Soal:
Bagaimana hukum menangisi seseorang yang telah meninggal dunia (wafat)?
Jawab:
Menangis adalah fitrah manusia ketika mengalami kesedihan dan duka cita. Demikian juga pada saat ditinggal seseorang, terutama yang paling dihormati, disayangi, dan dicintai, maka wajar jika kesedihan akan menjelaga jiwa. Oleh sebab itu, agama mentolerir hal tersebut. DR. Muhammad Bakr Ismail berkata:
يَجُوْزُ الْبُكَاءُ عَلَى الْمَيِّتِ وَلَوْ بِصَوْتٍ مُرْتَفِعٍ إِذَا لَمْ يَصْحَبْهُ صَرَاخٌ أَوْ لَطْمٌ لِلْخَدُوْدِ أَوْ شَقٌّ لِلْجُيُوْبِ أَوْ دُعَاءٌ بِالْوَيْلِ وَالثُّبُوْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا حَرَّمَتْهُ الشَّرِيْعَةُ الْغَرَّاءُ (الفقه الواضح من الكتاب والسنة، ج ١ ص ٤٣٦)
“Menangis untuk orang yang meninggak itu boleh meskipun dengan suara yang keras jika tidak disertai jeritan histeris, menempeleng pipi, menyobek baju, atau memohon celaka, binasa, dan sebagainya sebagai yang diharamkan oleh syari’at yang mulia.” (Al-Fiqh al-Wadhihmin al-Kitab wa al-Sunnah, juz I, hal 436)
(baca juga: Membaca Wirid setelah Shalat)
Ada beberapa Hadits yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah menangisi kepergian Ibrahim RA putra beliau. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيْدَ قَالَتْ لَمَّا تُوُفَِّيَ ابْنُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إبْرَاهِيْمُ بَكَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الْمُعَزِّي أَنْتَ أَحَقُّ مَنْ عَظَّمَ اللهُ حَقَّهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَدْمَعُ الْعَيْنُ وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ وَلاَ نَقُوْلُ مَا يُسْخِطُ الرَّبَّ لَوْ لاَ أَنَّهُ وَعْدٌ صَادِقٌ وَمَوْعُوْدٌ جَامِعٌ وَأَنَّ الْآخِرَ تَابِعٌ لِلْأَّوَّلِ لَوَجَدْنَا عَلَيْكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ أَفْضَلَ مِمَّا وَجَدْنَا وَإِنَّا بِكَ لَمَحْزُوْنُوْنَ (سنن ابن ماجه، رقم ١٥٧٨)
“Dari Asma binti Yazid ia berkata, “Di saat putra Rasulullah Saw ibrahim RA wafat,beliau menangis. Salah seorang penta’ziyah berkata “Ya Rasul, engkau adalah orang yang paling berhak untuk diagungkan haknya oleh Allah Swt”. Lalu Rasul Saw menjawab, “Sesungguhnya mata bisa mengalirkan air mata dan hati bisa susah. Dan kami tidak mengeluarkan kata-kata yang dimurkai Tuhan kami. Andai kata Allah Swt bukan Dzat yang selalu menepati janji, dan yang (datang) kemudian ikut pada yang pertama, niscaya menjumpaimu wahai Ibrahim RA lebih utama dari yang kami temukan. Sesungguhnya kami sedih sebab berpisah denganmu wahai Ibrahim RA.” (Sunan Ibn Majah [1578])
Rasulullah Saw juga menangis ketika berziarah ke makam ibundanya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (صحيح مسلم، رقم ١٦٢٢)
“Dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Nabi Saw pernah menziarahi makam ibundanya lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya menangis.” (Shahih Muslim, [1622])
Akan tetapi tidak boleh menangis sampai berteriak dan histeris. Nabi Muhammad Saw bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الخُدُوْدَ وَشَقَّ الجُيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ (صحيح البخاري ١٢١٢)
“Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud RA bahwa Nabi Saw bersabda, “Bukan termasuk golonganku seseorang yang (menangis sambil) memukul pipinya, merobek bajunya dan menjerit seperti yang dilakukan orang-orang jahiliyyah.” (Shahih al-Bukhari, [1212])
(baca juga: Membaca Surat al-Kahfi dan Shalawat pada Hari Jumat)
Dengan demikian, sela,a dalam batas kewajaran, menangisi orang yang meninggal dunia diperkenankan karena hal itu merupakan fitrah manusia. Berbeda jika sampai melewati batas, yang mengesankan dia tidak menerima dan tidak ridha akan takdir Allah Swt, maka yang demikian itu haram hukumnya.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.