Syaikh Nawawi al-Bantani -seorang ulama mutaakhkhirin-, menjelaskan penentuan sedekah pada hari – hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat saja (al-‘Adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. “Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini,”(Nihayah al-Zain, ha. 281).
Baca juga : (Hujjah Aswaja: Hukum Talqin)
Bahkan Imam Ahmad bin Hambal , رضي الله عنه dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah, karena merupakan salah satu bentuk doa untuk mayit yang sedang diuji di dalam kubur selama tujuh hari. Sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam kitab al-hawi li al-Fatawi:
“Berkata Imam Ahmad bin Hambal, Hasyim bin Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sfyan, Imam Thawus berkata,”Orang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka. maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meniggal dunia selama tujuh hari itu.” ( Imam Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178).
Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
“Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam al- Suyuthi, abad X Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahaabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabatصلى الله عليه وسلم ).” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 194)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penemuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.