah juga memberikan motivasi, sebuah stimulus yang menjadikan puasa lebih mudah dikerjakan. Subhanallah
Pada akhirya, jika puasa benar-benar telah dilakukan dengan baik dan benar maka insyaa Allah akan sampai pada tujuan akhirnya, yakni ketakwaan yang sempurna. Seperti kalimat akhir pada ayat tersebut “supaya kalian semua bertaqwa (pada Allah)”. Sekian. Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban ya Syahra Al-Quran.[]
*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2017, saat ini sedang melanjutkan studi sarjana Sastra Arab di UIN Khas Jember