Mengenal Pembawa Cahaya di Masa Kini melalui Sejarah Maulid Nabi

Penulis: Muhammad Qorib Hamdani*

Pada tahun 570 M tepatnya di Negara Yaman berada di bawah kekuasaan Absyina yang bernama Abrahah. Seorang Absyina bernama Abrahah diutus menjadi gubernur. Ia berinsiatif membangun sebuah katerdal megah di Shan’a sebagai persembahan untuk Raja Negus dengan harapn bisa menyaingi ka’bah sebagai tempat penyembahan bagi seluruh bangsa Arab.

Inisiatif membangun katerdal untuk menyaingi ka’bah tidak dirahasiakan sedikitpun sehingga seseorang dari suku Kinanah dan Najd yang masih mempunyai hubungan nasab dengan suku Quraisy pergi ke Sahn’a untuk meruntuhkan gereja tersebut. Alhasul mereka melakukannya dengan waktu hanya satu malam dan pelang dengan selamat.

Mendengar hal itu Abrahah bersumpah akan membalas dengan menghancurkan ka’bah sampai rata dengan tanah. Rencana itu akhirnya dilakukan dengan menempatkan seekor gajah di barisan terdepan serta pasukan yang banyak.

Dengan datangnya Abrahah, suku Arab di utara Shan’a berusaha menghalangi perjalanan mereka, namun hal itu gagal dan menangkap pemimpin suku-suku tersebut. Salah satunya seorang bernama Nufayl dari suku Khats’am ditahan sebagai tebusan nyawanya dan dimanfaatkan oleh pasukan Abrahah untuk menjadi penunjuk jalan.

Abrahah berehenti di Mughamis dan mengirimkan pasukan berkuda ke daerah pinggiran Makkah. Mereka merampas semua apa yang ditemuinya termasuk 200 unta milik Abdul Muthalib. Sementara Abrahah mengirim utusan ke Mekkah untuk menemui pemimpin di sana, dan berpesan, kedatangannya di sini  bukan untuk berperang melainkan hanya ingin menghancurkan ka’bah.

Abdul Mutahlib datang kepada Abrahah untuk mengambil 200 untanya tersebut, lalu Abrahahpun memberikannya. Setelah Abdul Muthalib mengambil untanya dan sampai di daerah suku Quraisy berpesan agar menyelamatkan dirinya ke atas bukit di dekat kota. Kemudian ia dan beberapa anggota keluarganya meminta pertolongan kepada Allah untuk melawan Abrahah lalu kembali ke bukit.

(baca juga: Kulit Kopi dan Serat Daun Nanas Jadi Peredam Suara? Temuan yang Bikin Alumni Bergelar Sarjana)

Keesokan harinya Abrahahpun bersiap memasuki kota untuk menghancurkan ka’bah dan kembali lagi ke Shan’a melalui jalan yang mereka tempuh sewaktu datang.

Seorang pemandu gajah yang bernama Unays mengarahkan untuk berjalan bersamanya. Saat gajah dihadapkan ke ka’bah, seorang tawanan yang digunakan sebagai penunjuk jalan memberikan pesan kepada gajah untuk berlutut. Abrahahpun mulai kecewa dengan gajah-gajahnya yang lebih menuruti perintah Nufayl dari pada Unays. Akhirnya ia mencoba berpikir untuk rencana lain, agar sgajah-gajahnya menghancurkan ka’bah dengan menyuruh pasukannya untuk membalikkan badan dan gajah-gajahpun mengikutinya. Setelah itu mereka memerintahkan untuk kembali berbalik dan menyerang, alhasil gajah-gajahnya kembali berlutut kepada ka’bah.

Sejak peistiwa itu, suku Quraisy semakin masyhur di Jazirah Arab dan mereka juga semakin dikagumi karena orang-orang berpikir bahwa Tuhan mengabulkan doa-doanya untuk melindungi ka’bah dari kehancuran. Suku Quraisy kemudian lebih dihormati lagi karena peristiwa kedua yang terjadi pada saat yang hapir bersamaan.

Ketika peristiwa pertama terjadi, ‘Abd Allah, putra ‘Abd al-Muththalib, tidak berada di Makkah. Ia sedang pergi berdagang ke Palestina dan Suriah bersama suatu kafilah. Dalam perjalanan pulang, ia menginap di rumah keluarga neneknya di Yatsrib dan jatuh sakit di sana. Kafilah itu kembali ke Makkah tanpa ‘Abd Allah.

Mendengar putranya sakit, seperti dituturkan Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad (2003: 38), ‘Abd al-Muththalib segera mengutus Harits untuk menemani adiknya pulang jikalau keadaannya memungkinkan untuk melakukan perjalanan. Tapi ketika Harits sampai di tempat ‘Abd Allah menginap, adiknya itu telah meninggal dunia.

Tatkala Harits kembali, Makkah diselimuti duka mendalam. Satu-satunya pelipur lara istri ‘Abd Allah, Aminah, adalah janin yang masih berada dalam kandungannya. Aminah juga kian terhibur dengan semakin dekatnya waktu kelahiran sang bayi.

(baca juga: Inilah Keutamaan Membaca Sholawat Nabi)

Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada Senin malam, 12 Rabiul Awal, bayi itu pun lahir. Saat itu Aminah tinggal di rumah pamannya. Maka ia mengirimkan kabar kepada ‘Abd al-Muththalib dan memintanya untuk datang menjenguk sang cucu yang baru lahir itu.

‘Abd al-Muththalib datang dan menggendong sang cucu tersayang. Ia membawanya ke Kakbah dan masuk bersamanya ke dalam Rumah Suci itu. ‘Abd al-Muththalib pun memanjatkan doa syukur kepada Tuhan. Setelah itu ia langsung membawa sang bayi kembali ke ibunya, dan memberikan nama kepada bayi tersebut dengan nama Muhammad.[]

*Penulis merupakan alumnus MA Unggulan Nuris, kini melanjutkan studi sarjana di UIN Khas Jember

 

Related Post