Penulis: Ayu Novita Sari
“ … hai kembang menurku yang mungil,
Adakah yang lebih sakit dari perpisahan?
Ada. Ada !! Mendengarmu tak kuasa untuk berdiripun
Menjadikan tubuhku ambruk! Kamu jahat, kamu tak boleh sakit lagi! Titik!
Semoga mendung menjadi peringatan untukmu bahwa kamu esok harus jadi matahari … “
Ramadhan tertunduk manis dalam pelataran lantai bumi. Rembulan masih setia menari mengitari. Matahari menguji dalam dahaga. Menilik sedikit dan memicingkan sebelah mata terlihat seorang termenung cemas, sebuah gedung terasa memeluknya. Ya… hanya dia, seseorang yang menganggap benda mati seakan hidup bagai manusia.
Sucinya bulan adalah tamu termanis setiap tahunnya. Tidak bagi dia seribu satu pertanyaan melayang bebas di dalam otak kanan kirinya. Tatapannya membidik menembus alam cakrawala, berharap penghuni langit mendengar jeritan teriak meski tak sedikit pun bibir mungilnya bergerak. Mata. Ya… hanya matanya lah yang bisa ia ajak hidup.
Derap kaki membubar jalankan lamunan layangnya. Angin berhenti menghembus, satu tarikan nafas dengan mata terpejam sudah cukup mewakili hati yang memberontak. Betapa lemahnya dia hanya bisa terdiam menerima hinaan. Seseorang berbisik padanya. “ Baik-baik disini, jangan buat susah orang. mama pulang dulu.” Elusan tangan munafiknya tak sedikitpun mampu merasakan betapa badai sudah menerpa batinnya.
Benar saja malam yang menurut orang beriman malam seribu bulan. Yang memiliki kedasyatan lailatul qodarnya menjadi saksi ketidak adilan seorang perempuan mungil lima belas tahun penyandang tuna ganda. Bukan hanya tuli, ia juga lumpuh, bahkan bisu, ia lirik kedua orang tuanya yang perlahan meninggalkannya. Dengan sisa tenaga yang menurutnya cukup, ia tarik kursi rodanya jari tangan kanannya yang sedari lahir menjadi satu bisa menyeimbangkan jari tangan kirinya. Dengan terbata bata ia memanggil yang bisa di tebak ia sedang memanggil kedua orang tuannya. “ mm… aaa, maa…. , aaa… aaahhh .” terjatuh tersungkur tak membuat keduanya menoleh. Pengasuh yayasan yang sempat Ja’far baca Pondok Pesantren berusaha membantu dirinya untuk kembali kekursi rodanya. Nihil. Ia telah terbuang, terasing di tanah daerah orang yang tak sedikitpun mengalir setetesah darah dalam tubuhnya.
***
Muara tawa yang dulu sempat terangkai sekarang pecah seperti beling. Bukan hanya sekadar itu kesepian sunyi belantara hati. Saraf yang ia didik dengan keringatnya sendiri tercerai tak terurus kembali. Jalan penuh massa masih berat, dalam langkah. Tidak usah bertanya tentang jalan sutra karena sudah hilang tertanam mengurai bersama kemunafikan.
Cinta. Dipojokan sana terlihat laba-laba merangkai sarangnya penuh dengan bintang dan indah ketika di pandang, menurutnya itulah cinta yang sesungguhnya.
Ia berfikir di bulan suci ini semua setan di tahan dalam tempatnya entah ia juga lupa di tahan dimana. Tetapi, kenapa masih ada setan yang menguasai orang tuannya. Butuh bukti, ia merasa ia sebagai korbannya. Tega benar, ia di buang ke tempat yang seharusnya bukan tempatnya.
Ruangan yang tak cukup luas tertata rapi di atas almari bahkan tak layak di katan almari itu semacam rak yang di anyam sebagai tempat baju terdapat kitab-kitab pemiliknya yang tersusun rapi mungkin tak pernah di sentuhnya terdapat tulisan di punggung kitabnya tertuliskan al-fiyah, Imrithi, dan Mabadiul Fiqh. Tak ada suara kipas angin, itu hanya sekedar terpaan angin yang memainkan selambu. Jika di luar ruangan itu para santri sibuk dengan tarawih dan tadarusnya bahkan murajaah hafalannya atau hanya sekedar semaan ( menyimak ) lain halnya dengan santri ini ia memilih terdiam merenung di pojoan jendela kamarnya tangan kirinya memainkan roda kursinya.
Mengharapkan ada seseorang yang mengajak ia berbicarapun sudah taka da dalam kepalanya. Karena kelahirannya di duniapun menurutnya sudah tak di harapkan. Angin mengelus lembut dedaun kering sehingga membuat daun tertunduk malu hingga terjatuh ketanah. Tak sedikitpun daun merasa memberontak atau sekedar ada rasa benci terhadap angin. Ranting melambaikan tangan terhadap daun yang berguguran. Sinar rembulan tak langsung sampai kedalam matanya terhalang dengan dedaunan rimbun yang masih hijau warnanya.
“ Hai, kenapa tidak datang dalam tadarus ustadzah tadi. “ suara itu tidak berhasil membuat Ja’far menoleh karena ia memang tuli. Ya… ustadzah Menur mungkin ia memang tidak tahu keterbatasan Ja’far. Ketika Ustadzah Menur mulai mendekatinya betapa kagetnya dia melihat keadaan Ja’far. Dengan lihai ia menulis sesuatu di bukunya.
Hai … Ja’far, saya ustadzah Menur. Maukah kau berteman dengan saya.
Harapannya ternyata tidak mulus. Ja’far memberontak menyobek dan membuang kertas ustadzah Menur, meronta berlarian kesana kemari menggunakan kursi rodanya, keributan terjadi ustdzah Menur mencoba menghentikan apa yang telah diperbuat Ja’far. Hingga pengasuh dan ustadzah yang lain pergi melihat sumber dari teriakan keributan itu.
(baca juga: sSepotong Senja Untuk Ayah)
Dengan kasar Ustadzah Asih menarik Ja’far dan memarahinya, tak tanggung tanggung Ja’far melayangkan sebuah pukulan ke pipi mulus Ustadzah Asih hingga ia terpental ke belakang. Ustadzah Menur yang melihatnya langsung mengajak Ja’far keluar. Angina malam yang menenangkan cukup membantu untuk menenangkan hati seseorang. Rupanya awan malam, rembulan, dan bintang cukup bersahabat malam ini. Dalam dekapan Ustadzah Menur, Ja’far menangis sejadi-jadinya harusnya seperti karena ia bisu hanya suara isakan sendu saja yang Ustadzah Menur rasakan.
“ Kamu tidak sendiri, masih ada Allah di setiap deras darahmu. Alam juga selalu dalam genggamanmu.” Dengan lembut Ustadzah Menur memegang jari jemari Ja’far mencoba memberi isyarat jika ia ingin menjadi teman dalam kesepian dan kesendiriannya. Muara sendu menjadi tadarus hening yang merasuk sampai tulang paling dalam. Ini adalah ranah untuk dia.
***
Benang-benang itu terjalin dalam muram yang seolah mengambang. Tabir yang telah terlanjur terucap. Seka lekat partikel debu menjadi jarak yang tidak terhiraukan. Rebahan tubuh yang dulu terbuang oleh pikiran otak yang sebenarnya tidak wajar untuk dibahas, menjadi badan yang pantas untuk di sanjung karena ketegasan dan kebijakannya. Benang-benang itu terjalin lagi.
“Kau tahu Ja’far kenapa ustadzah mengajari kamu memanfaatkan semua organ tubuhmu dengan shalat?.” Seka Ustadzah menur yang di ikuti gerakan tangan Ja’far.
“ Entah padahal aku cacat, tapi ustadzah memaksaku untuk mengerjakan shalat.” Begitulah arti dari gerakan tangannya. Ustadzah menur tersenyum ia dengan halus jari-jari tangannya bergerak di atas telapak tangan mungil Ja’far.
(baca juga: Lautan Bawah Lantai)
“ Karena disetiap gerakannya terdapat gerakan yang akan membuat setiap organ tubuhmu bisa berfungsi seperti manusia normal yang kamu inginkan. Ketika kamu sujud otot kakimu akan merasangsang semua saraf yang ada di bagian kakimu. Apalagi disaat kamu melantunkan ayat al-Qur’an suara mu akan menegaskan kepada otakmu dan seluruh tubuhmu untuk selalu mengingat Allah dan akan berfungsi dengan sehat.” Terbesit muara senyuman dalam binar mata gadis mungil Ja’far.
Burung-burung malam kembali lelah dalam sangkarnya. Senja merayapi gurat-guratnya langit merah. Lautan kembali tenang bersama angin. Dalam pelukan sang guru yang hangat Ja’far melupakan segala hal yang akan membuatnya teringat jika ia adalah sekadar gadis kecil yang lumpuh, tuli, bahkan bisu. Ustadazah menur selalu membuat gadis mungil itu merasa jika dia masih pantas untuk mendapatkan tempat walapan sepetak dalam kehidupan dunia ini. karena ustadzah menur sadar jika Ja’far adalah tokoh utama yang di ciptakan oleh Tuhan dalam kisah skenarionanya yang sangat indah bahkan melebihi dari sekadar indah.
Hari yang terasa berat untuk dijalani oleh anak seusia Ja’far yang harus aktif dalam gerakan tubuhnya demi bisa berkomunikasi dengan santri lainnya. Tidak jarang terkadang ia tertinggal dalam shalat jamaahnya, waktu semaanpun ia terkadang tertinggal karena kapasitas yang berlaku dalam pondok ini memang serba cepat, bahkan ia harus melihat catatan santri lainnya yang sudi membagi ilmunya ketika tertinggal dalam masa’an kitabnya.
Tidak jarang pula ia meronta dalam kamarnya bahkan pernah sampai ia ingin menjatuhkan diri kedalam sungai dekat pesantren Karena sudah tidak kuat dengan kekurangan fisiknya. Tapi ustadazah menur selalu datang dalam kesepian dalam kehidupannya. Dengan sabar ia mengajarkan arti hidup yang sebenarnya, bukanlah kesempurnaan fisik yang Tuhan inginkan, melainkan ketakwaan dan kesungguhan ummatnya. Tidak bosan juga ia mengatakan kepada si gadis Ja’far bacalah al-Quran agar dia biasa berkomunikasi dengan Sang Penciptanya.
Bukan hal yang mudah mengajari atau sekedar mendidik anak yang menyandang tunaganda seperti Ja’far. Terkadang Ustadzah menur juga merasa tidak berhasil ketika Ja’far terus memberontak tidak mendengarkan apa yang ia katakana bukan hanya perkataannya ustadzah yang lain bahkan juga pengasuh sekalipun, ini terjadi karena otaknya lemah dalam daya tangkap yang tidak segan-segan membuat dirinya pusing dan tidak bisa berfikir apa-apa. Tangisannya pun berhenti ketika seorang dokter menyuntikkan obat bius ke dalam tubuhnya.
Betapa tersayatnya hati ustadzah menur melihat gadis kecil Ja’far diperlakukan seperti itu. Yang bisa ia perbuat adalah hanya menyaksikan skenario yang sudah tertulis ini. anyep yang ia rasakan ketika melihat tubuhnya terlentang merebah dalam kenikmatan obat, sunyi orang-orang sudah pergi. Rindang malam menyeka dalam kesyahduan, mengerjapkan bahagia yang tak karuan. Di jalan penuh massa ini sekantong penuh kata tertitipkan pada semai.
***
Kini akan terlantunkan nyayian alam, bersama dengan hujan yang berdatangan bersama awan. Tropis selalu melapisi pelipis, jari-jemari yang selalu melantunkan sajak-sajak impian mulai bangkit dalam keterpurukan tidur yang sudah lama tertidur lelap. Deras terjun cahaya yang menembus mematri diri membuat seluruh alam terbangun. Mata terus saja tertarik pada garis tepi garis senja alam. Hanya orang inilah yang peduli badan, di sepertiga malam terlihat di balik tirai bilik kecil bayangan orang yang sedang melaksanakan senam alam. Mungkin itu yang dimaksud seseorang itu ketia memberi tahu tentang senam alam kepada gadis Ja’far.
Dalam tumpuan ruku’ dan sujudnya alam mengangkat tangan mendoakan keselamatan baginya, bahkan mengamini apa yang sedang seorang itu inginkan. Jalan sutra yang sekarang ia tapaki, tidak selembut seperti yang dulu lagi. Kehadiran gadis kecil di pesantren itu menjadi sebuah pukulan besar dalam kisah masa lalunya. Masa dimana yang tidak pernah merasakan apa yang di maksud dengan kehidupan dunia. Tapi karena trik dunia langit dan yakin tokoh-tokoh langit yang pernah ia temui adalah tempat untuk pengaduannya ia akan membuat Ja’far tidak mengalami diskriminasi dalam kehidupan indah dunianya.
Burung melantunkan nyanyian sendu fajar yang membuat hati tenggelam dalam pikiran pasti. Terlihat dedaunan rimbun bangun dalam tidur malamnya, membangunkan klorofil agar memasakkan sesuatu untuknya. Gemercik air kolam menandakan ikan telah kelaparan dalam mencari mangsa makanannya. Awan pagi menghasilkan embun yang lembut dalam elusan genggaman tangan mungil.
Pagi sekali Ja’far sudah ada di pelataran pesantren ia membawa al-quran dalam pangkuannya. Rupanya ia baru saja menyelesaikan bacaannya. Di waktu dan tempat yang berbeda Uustadzah Menur kebingungan mencari anak itu, betapa cemasnya ia tidak mendapati gadis mungil itu di kelasnya. Tidak ada satupu teman yang tahu keberadaannya, “ Mungkin Ja’far sudah lelah bu, dia kan selalu telat dalam mengartikan kitab. Bahkan lama sekali dalam hafalan kitab Alfiyah dan imrithi, jadi sekarang ia sudah sadar kalau pesantren bukan tempat yang tepat untuk penyandang cacat seperti dia. Benar nggak teman-teman.” Suara salah satu santri yang di ikuti suara mengiayakan seluruh kelas. Jlepp … . beta tersayatnya hati ustadzah menur mendengar itu semua.
Permenungan tenang yang mendesau mengendap di dalam dada, lumayan melancarkan sistem pernafasan. Tubuh seakan mengambang mimik menyeringai meleraikan perasaan. Ja’far memejamkan mata sendunya, betapa banyak impian yang telah rangkai tapi tak satupun yang berhasil ia lakukan.
“Hai, apa yang kamu lakukan di sini manis?.” Seseorang menyentuh pudaknya dari belakang. Benar saja, tangan lembut itu selalu ada dalam kesunyian dan rasa kesepian dalam hati Ja’far. Ustadzah Menur. Tapi tidak ada jawaban apapun dari Ja’far gerakan bibir bahkan gerakan tangan atupun tulisan tidak ia berikan.
“ Kau mau apa? Mau mahkota dalam ilalang lagi.” Tetap saja Ja’far tetap setia dalam keterdiamannya. Ustadzah menur melihat sebuah buku terjatu tak jauh dari kursi roda Ja’far. Betapa terkejutnya ustadzah menur ketika membaca impian-impian yang tertulis rapi oleh jari-jari mungil Ja’far. Memang benar, tangan Ja’far yang berfungsi untuk menulis hanya tangan kirinya, pantas saja jika ia tidak terlalu cepat dalam mengartikan kitab seperti yang lainnya. Tunagrahita yang yang ia sandang juga memperlambat daya tangkap otaknya.
“ Boleh Ustadzah membatu mewujudkan semua impianmu ini.” dengan tulus Ustadzah menur merayu Ja’far. Ja’far menatap menyelidik ke arah ustadzah menur, tersirat ketulusan yang ia lihat.
“ Tapi aku cacat.” Itulah Bahasa mudahnya yang dapat ustadzah menur tangkap dalam gerakan bibir yang Ja’far isyaratkan.
Awan cirrus menjadi saksi pelukan hangat keduannya. “ Kamu tidak cacat nak, siapa yang bilang kamu cacat?. Kamu sehat kamu normal hanya mereka yang tidak tahu kamu yang menganggapmu cacat. Percayalah!.” Terlihat kumbang tersenyum melihat kejadian ini, bunga mawar bermekaran mendengar ketulusan yang seseorang lontarkan, lembutnya rumput tang berhasil membuat sejuk kaki yang setiap harinya menapaki ataupun menginjaknya secara sengaja, tapi rumput tak marah sedikitpun.
***
Ruang yang mengkronologikan waktu dan peristiwa selalu menjdai tempat setia keduanya. Tidak enggang tawa selalu terbesit dalam wajah merekah mereka. Bukan masalah tidak ada kesulitan dalam menjalani hidup dalam keduanya. Tetapi, salah satu dari keduanya bisa mencairkan suasana. Dibalik tangan mungil yang hanya berfungsi satu terdapat bakat kaligrafi di sela-sala jari-jari tangan kirinya. Sekarang ia berani berhadapan dengan publik, ia yang terkenal bisu dalam berbicara sekarang menjadi pembicara yang baik berkat impian yang ia tulis dan berpidato di depan kelas, membaca al-quran adalah komunikasi terbaik yang bisa mengembalikan suaranya. Otak yang tercipta lemah daya ingatnya ternyata hanya tercipta sebentar dalam hal itu, sekarang ia bisa menghatamkan hafalan alfiyah dan imrithinya.
Dengan perlahan tapi pasti kaki lumpuhnya, bisa menapaki setiap seantero pesantren yang juga menjadi impian lamanya. Melihat keberhasilan kesembuhan gadis mungil itu ustadzah menur merasa jika pemeran utama kehidupan dunia bisa meminta merubah skenario jalannya kepada Sang Pencipta. Tapi Sang Pencipta tidak segan-segan pula meminta jaminan atau sekedar memonopoli jalannya cerita.
Tidak begitu lama ia menikmati kesenangan Ja’far yang tumbuh menjadi sembuh seperti yang ia dambakan. Ia harus pergi jauh darinya karena waktu untuknya sudah selesai dalam menjalankan tugasnya. Aneh. Anehnya ia pergi tanpa sepengetahuan Ja’far. Mungkin bberapa tahun Ja’far tidak sadar dengan hal ini.
***
Bukan suatu hal yang mudah untuk melupakan sebuah kenangan. Meski mulut berkata rindu ini sudah rontok tapi, beningnya air mata selalu memberikan kejujuran. Ketika awan mendung menggantikan awan lembut yang telah tersusun rapi sejak dulu, roboh begitu saja. ketika mendengar suara dari sebrang tak lagi melantunkan panggilan kembang menur lagi.
Tubuhnya terhempas kasar pada sajadah alam. Teman lamanya seakan menyerang merasuki kembali tubuh lemahnya. Buta, tuli, dan lumpuh kembali bersemayam dalam tubuhnya. Sekarang ia tak ingin melakukan apa-apa dalam hidupnya, membiarkan mereka menjadi teman hidupnya. Bukan tak mau mempertahankan impiannya yang sudah tercapai, tapi karena perihal alasan untuk mempertahkan impiannya sudah hilang terlebih dahulu. Hitam mulai menguasai dunianya. Sunyi, sepi, dan sendiri.
“ … mendengarmu tak kuasa untuk berdiripun menjadikan tubuhku ambruk! Kamu jahat, kamu tak boleh sakit lagi! Titik! … “
Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember kelas XII IPS 1. Dia juga aktif sebagai anggota ekstrakurikuler Jurnalistik Website Pesantrennuris.net dan juga Msains Sejarah