Penulis: Rifatul Hasanah*
Bel pun berbunyi, jam menunjukkan pukul 03.00 pagi . Dengan berat mataku mulai beredar ke segala penjuru. Bergegaslah kaki untuk membersihkan diri. Namaku Difa Dwi Erika, aku seorang santri dan aku punya sahabat. Sahabat itu terdiri dari anak-anak yang pandai, kecuali aku. Mereka memiliki segudang bakat.Semisal, bakat dalam bidang Biologi, Ekonomi dan lain sebagainya.Segalabidanglombapernahmerekaikutidandengan .mudahnya piala-piala itu beralih dalam pelukan mereka.Aku juga manusia yang juga punya keinginan. Aku juga seorang manusia yang ingin mencapai taraf kesuksesan.
Suatu siang yang amat melelahkan, tiba-tiba saja kaki ini melangkah menuju kantor utama. Terlihat ratusan piala berjajar rapi. Mereka nampaknya sedang mengejekku ‘‘Mana pialamu? Kapan kamu memberikan piala persembahanmu di sini?’’ Ejek mereka. Dengan langkah kesal kutinggalkan ruangan itu. ‘‘Allah sejauh itukah imanku kepada-Mu, sejauh itukah rezeki-Mu kepadaku.’’ Derai tetes air mata membingkai halus pipiku.
‘’Dif..’’ tiba-tiba seseorang menepuk bahu belakangku, refleks tangan ini mengusap kelopak mata yang basah. ‘’Kamu habis nangis ya?.’’ Salah seorang di antara mereka mengawali pembicaraan. ‘’Aku gak nangis kok, aku hanya terharu saja melihat kalian menjadi orang yang sukses.’’ Dengan mata merah mereka menanggapi pembicaraanku. ‘‘Tidak Dif, Kamu yang lebih sukses. Kamu bisa mengantarkan temanmu menjadi seseorang yang sukses.’’ Pelukan hangat dari sahabatku sedikit menghilangkan dilemaku yang sedang berkalut.‘’Aku sayang kalian.’’ Pelukan itu kian erat hingga terdengar suara sesenggukan.
(baca juga: Perempuan Berkalung Senja)
Suara kicau burung terdengar indah mengalun, mengiringi langkah tujuh bersahabat yang sedang berkalut dalam keharuan.
‘’Ditujukan kepada Difa Dwi Erika harap ke kantor sekarang juga.’’Suara lantang ustadz Imad memanggilku untuk datang ke kantor. Pikiranku bertanya-tanya, kesalahan apa yang aku perbuat?. Aku pun bergegas menuju ke kantor utama. “Assalamualaikum’’. Dengan langkah penuh sopan aku menghadap ustadz Imad. Terlihat beberapa guru sedang berbincang dengannya.“ Kamu tahu kenapa saya panggil?’’ Mimik garang ustadz Imad membuat nyaliku menciut.“ Tidak ustadz, memangnya kenapa?’’ Dengan tegas beliau berdiri dari duduknya. Beliau menggapai laptop yang sedang duduk manis di belakangnya dan menunjukkannya kepadaku. “Selamat kamu lolos sepuluh besar lomba karya tulis ilmiah.’’Spontan senyum itu terlukis dari bibir manisnya. Diiringi dengan tetes air mata lisan ini mengucap syukur. Aku baru ingat, ini adalah naskah yang aku kirim diam-diam satu bulan yang lalu. Rasa tak percaya menutup semua logikaku. “ Semangat ya Difa, lakukan yang terbaik untuk lembaga.’’
Lima hari kemudian, aku dan kedua timku berangkat menuju Bali. Semua sudah kupersiapkan dengan matang. Bayangan sebuah piala meskipun itu hanya kemungkinan kecil untuk terwujudkan. Semua berlalu begitu cepat, dua puluh lima menit serasa bukan diriku sendiri. Aku yang duluhanya ada di belakang layar, kini menjadi sorotan utama di depan publik. APRENGERS (Aplication Of Reproductive For Teenagers) sebuah gagasan sederhana yang mengharapkan kemenangan yang istimewa. Dan saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Juri segera membacakan pengumuman juara 1, 2, dan 3. Setelah juara ketiga dan kedua disebutkan, kini saatnya juara pertama diumumkan. Siapakah seseorang yang beruntung itu? Harapanku kian putus untuk menjadi seorang pemenang. Suara juri pun menggema hingga ke sudut ruangan. Juara satu diraih oleh karya ilmiah yang berjudul APRENGERS oleh siswa-siswi “MA UNGGULAN NURIS JEMBER’’. Sujud syukur disertai dengan tangis haru kupersembahkan untuk yang Maha Kuasa. Dengan langkah gemetar kuterima seserahan piala dari panitia. Benar kata guruku, proses tak bisa mengkhianati hasil tapi Allah tidak pernah mengkhianati hambanya. Allah tidak memberikan apa yang kita inginkan tapi Allah memberikan apa yang kita butuhkan. Setitik cahaya fatamorgana mengiringiku pulang menuju pondok tercinta. Gemuruh ombak tersenyum simpul menatap kemenangan kami. Kemenangan yang dulunya hanya ada dalam mimpi. Dan kini, mimpi itu telah menjadi nyata.
Dengan langkah pasti kugoreskan kenangan indah untuk sang pulau dewata. Dengan senyum penuh cinta kuberikan buah tangan tercantik untuk sang pulau surga.[]
*Penulis merupakan alumni MA Unggulan Nuris