Penulis: Alya Latifatuk Fitriah*
Secarik gulungan langit dan sang surya karya Tuhan maha esa dan beribu ribu tusukan terik pekik sinar matahari berlomba-lomba menembus kaca jendela mobilku, angin yang asing ini seakan menyentuh tubuhku yang kering berseri-seri, pohon yang kudapati seakan berjalan namun tetap kian habis pada barisannya, ”ASEMBAGUS” papan huruf besar yang menyambutku dan gundahan hatiku tak dapat lagi menarik garis bibirku menepis ketepian. Kota yang masyhur akan julukan kota mati inilah yang akan kusinggahi selagi menjadi santri, memang jarak antara Situbondo-Jember tak diragukan lagi kejauhannya, namun tekat bulat pola pikir kedua orang tuakulah yang kini mampu menyulapku tinggal di sini. Mungkin bagi orang orang salafi nama pesantren “salafiah syafiiah” tak lagi asing di dapatinya, dan disanalah garis tanganku terpenai atas izin tuhan.
(Baca juga: nada rindu)
“Ulfi segera kemas barang barangmu , lalu segeralah masuk dan menyambut teman barumu”
Dengan sibuknya ibuk mengeluarkan sejumlah kardus makanan ringan yang berisi barang barangku dari bagasi mobil
“iya ibu”
Aku menciumnya, kedua tangan dua mahluk yang selalu hadir namanya di setiap panjatan doaku, mungkin satu bulan ke depan wajah suci nan karismatik mereka tak dapat lagi kulihat oleh pelupuk mata indah ini. Tuhan mungkin ini adalah tebusan dari apa yang telah aku buat, tanpa ku sadari buliran air menetes menepis menjelajahi pipiku, isak tangisku terus menjadi jadi setelah mobil avansa merah itu menjauh di hadapanku
#######
Saat itu Teras langit begitu cerah bercahaya oleh lampuan lentera hiasan beribu ribu bintang di angkasa, tampak merona dan mempesona, sapuan angin yang kian kencang sebagaimana mengikuti alurnya membuat suhu di asrama begitu dingin. Namun saat itulah tepatnya pukul 20.30 aku mendengar isak tangis haru belasan santriwati seangkatanku, tampaknya mereka usai berbondong bondong keluar dari kamar ustadzah keamanan dan tak salah lagi satu diantara mereka adalah anak kamarku, hatiku tergoda untuk bertanya, beribu ribu tanda tanya telah mengantri di ruangan otakku.
“ Aisyah kok semuanya nangis, emang ada apa?”
“Ustadzah tau kalok saat liburan kita jalan bareng sama anak banin (santri putra),” Tukas Aisyah terbata-bata karena isak tangisnya semakin bergemuruh.
“kok bisa tau,” tanyaku.
“Iya, ada buktinya berupa foto kayaknya kamu dan Dina yang bareng sama banin juga ada di hape nya ustadzah,”
“DEGGG” hatiku tersentak oleh kalimat itu, seakan tidak percaya hal ini terjadi bak dongeng belaka yang tidak akan menjadi kenyataan, tapi sekarang itu amat sangat nyata .
“Fi kita di panggil ustadzah keamanan sekarang,” Dina yang tanpa salam langsung menyelonong masuk itu sesegera mungkin memecah belah seluruh isi ruangan itu, secepat inikah ustadza bertindak, dan berarti secepat ini juga aku harus menyusun kata demi kata agar aku bisa mengangkat mulut disana.
######
Pintu yang terbuka lebar itu seakan sudah siap menyambut kedatangan ku dan Dina. Aku terdiam, kubiarkan gigiku menggigit bibirku sesukanya, Dina mengucap salam namun tak ada segletir jawaban dari dalam ku intip dari jendela kamarnya dan mungkin ustadzah tidak mendengar suara Dina yang begitu parau, aku menyuruh Dina untuk sesegera mungkin memasuki kamar ustadzah, begitupula aku yang terus membuntuti Dina, tampak ustadzah yang mungkin sedari tadi menunggu kita wajahnya begitu jutek, aku duduk di depannya dua buah kursi kayu berwarna coklat itu lah yang di persembahkan menjadi saksi sidangan antara ustadzah keamanan dan santriwati yang bermasalah
“Apakah kalian tau mengapa saya memanggil kalian”
Aku tak berani melihatnya, tatapannya itulah yang membuat sekujur tubuhku gemetar ,matanya terus memebelalak melihat ke arah kita, hingga seolah olah kita adalah pasangan separitis yang akan siap melawannya, munggkin jika lebih ditekan sedikit bola matanya pasti bisa keluar,
“JAWABBBBB, mana telinga kalian,”
Bentakan itu sangatlah dasyat hingga membuat kita bisu sementara, bumi seakan senyapa seketika dan baru ku sadair kudapati Dina telah mengeluarkan percikan mata yang sedari tadi membanjiri pipi tirusnya
“Jalan bareng anak banin di luar pesantren saat liburan,”
Suara Dina begitu parau didampingi isak tangis nya, ternyata Dina bisa mewakili bibirku yang semakin lama semakin mematung, aku tidak menyangka dia bisa menjawabnya, padahal air matanya semakin lama semakin deras menghujamnya
“baiklah, setelah saya konsultasi bersama guru-guru dan staf pesantren maka hukuman yang kalian dapatkan adalah di pulangkan selama seminggu”
Air mataku mulai mengantri di bagian pelupuk mata ,yang lama kelamaan akan keluar sebegitu derasnya dan saat inilah pertama kalinya aku menciptakan pelanggaran seberat ini
“Tapi itu kan saat liburan ustadzah,”
Alhasil aku mulai bisa membuka mulut meski sedikit dan bersuara parau. Tak ada respon dari ustadzah beliau malah langsung meninggalkan kita berdua disana
######
Di kala itulah baru pertama ku injak bumi seakan bersedih sepertihalnya bidukku, kubuka pintu rumah perlahan, kulihat sesosok bayangan seorang yang amat kukenali
‘CPLAAASSSSSSSSSSSS”
aku terbentur di lantai, sesegera mungkin ibu langsung menghampiriku dan membantuku untuk bangkit dari teras, aku tak menyangka ayah yang mempunyai sifat selembut sutra kini tega menampar anak bungsunya, pipiku lebam memerah seketika itu juga, barang-barang yang ku bawa dari pesantren tadi telah berhamburan mengelilingi lantai, ibu menatapku lekat-lekat dan aku menangis.
“Ayah malu punya anak seperti kamu, kemaren ayah sudah di panggil pihak sekolah dan alhasil pihak sekolah memberitahukan pelanggaran yang kamu lakukan,”
Hatiku bak tersambar petir, berarti ayah di panggil sebelum aku di panggil, penanganan di pesantren ternyata begitu sigap, hingga dalam waktu sekejap sebuah kasusku yang lumayan berat dapat terselesaikan secepat sigap. Wajah ayah juga kala itu sangat menakutkan hingga urat di kepalanyanampak sangatlah jelas suaranya pun sangat mengelegar hingga terpantul keseluruh sudut ruangan.
“Bukannya saat itu kamu hanya pergi kerumahnya Dina ya?”
Ibu menambahi, suaranya yang begitu lembut seakan menyejukkan hatiku, yang pastinya ibu masih mau memberi kesempatan bagiku untuk angkat bicara
“Sebenarnya saat itu kita tidak sengaja bertemu teman laki laki kita bu,”
Aku mencoba menjelaskan semuanya, tapi ayah sebegitu saja meninggalkan aku dalam keadaan termenung di pangkuan ibu, ayah pergi entah kemana, mungkin ia ingin mencari tempat untuk meredakan emosinya. “kok bisa ketemu, kan Cuma main kerumahnya Dina,”
Hatiku seakan tersayati oleh belati yang ku miliki dan di simpulkan akulah yang menjadi pelaku yang salah. “maaf ibu, ini semuanya Ulfi yang salah, benar Ulfi pergi ke rumah dina namun setelah itu Ulfi dan Dina pergi melihat acara pertunjukan,” jelasku terbata-bata.
“Dan secara tidak sengaja kamu bertemu anak banin pesantrenmu,”
Ibu menambahi secepat kilat jawabannya tepat sekali, ibu tersenyum simpul, sebagaimana ciri khasnya. “kamu salah nak, dengan begini kamu menghilangkan kepercayaan yang telah ayah dan ibu berikan kepada kamu,”
“GRABAKKKK” suara itu terdengar dari arah kamar ayah, kedua mataku dan mata ibuku saling bertemu.
(Baca juga: juni yang merindu)
######
Seteguk gelas berisi air putih baru kusodorkan ke bibir ayah, beliau baru sadar dari pingsannya tadi, mungkin masih ada rasa pusing sedikit di kepalanya .“Ma maaf ayah ga gara gara Ulfi ayah jadi begini,”Aku memulai melakukan interaksi , ku lawan rasa takutku dengan rasa permohonan maaf ku “ayah sangat kecewa dengan kamu nak, kamu telah menghilangkan rasa kepercayaan nya ayah , kamu tidak tau tah kalo seperti itu berdosa” Mataku berkaca kaca ku tak kuasa mendengar suara ayah yang begitu parau, lemah sekali kudengar, namun hati sakit terpukul nya “iya yah aku ngerti, mungkin apakah sekarang ayah tidak akan percaya lagi padaku?” Ayah terdiam ,dan ibu yang sedari tadi mendampingi kita berdua melihat wajahku lekat lekat, tak ada selontar jawaban dari bibir mereka dan ayah pun mulai menggelengkan kepalanya yang itu berarti tidak .seketika itu jantungku terasa tak berdetak lagi denyut nadiku seakan tak berfungsi seketika hatiku terasa teriris miris , oh ayah maaf kan aku “memang ayah sudah tak percaya lagi kepada kamu, tapi adakalanya kamu bisa merubah sifat kamu nak, tapi ayah tetap memaafkanmu,” kupeluk erat tubuh ayah. Di detik dan menit ini aku berjanji pada diriku sendiri untuk jadi insan yang lebih baik lagi.
Sumber gambar: cikimm.com
Penulis merupakan siswa kelas X MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler penulisan kreatif sastra