penulis: Arini Fahma*
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat disamapaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang ta sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
Sapardi Djoko Damono (1989)
***
Asap subuh menggantung manja pada keremangan mentari. Dedaunan pun rerumputan kian membasah dibuatnya. Angina yang saling beradu meraih ranting-ranting kering lalu jatuh meranggas jatuh luruh ke bumi. Keempat roda itu tengah berbahagia. Tersenyum bersama kaki-kaki kecil yang mengayuh pedal dengan sangat bersemangat namun kadang pula tergelincir akibat pelajaran tentang bersepeda belum pernah dikuasai. Tawa mereka berderai, membungkam segala keresahan yang ungkin datang sebentar lagi.
BRAKKK!
“Aduh…” Jerit si Gadis keci tertunduk di jalan.
“Nira!” Bocah laki-laki itu menjatuhkan sepeda merahnya.
“Dana…kakiku sakit, naggak bisa jalan.” Air mata telah beranak-sunga di pipi gembungnya, begitu pun cairan berwarna merah di mata kakinya.
“Kok bisa sih? Kan aku aku sudah bilang hati-hati!”
“Tadi ada kucing lewat, jadi aku kaget! Jangan marahin aku, dong!” balasnya meradang.
“Ya udah. Mana tanganmu! Sini aku batu jalan.” Sebuah tangan mungil terulur ragu.
“Aku nggak bisa jalan, Dana!”
Serupa air laut diusik gemap bumi, tsunami semakin mengggerus kedua mata Melayu milik Nira. Tangannya bergemetar memeluk kedua lutut yang telah berdebu tersapu jalanan desa kala pagi itu. Tiba-tiba tubuh Nira terangkat. Ia mencoba membuka mata. Sejurus kemudia tangisnya berhenti, berganti dengan senyum manis lalu tawa kembali memeluk berdua.
Lazuardi berbicara pada rumah hitamnya, ia berbisik sedih menjatuhkan pandangan di sisi barat laut pesisir pantai. Nampak kerudung biru melambai-lambai cantik tergoda oleh angin yang meraba pelan segaris raut Melayu. Jari-jari menadingin terherak lamban menyeka satu tetes. Dua tetes. Lalu menangkuplah tangannya setiap mengingat serpihan masa kecil itu. Ia merasa malu pada semesta yang setiap malam menyaksikan gundah jiwanya. Pada putihnya pasir yang setiap pijakan menerima legam raganya. Pada ribuan ikan yang tetap berdoa meski tumpah dosanya.
(baca juga: Sajak kepada Guru)
15 tahun telah jaru detik melalui berangka-angka waktu. Dalam kurun masa itu pula, berbagai gelar telah Nira sandang, harta dunia telah ia dapatka, dan kitab suci pun telah hatam ia hafalkan. Akan tetapi bak air payau, kini hatinya terasa getir. Segala yang ia miliki tak lagi dapat melukis senyum yang selalu dapat mengunci mulut0mulut terbuka. Hal ini sebab cinta pertama yang sudah berakar menutu balasan, sedangkan cinta sejati yang menguat mulai mengekang berbagai perasaan.
***
Kisah ini bermula ketika Nira tengah menghadiri sebuah seminar Nasional di Pesantren tempat ia dilahirkan dulu belajar. Bahagia sudah bertemu kawan lama, guru bahkan sowan ke Bu Nyai sempat ia lakukan. Jendela dan pintu bebingkai hijau serta tanah-tanah batu seakan menyambutnya datang. Ya, untuk memulangkan rindu pada bumi kya. Namun, entahlah. Sebenarnya rindu-rindu yang lain yang selalu tersiram doa itu tak sepenuhnya Nira harapkan untuk terobati kemudian berpulang pada si tuan.akan tetapi, Tuhan-lah nahkoda kehidupan. Pada detik itu juga ketika acara berakhir,tamu pembicara yang dirahasiakan identitasnya naik ke atas panggung. Dan Nira pun terpaku.
“Inilah tamu pembicara kita Zidan Alfiarus atau yangg akrab kita sapa Kang Dana…..”
Suara moderator menggelegar lewat pengeras suara yang tak lagi terdengar oleh Nira, untuk saat ini telinganya menuli. Sebab, disana telah berdiri seorang yang selalu membuatnya melamun dalam keheningan. Tempat puisi-puisi yang ia tulis setiap malam untuk disampaikan. Setelah hampir seluruh usianya terjual pada sebuah penantian, yang dengan selalu berusaha dari fajar hingga petang hanya untuk berusaha memantaskan diri. Akankah ini menjadi episode terakhir? Namun, sepertinya tidak. Sebab, yang telah tumbuh untuk Dana bukanlah sebuah rasa yang seharusny. Memang,masih tetap tentang sebuah rindu. Tapi sayang, telah berlumut.
Air mata tak kuasa terbendung, hatinya sudah tak sanggup menahan kepingan-kepingan yang akan melebur. Dadanya sesak. Dalam diam ia menangis sendirian. Kemudian gelap. Yang ia rasakan sekarang hanyalah tangan-tangan yang membawa pergi
Tak sadarkan diri sejenak membuat Nira lengah. Setelah berhasil mengumpulkan sukmanya, ia bergegas pergi. Ia tak ingin rang lain tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang tengah retak berdebum. Sesampainya di pintu kelur, seorang perempuan berkerudung coklat menghmpirinya.
“Permisi ukhti, ini ada titipan surat,” mulainya tersenyum.
“Oh, syukron, dari siapa?”
“Afwan ukhti, ana permisi dulu, masih banyak urusan.” Tanpa menjawab, perempuan itu berlalu.
Kini wajah Nira telah menggenggam surat beramplop putih gading itu. Melalui harum vanilanya, isi surat seakan bertanya bagaimana kabar Nira setelah sekian lama. Dengan enggan ia mulai membuka dan membaca.
Assalamualaikum, Dzani Rachma
Sekaca cempaka anggun tergeletak dalam diam, meski tiada yang menjemputnya. Namun, potongan ini bukanlah tentang siapa yang akan datang. Akan tetapi, mengenai tali panjang yang harus disambungkan. Kumohon izikan.
Dana
***
Tarian ombak mengikis karang-karang. Lewat sinar keperakan purnama, suara malam menemani Nira bercerita.
Usai datang untuk mengkhitbahnya,disinilah Nira. Sudah 3 hari terhitung sejak ia lari dari hiruk-piruk dunia asing. Di kawasan pantai sepi penduduk, tepatnya di sebuah musholla yang dulu dibangun oleh ayahnya untuk keperluan penelitian. Sepanjang siang dan malam ia habiskan dengan bersimpuh pada sang pencipta. Hal ini memang telah menjadi kebasaan Nira bahka jauh sebelum Dana kembali. Dikarenakan rasa rindunya pada dana telah berkubang dengan tangis yang hanya bisa tenang jika doa dipanjatkan. Bermacam ibadah ia tegakkan, mulai dari salat tahajud, salat witir, salat tasbih bahkan pusa Daud. Di setiap beribadah itulah duri-duri yang yang bercokol dalam hati Nira mengembun, dan sebaliknya setiap ia mengingat Dana maka terasa puluhan belati menikam jantungnya.
Seorang Dana, mulai dari segala kepolosannya saat menggendong Nira dulu hingga kini berani memintanya, semua terasa sudah cukup bagi Nira. Aneh. Lewat gemrisik dedaunan, waktu lambat laun menyuarkan pada Nira akan arti sesungguhnya sosok Dana Dalam hidupnya.
“Nduk Ira, ayo masuk, sudah malam, kayaknya juga mau hujan.” Perempuan dengan guratan yang tercetak di wajahnya itu mendekat, menyentuh pundak Nira lembut.
“Ya mbok, sebentar lagi.”
“Ya sudah, jangan tidur malam-malam nduk.” Si mbok mengelus sebentar puncak kepala Nira, kemudian berlalu pergi seraya menghembuskan napas berat.
Nira kembali berair mata. Si mbok memandang cemas dari balik jendela kayu gubuknya. Setelah meniup api pada dimar di pelataran dan ruang tamu, si mbok pun berbaring di atas dipan.
Kesiur angin hadir menyesap dingin melalui dahan-dahan lalu merobek pelepah kelapa di ujung batang pohonnya. Nampak beberapa gubuk penduduk menganga terhempas, udara masuk menusuk retina yang terpejam. Garis pantai meluas. Laut tertarik ke samudra. Ombak berdiri kejam setinggi lima meter siaga melahap Nira. Ia yang tertangis ria tak tersadar maut di depa mata. Sepersekian detik berikutnya, tsunamiyang tak terduga itu menabrak kulit Nira, meremukan rusuknya dan melumat habis seluruh guyuran air mata hingga teraduk rata dengan gara tubuh Nira tertelan air laut. Merangsek jauh menuju daratan bersama para penduduk termasuk si mbok yang tak lagi bernyawa dan puing0puing gubuk yng tak lagi utuh. Namun, jiwa Nira masih diam di tempat.
Di akhir hidupnya, Nira tersenyum merasakan hangat dalam hati yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Rindunya pada Dana yang telah berlumut kini patah sudah. Akar-akar lumut yang tumbuh dalam hatilah yang menggerogoti perasan itu sendiri, hingga membuat Nira sadar bahwa rindu yang selama ini ia rasakan bukanlah buah dari pesona cinta pertama. Melainkan hanya sebatas rindu yang berhenti pada titik itu. RINDU
Lantas untuk siapakah sebenarnya cinta Nira? Jawabannya berada dalam sebuah pepatah jawa, witing tresno soko kulin. Ya, benar. Rindu-rindu Nira pada Dana telah membuatnya buta setiap hembusan nafasnya selalu terlantun doa-doa untuk Dana. Setiap tunduk pandangnya selalu ia jaga untuk Dana. Setiap sujud taubatnya selalu ia damba bersanding dengan Dana. Akan tetapi, kesederhanaan Nira dalam menyelami perasaannya membuat iapun juga buta akan hati yang diam-diam lebih merindu dan cinta pada Pencipta Dana. Tempat seluruh doa, harapan, dan keluh kesah berlabuh. Dan Tuhanpun begitu. Tuhan akan selalu memiliki pintu yang terkunci di dalam sejuta kotak rahasiaNya. Hingga kini lewat cerita sederhana, dua kekasih saling dipertemukan dalam cinta sejati yang walaupun sampai berjamur, cinta itu aka tetap bercahaya. Sebab, jamur akan tetap hidup meski telah berpijak pada tanah yang mati.
***
“Nira terlelap selamanya. Dalam genangan cinta sederhana. Yang dicintainya, juga mencintainya. Karena kesederhanaan adalah bentuk dari ketidaksederhanaan yang paling tidak sederhana.”
*Arini Fahma adalah pencinta sastra berasal dari Wuluhan Jember, alumni MA Unggulan Nuris tahun 2019