Penulis: Sitti Lutfiatul Hasanah*
Malam yang sunyi di Pesantren Al Hikam terpecah oleh suara bising dari pojok-pojok kamar asrama putri. Terlihat berbagai aktifitas yang sedang terjadi di sana. Di salah satu pojok kamar terlihat segerombol santri yang masih menikmati indahnya langit malam, sementara di pojok lain ada beberapa santri yang sedang menghafal Alquran dan kitab-kitab. Malam yang sunyi berubah lirih saat beberapa mulut santri putri itu menguap karena kelelahan. Malam yang sunyi akhirnya kembali menjadi sunyi saat semua santri selesai dengan hafalan nadzamnya masing masing serta tugas-tugas sekolahnya. Semua santri kemudian terlelap dalam selimut doa yang dilantunkan oleh Kiai di balik biliknya.
Berlalu seperti biasanya, malam yang melelahkan harus berakhir saat kumandang qoriah mengalun dari speaker masjid pesantren. Santri-santri yang masih terlelap menggeliat oleh rangsangan Tuhan. Beberapa santri terlihat sangat berat membuka kedua matanya. Beban yang teramat berat seperti sedang menindih mereka. Beberapa yang lain berjuang keras untuk melawan nafsu pertama yang melenakan Harut dan Marut di tengah petualangannya menjadi manusia.
Salah satu yang mengalami kesulitan bangun adalah seorang santri yang sedang membenamkan wajahnya dalam kitab.
“Najwa! Bangun! Baca kitabnya dari halaman 15 sampai 18”
“Saya ustadzah?”
“Iya, siapa lagi kalau bukan kamu!”
“ Iya ustadzah.”
Selesai Najwa membaca kitab, ia kembali menjatuhkan wajahnya.
***
Pagi yang mendung menambah berat rasa kantuk yang melanda Najwa. Di tengah kesibukan para santri yang sedang bersiap ke sekolah, ia justru sedang meringkuk dalam selimut tebalnya. Tak ada santri yang perhatian kepadanya, ketepatan ustadzah sedang menunggu di luar kamar. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tak lama kemudian selimut itu mulai bergerak menutupi tubuh Najwa, lalu keluarlah seorang santri yang ternyata sedang menangis itu. Ia tak mengucapkan sepatah kalimat pun. Ustadzah yang sedari tadi berdiri di luar tak sempat membuat kericuhan dengan santri itu, karena ia ternyata sudah memakai seragam sekolahnya di dalam selimut. Dengan berjalan sempoyongan santri itu meninggalkan kamarnya.
Saat mengikuti pelajaran semua murid tampak serius kecuali satu orang yang begitu merasa merindukan seseorang yang jauh dari genggaman nya terlihat dari raut wajah yang begitu murung tanpa adanya keseriusan tersimpan dalam hati. Ketika pelupuk mata yang membeka air mata yang terus mengalir dengan hati yang berkecambuk akan kerinduan yang menyayat kalbu bagaikan di iris sembilu.
“Najwa kamu kenapa sih..??”
“Enggak papa kok.”
“Aku lihat kamu akhir akhir ini sering melamun kamu kangen ayah ibumu tah..??”
“Iya nis aku kangen banget..”
“Sudahlah Najwa, tidak hanya kamu yang merasakan rasa ini semua santri baru juga begitu begitupun denganku. Tapi ini adalah hidup yang harus kita tempuh dengan ikhlas. Najwa, ku yakin kamu pasti bisa melalui ini semua. aku siap jadi orang yang selalu mendengar keluh kesahmu.”
“ Makasih ya nis. Aku akan mecoba untuk betah disini dan akan mecoba terus berjuang untuk membuat bangga kedua orang tuaku.”
“Gitu dong.. semangat..”
Semangat dari nisa membuatku merasa yakin dan kembali berfikir untuk terus maju melangkah. Hari hariku terus ku lalui dengan penuh semangat tak terasa satu bulan pun berlalu dengan semua kisah kisah yang begitu penuh makna serta ilmu ilmu baru yang ku dapatkan, hari hariku di penuhi dengan kehidupan yang sederhana dengan semua makan serta kebersamaan yang begitu indah untuk di ceritakan. Suatu ketika ku merasakan saat ku sendiri dan termenung meratapi hati yang merindukan kasih sayang sosok wanita yang begitu ku rindukan akan kehadiran nya dan suara indah nya saat menasehatiku di kala aku melakukan kesalahan.
“Dian, kamu masih bawa handfone gak..???”
“Masih, memang nya kenapa.. apa kamu mau ngadu sama ustazah..”
“Enggak kok, aku boleh pinjam tidak??”
“Silahkan saja, tapi awas sampek ustazah tau!”
Detak jantungku semakin berdetak kencang sesaat ku memegang handfone yang dibawa oleh Dian, ia seorang santri yang begitu terkenal nakal, semua peraturan pesantrenpun seakan tak ada artinya untuk wanita ini. Aku pun semakin merasa takut untuk melakukan hal yang terlarang di pesantren ini yaitu menggunakan alat elektronik di sini
“Aku gak jadi pinjem handfone kamu aku takut..”
“Halah sok alim! kamu gak usah takut disini tuh gak ada orang sama sekali…”
“Aku gak bermaksut sok alim tapi aku beneran takut Dian..”
Akupun kembali kekamarku untuk kembali merenungkan semua kesalahan yang ku buat dan hal itu mungkin juga bisa membuatku keluar dari pesantren ini tiba tiba, ada yang menepuk bahuku hingga menghentikan lamunanku.
“Najwa kamu di panggil ustazah norma di kantor.”
“Memang nya ada perlu apa ustazah memanggilku??”
“Entahlah aku gak tau juga, yaudah saya pergi dulu ya..”
“Terimakasih ya..”
“ iya..”
(baca juga: Kalabuta Heningnagari)
Aku pun terus berjalan menelusuri lorong yang begitu sepi tiada satupun santri lewat. Detak jantungku pun terus semakin mengeras tak hentinya, ku terus berfikir akan kesalahan yang hampir saja aku langgar.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam.. silahkan masuk”
“Ustadzah, ada apa saya kok di panggil kesini..???”
“Saya mau bertanya apa kamu yang meminjam handfone Dian..??”
“Enggak ustazah.. saya berniat meminjam tapi hal itu tidak terjadi ustazah karna saya tau hal itu akan membuat saya terkena masalah..”
“Tapi Dian bilang kamu pinjam handfone dia.. jujur lah nanti kamu gak bakalan di hukum terlalu berat..”
“Saya benar benar tidak meminjam hanfone itu, mungkin tidak ada buktinya tapi saya berkata jujur.”
Aku pun merasa bingung harus menjelaskan nya seperti apa lagi terhadap ustadzah ku ini namun, aku tak ingin menyerah karna aku tak bersalah dan tak pernah melakukan hal yang dituduhkan Dian terhadapku. Dua hari berturut turut ku di panggil oleh ustadzah karna sebuah kesalahan yang tak pernah terjadi dan hari hariku pun dipenuhi oleh omongan omongan teman temanku yang begitu membenciku karna hal itu santri santri disini tidak lagi di perkenankan untuk keluar dari pesantren selama dua minggu.
“Ini yang katanya anak baik, tapi nyatanya bikin kita sengsara karna perlakuanya’’
“Maafkan aku teman teman.. bukan aku yang salah..”
“Kamu tuh udah salah pakek gak ngaku lagi..”
“Tapi aku benar benar tidak melakukan itu semua aku hanya di fitnah..”
Hari hariku di penuhi dengan penyesalan namun aku harus tetap berusaha untuk mengembalikan kepercayaan teman temanku serta ustadzah dan pengasuh di pesantren ini karna aku tidak melakukan semua hal yang di tuduhkan Dian kepadaku
“Najwa..”
“ Kamu ngapain di sini Nis..”
“Najwa.. maafin aku ya sepertinya akhir akhir ini aku menjauh dari kamu seharusnya aku harus bantu kamu menyelesaikan masalah yang sedang kamu hadap saat ini..” sembari mememluk ku dengan erat
“Gak papa kok nis aku bisa ngerti itu semua.. seharusnya aku yang minta maaf udah bikin kamu kecewa karna sikapku..”
“Sebenarnya apa sih yang terjadi, kok sampek kayak gini..”
Sekitar satu jam aku menjelaskan semua hal yang terjadi kepada sahabatku yang selalu ada ketika aku bahagia ataupun dalam keadaan susah, walaupun aku selalu di kucilkan di pesntren ini tapi sahabatku selalu membangkitkanku di tengah tengah santri yang pernah mengerti akan kejujuran yang aku katakan. ketika aku di panggil kembali ke kantor ustadzah, aku merasa aneh kenapa ustadzah memberikan kerudung merah kepadaku dan menyuruhku untuk memakainya.
“Saya dan ustadzah yang lain sudah memberikan keputusan, kamu harus memakai kerudung pelanggaran ini selama 1 bulan karna perbuatan yang kamu lakukan”
“Saya tidak melakukan kesalahan apa pun…”
“Dian sudah menjelaskan semuanya terhadap ustadzah- ustadzah disini..”
Setelah aku menerima hukuman ini hari-hariku semakin buruk dengan semua omongan yang selalu membuatku semakin merasa bahwa aku yang salah bukan Dian tapi aku yang salah rasa itu pula semakin besar saat ibuku datang untuk menjenguk keadaanku di pesantren.
“Kamu kenapa sampai kayak gini, ibu tak mengerti sebenarnya kamu ikhlas apa enggak mencari ilmu disini???”
“Maafin aku ibu, karna aku bikin kecewa ibu.” sembari meneteskan air mata
Mungkin kata maaf ku tak pernah ada artinya namun ibuku percaya bahwa aku tak bersalah tapi apalah artinya saatku melihat tetesan air mata di pelupuk mata ibuku seaat ustazah memanggilnya dan memutuskan untuk mengeluarkanku dari pesantren ini namun ibuku memohon terhadap ustazahku untuk tidak mengeluarkanku.
“Baiklah buk, saya tidak akan mengeluarkan anak ibu asalkan dia berubah dan tidak mengulangi kesalahannya lagi..”
“Terimakasih atas kebaikan ustadzah…”
Dua minggu pun berlalu aku pun kembali di panggil oleh ustadzah ku entah apa yang terjadi aku pun kembali merasa takut akan hukumanku yang akan semakin bertambah akan membuatku semakin tersiksa namun aku terkadang menyadari semua hal yang di terjadi akan melatih kesabaran dan membuatku mengerti akan artinya sebuah perjuangan hidup seorang santri.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam.. masuk lah Wa..”
“Ustadzah memanggilku ..”
“Iya.. duduk lah..”
“Iya ustadzah..”
“Saya mau minta maaf sudah mendengarkan informasi yang salah dari Dian tentang kesalah fahaman ini.”
“Tidak apa apa, malah saya berterimakasih karna ustadzah, saya bisa belajar dan melatih bersabar dengan bertanggung jawab atas hal yang hampir saja saya lakukan”
Setelah hukuman dan kesalah fahaman itu selesai aku pu kembali menjadi santri yang di sayangi oleh ustadzah namun aku merasa salah karna Dian di keluarkan dari pondok pesantren yang di asuh oleh KHJ.Soleh. percayalah di balik suatu masalah pasti akan ada jalan keluarnya dan janganlah menjadi orang yang menghancurkan kepercayaan seorang guru ataupun orang orang di sekitar kita karna, arti sebuah kepercayaan itu adalah menjaga suatu hal yang telah di berikan kepada kita untuk kita jaga.
***********
*Penulis merupakan lulusan SMK Nuris Jember, Prodik TKJ