Penulis: Zairina Risfan*
Bernama KH. Abdullah Sajjad, tak lain adalah salah satu pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, Madura, Jawa Timur. Seseorang yang akrab dipanggil dengan nama Kiai Sajjad ini adalah tokoh yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
KH. Abdullah Sajjad lahir pada sekitar tahun 1890 M di Guluk-Guluk. Secara genealogis, beliau lahir dari perpaduan darah Kudus dan Sumenep. Ayahnya KH. Mohammad Syarqawi merupakan ulama pendatang asal Kudus, Jawa Tengah. Kiai Syarqawi ini juga tercatat sebagai pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. Sedangkan ibunya Nyai Mariyah adalah putri Kiai Idris, tokoh agama asal Desa Prenduan kecamatan Pragaan. Nyai Mariyah ini merupakan saudara kandung Kiai Khothib, ayah KH.Ahmad Jauhari, pendiri Pondok Pesantren Prenduan.
Selain menjadi seorang pengasuh Kiai Sajjad juga berhasil menduduki kursi kepala Desa Guluk-Guluk setelah bersedia masuk bursa percalonan. Jabatan ini didapat tidak lebih karena dilatar belakangi kepentingan dakwah beliau.
Pelantikan Kiai Sajjad sebagai kalebun (kepala desa) hampir bersamaan dengan agresi militer Belanda tahun 1947. Belanda yang tidak menerima kedaulatan RI melakukan kontak fisik di daerah-daerah NKRI setelah sebelumnya melakukan gencatan senjata sebagai konsekuensi dari kesepakatan perjanjian Linggarjati. Padahal awalnya justru perjanjian Linggajati dianggap sebagai kekalahan diplomasi Indonesia karena Republik Indonesia terlalu banyak mengalah terhadap Belanda. Keuntungan yang didapat pihak Indonesia hanya berupa pengakuan de facto kekuasaan Indonesia atas pulau Jawa dan Sumatera, sedangkan keuntungan yang diperoleh pihak Belanda adalah memecah belah NKRI.
(Baca juga: tokoh-islam-indonesia-pendakwah-dosen-serta-penulis)
Pada 1947, sekitar dua setelah proklamasi 17 Agustus 1945, tentara Belanda ingin kembali menguasai Indonesia dengan segala cara, termasuk kembali menjajah. Saat itu, tentara Belanda memasuki daerah Kecamatan Guluk-Guluk. Tujuannya tak lain untuk menangkap Kiai Sajjad, baik dalam keadaan hidup atau mati.
Belanda akan memasuki area pesantren dengan tujuan untuk menangkap para kiai, khususnya Kiai Sajjad. Akan tetapi, Kiai Ilyas yang saat itu menjadi pengasuh pesantren, tidak ingin meninggalkan pesantren. Tentu saja dengan pertimbangan yang jauh lebih dipikirkan. Anehnya, tentara Belanda yang berseliweran di sekitar pesantren tidak melihat Kiai Ilyas yang sedang mengajar kitab di masjid. Dan hal itu adalah salah satu karomah Kiai Ilyas Syarqawi.
Kiai Sajjad berjuang dengan cara berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, menyusun siasat perjuangan, agar tidak terdeteksi oleh tentara Belanda. Perjuangan secara gerilya ini memang seringkali menjadi momok bagi penjajah. Sebab, gerilya adalah berperang secara diam-diam, menyerang dalam sunyi, dan seringkali tidak diterbaca oleh tentara Belanda. Perjuangan semacam ini begitu ditakuti oleh penjajah, khususnya penjajah Belanda. Akan tetapi, pada akhirnya sifat licik Belanda dapat dijadikan sarana untuk menangkap Kiai Sajjad. Dengan memanfaatkan para pecundang, orang pribumi yang gila akan kekayaan, dengan dibayar beberapa receh saja sudah mau bekerja sama dengan penjajah.
Demikian juga yang terjadi dengan Kiai Sajjad. Karena dikelabuhi oleh orang-orang licik, picik, dan hipokrit, akhirnya Kiai Sajjad keluar dari persembunyiannya. Melalui sepucuk surat yang ditengarai dibuat oleh orang-orang penjilat, akhirnya Kiai Sajjad mau berkunjung ke Pesantren Annuqayah yang memang sangat dirindukannya. Setelah sekian lama dalam gerilya, akhirnya Kiai Sajjad kembali ke kediamannya.
(Baca juga: sang-mentri-dari-kalangan-nu-k-h-abdul-wahid-hasyim)
Dan itu juga yang menjadi akhir perjuangan Kiai Sajjad. Sebab, sesaat setelah Kiai Sajjad tiba di pesantren, beberapa tentara Belanda datang dan menangkapnya. Semula masyarakat banyak di sekitar pesantren, termasuk juga para santri yang ada di pesantren saat itu, berupaya membuat pagar betis untuk melindungi Kiai Sajjad. Tetapi, dengan ksatria, dan tidak ingin terjadi pertumpahan darah, Kiai Sajjad dapat meredam masyarakat yang telah siap mengorbankan jiwa dan raga.
Penulis merupakan siswa kelas XI PK 2 MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik