Penulis: Abd. Halim W.H.*
Dalam Islam, terdapat 3 (tiga) versi keimanan tentang perilaku manusia, antara lain:
Pertama, Versi Qadariyah-Mu’tazilah (aliran rasionalis), yang mengatakan bahwa perilaku sepenuhnya terserah manusia. Artinya, apa yang dilakukan manusia akan sesuai dengan yang diinginkannya. Jadi, manusia bisa menentukan sendiri kehidupannya, pekerjaannya, masa depannya, dan lain sebagainya.
Jika manusia diberi tangan misalnya, maka tangannya bisa digunakan untuk hal-hal positif seperti membantu teman, bersedekah, dan sebagainya, atau malah sebaliknya, seperti memukul, mencuri, dan lainnya. Semuanya terserah pribadi masing-masing, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya: yang berbuat baik akan dibalas surga, dan yang berbuat dosa akan dibalas neraka.
Kedua, Versi Jabariyah (aliran fatalisme). Yaitu paham yang berkeyakinan bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan apa-apa. Bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qada’ dan qadar. Jadi, ikhtiar tidak berguna, dan tidak perlu usaha, sehingga tidak menentukan apa-apa.
Ketiga, Versi Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja), yaitu paham atau aliran yang mengkompromikan kedua versi di atas. Yaitu paham yang berkeyakinan bahwa setiap manusia harus berusaha, namun demikian usahanya tidak pasti berhasil dan tercapai, karena hakikatnya yang menentukan berhasil tidaknya usahanya adalah semata-mata Allah Swt.
(baca juga: Bishri Syansuri, Ulama Fiqh Terkemuka)
Di antara karakteristik utama versi Aswaja ini adalah moderasi/tawassuth (tengah-tengah). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw.: خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (sebaik-baik perkara adalah yang ada di tengah). Pun juga sesuai dengan potongan ayat dalam al-Qur’an[1]:
وَكَذلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطَا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ……………………………..
Artinya, “Begitu juga Kami jadikan kamu semua umat yang moderat supaya mampu menjadi saksi terhadap manusia…………….”
Imam Abu Hasan al-Asy’ari, salah satu Imam versi Aswaja dalam bidang akidah melahirkan pemikiran al-kasbu (usaha) sebagai moderasi rasionalitas absolut aliran Qadariyah-Mu’tazilah serta fatalitas absolut aliran Jabariyah, yakni, manusia wajib berusaha dengan kemampuan terbaik, namun tawakkal kepada Allah Swt. sebagai final. Sebuah pepatah mengatakan: أَنَا أُرِيْدُ وَأَنْتَ تُرِيْدُ وَاللهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ (Saya ingin, kamu ingin, Allah Maha Memutukan sesuai KehendakNya).
Manusia tidak bisa memastikan apa yang diikhtiarkan. Semuanya sepenuhnya di tangan Allah Swt. Jika lapar, ya makan. Jika haus, ya minum. Jika sakit, ya berobat (ke dokter atau lainnya), dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan ikhtiar dan belum tentu sesuai dengan yang diikhtiarkan jika memang belum dikehendaki oleh Allah Swt., seperti orang yang sakit yang pergi berobat ke dokter, belum tentu ia sembuh sesuai apa yang diikhtiarkan dan diharapkan. Bisa sembuh, bisa tetap sakit, atau bahkan bisa meninggal dunia. Meskipun tanpa hasil sekalipun, ia tidak merugi, tetap dibalas pahala sebab ikhtiarnya. Manusia hanya berusaha, dan Allah lah yang menentukan segalanya…
Didaptasi dari acara Ngaji Aswaja dan Tausiyah Syaikhul Ma’had untuk guru-guru MTs Unggulan dan SMP Nuris Jember pada hari Sabtu, 6 Februari 2021 yang disampaikan oleh Almukarram KH. Muhyiddin Abdusshomad
*penulis adalah khadim Program Tahfizh di Pesantren Nuris Jember
[1]. QS. Al-Baqarah (02): 143