Dalam batin seseorang antara lain ialah akidah atau keyakinan dan kepercayaan. Jika akidahnya buruk, perilakunya akan cenderung buruk. Masyarakat Arab di masa Jahiliah disebut bejat—meski tidak semua—bukan hanya karena perilakunya yang bejat, melainkan juga—terutama—disebabkan akidah mereka yang bejat.
Sering kita mendengar cerita tentang bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh masyarakat Jahiliah. Perilaku keji ini tidak lain karena lahir dari persepsi yang salah tentang perempuan. Sebab, mereka meyakini bayi perempuan sebagai aib keluarga dan sumber petaka sehingga harus dimusnahkan.
Supaya tidak ditiru, perilaku buruk tersebut direkam oleh Alquran sebagai pelajaran:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ * يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ، أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِى التُّرَابِ؛ أَلاَ سَآءَ مَا يَحْكُمُوْنَ (سورة النحل: 58-59)
Apabila seseorang dari mereka diberi kabar (tentang kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya dan sangat marah. Ia menyembunyikan diri dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Oh, apakah gerangan ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?! Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu! (Qs. An-Nahl: 58-59).
Mereka (orang jahiliah) menyatakan bahwa Allah mempunyai anak perempuan yakni, para malaikat. Menyatakan itu bukan karena memuji, tetapi karena mereka sangat benci kepada anak-anak perempuan. Kebencian mereka kepada perempuan merupakan akibat dari persepsi yang keliru tentang perempuan.
Demikianlah; akidah, keyakinan, dan kepercayaan seseorang mempengaruhi perilakunya. Karena itu, kita sering mendengar kata akidah-akhlak selalu disebut secara bersama-sama, seolah keduanya ibarat raga dan nyawa yang tak dapat dipisahkan. Sebab, jika raga dipisahkan dari nyawa, ia menjadi bangkai; sebaliknya, jika nyawa dipisahkan dari raga, ia menjadi roh gentayangan, tak punya tempat bersemayam.
(baca juga: Khatib Jumat Memegang Tongkat)
Visi dan Misi Kenabian Rasulullah Muhammad Saw. (Visi dan Misi Profetik)
Di tengah-tengah keyakinan, kepercayaan, dan akidah masyarakat masa Jahiliah yang keliru itulah, Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt., guna menata kembali segala bentuk akidah yang kacau balau supaya teratur. Inilah visi terbesar Nabi Muhammad Saw.
Bahwa selain Allah Swt bukan Tuhan, Allah Swt. tidak beranak dan tidak diperanakkan; bahwa tidak satu nyawa pun boleh dilenyapkan tanpa dasar yang dibenarkan oleh syariat; dan bahwa rahmatan lil ‘Âlamîn (kasih sayang terhadap seluruh umat manusia dan alam semesta)harus diwujudkan dalam kehidupan ini.
Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. menyatakan misi kerasulannya dalam salah satu sabdanya yang cukup terkenal:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ. (رواه البيهقي، 10/ 323)
Sesungguhnya aku diutus (ke dunia ini) hanya untuk menyempurnakan keluhuran akhlak. (HR. Al-Baihaqi, juz 10, h. 323)
Bisa ditarik kesimpulan, seorang yang paling mulia dari seluruh rasul dan nabi diutus hanya untuk menyempurnakan keluhuran akhlak! Betapa tinggi letak akhlak dalam visi dan misi kerasulan itu! Ini merupakan bukti yang sangat jelas bahwa persoalan akhlak dalam Islam adalah hal terpenting dari yang paling penting.
Ibnu Atahiyah berkata:
كُنْ اِبْنَ مَـنْ شِئْتَ وَاكْتَسِبْ أَدَبَا يُغْنِيْكَ مَــحْمُوْدُهُ عَنِ النَّسَبِ
إِنَّ الْــفَتَى مَـنْ يَقُــوْلُ هَـاأَنَـاذَا لَـيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِي
جواهر الادب، ص 706
Jadilah engkau anak siapa saja asalkan berakhlak mulia, engkau akan terpuji tanpa harus menyebut asal usul keturunanmu Pemuda yang sejati ialah pemuda yang berkata “inilah aku” bukan pemuda yang mempunyai jati diri apabila masih menyebut “aku anak si A atau si B”
Bahkan, Nabi Muhammad Saw mendapatkan pujian dan sanjungan langsung dari Allah Swt, bukan karena ilmu beliau yang melimpah, melainkan karena akhlak beliau yang begitu agung. Allah Swt berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ (سورة ن: 4)
Dan engkau (Muhammad) adalah (seorang) yang memiliki akhlak yang agung (Qs. Nûn: 4)
Hingga kini, rekaman akhlak Nabi Muhammad Saw masih terpelihara dengan baik, dan akan terus utuh hingga Hari Kiamat kelak. Sengaja ditakdirkan demikian oleh Allah Swt supaya ia menjadi panduan bagi umat Islam. Rekaman tersebut tak lain ialah Alquran, kitab suci umat Islam.
Penjelasan bahwa akhlak Nabi Saw terekam di dalam al quran disampaikan oleh Siti ‘Âisyah RDA dalam sebuah riwayat sebagai berikut:
عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: «كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ». (رواه البخاري، ص: 87)
Dari Sa’d bin Hisyam dia berkata; “Saya (pernah) sowan kepada Siti ‘Aisyah RDA. Saya bertanya pada beliau “wahai Ummul Mukminin bagaimanakah akhlak Rasulullah Saw. Beliau menjawab ‘akhlak Rasulullah Saw ialah al-Qur’an’…” (HR. Al-Bukhâri, 87).
Penjelasan Ibnu Muflih mengenai hadis di atas sebagai berikut:
اَيْ كَانَ مُتَمَسِّكًا بِأَدَابِهِ وَأَوَامِرِهِ وَنَوَاهِيْهِ وَمَا يَشْتَمِلُ عَلَيْهِ مِنَ الْمَكَارِمِ وَالْمَحَاسِنِ وَالْأَلْطَافِ. (ابن مفلح، الآداب الشرعية، ج 2 /ص 141)
Tegasnya Rasulullah Saw. selalu berpegang teguh pada tata krama yang diajarkan Alquran dan senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Alquran, serta mengamalkan segala apa yang termuat dalam al Quran dari berbagai kemuliaan, kebaikan dan kelemahlembutan. (Ibnu Muflih, al Adab Al Syar’iyah, juz 2, h. 141)
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah Alquran hidup; atau sebagai pengamal isi Alquran yang paling konsisten. Sebaliknya Alquran bisa diumpamakan sebagai potret akhlak Nabi Muhammad Saw. secara utuh. Itu sebabnya, semua pembahasan tentang akhlak mulia akan selalu merujuk pada pancaran keindahan petunjuk beliau, yang termaktub di dalam al quran dan dijabarkan di dalam Sunnah[AF.editor]
*Terjemahan Kitab Tarbiyatus Shibyan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad