Persimpangan Jalan

Oleh: Shinta Devi*

Ah  bener-bener sial aku hari ini, sudah telat, masih kejebak macet  lagi. Aku harus menebalkan telinga mendengar oceha atasan. Belum lagi, masalah rumah yang membuatku semakin pusing tak karuan. Rasanya, hidupku menjadi begitu ribet apartemen. Aku terdiam sejenak, kuraih handphone yang sedari tadi melototiku dengan layar menyala.

(Baca juga: Pesantren Tak Retak )

“Hello”, ucapku lagi tapi, tapi nihil. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari handphone ku. Aku mengernyitkan dahi, kulihat layar handphone. Memastikan apakah telepon itu masih tersambung atau tidak. Tapi mati ! Sial bener. Aku baru sadar handphone ku mati baru saja. Mungkin setekah aku mengucapkan halo untuk pertama kalinya.

“Tok, tok, tok”, seseorang mengetuk kaca mobilku, seseorang lelaki tua dengan pakaian yang lusuh. Ia menggendong  beberapa Koran di tangan kirinya.

Penjual Koran itu tersenyum, aneh. Kenapa saat aku melihat senyuman itu, hatiku menjadi begitu damai. Seakan, semua permasalahanku ikut lenyap bersama hembusan waktu. Kubuka kaca jendela mobilku.

“Korannya pak. Terbitan hari ini”,  ucapnya sesekali menyeka keringatnya dengan handuk yang menggelayut pasrah dilehernya.

“Pak, jadi atau tidak? “, suaranya membuyarkan lamunanku tentang orang tua itu.

“Oh iya, berapa?”, aku merogoh saku untuk mencari dompet.

“Tidak usah pak. Koran ini dibagikan gratis khusus hari jum’at” lelaki itu tersenyum benarkah?.

“Yang benar pak.Sekarang mana ada yang gratis?” tanyaku menyelidik masih tidak percaya.

“Iya pak” penjual itu menyodorkan korannya lalu pergi. Aku tertegun sampai akhirnya, suara klakson mobil dibelakangku, berhasil menyadarkanku.

Hari ini terasa begitu melelahkan. Kuhempaskan tubuhku di atas bed cover kesayanganku. Hampir saja aku terlelap. Jika suara itu tidak mengganggu pendengaranku. Pertengkaran kakakku dengan istrinya. Sejak kehadiran mereka di apartemenku, hidupku benar-benar terasa seperti neraka. Semua berawal dari kepergian ayah. Kakakku selalu menghambur-hamburkan harta warisan ayah. Dan, akulah yang menjadi sasaran utama ketika semua telah habis untuk berfoya-foya. Sebagai adik, tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah dan menyambut kedatangannya dengan senyuman palsu.

Pikirku melayang pada kejadian tadi pagi. Senyuman itu. Kenapa terasa begitu sejuk? Setelah kepergian orang tuaku,aku tak lagi menemukan senyuman setulus orang itu. Ah ya, aku masih terheran-heran. Sejak kapan, setiap hari jum’at koran itu dibagikan secara gratis? Rasa penasaran itu meranyap pekat dalam otaku. Ah. Sudahlah. Lebih baik,aku segera tidur dari pada memikirkan pertanyaan yang tidak bisa kujawab.

 Seperti biasa.Sesudah mandi, bajuku tertata rapi di atas bedcover. Siapa lagi kalok bukan kakak iparku yang menyiapkannya. Kurasa ini adalah salah satu caranya untuk membuatku luluh dan menerima kehadiran mereka. Sampai mereka siap pergi. Tapi, tak apalah. Setidaknya ada yang membantu membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Tanpa harus mengeluarkan biaya. Hari ini, aku akan menyelidiki orang yang sukses membuatku penasaran. Yah sekalian mengisi waktu luangku di akhir pekan.

Sepuluh menit kemudian, taxi yang kutumpangin sudah berada di persimpangan jalan batu. Aku segera turun setelah menemukan senyuman itu. Mengikuti ke mana lelaki itu pergi setelah lampu berganti hijau. Pertanda pekerjaannya selesai. Belum lama aku berjalan, lelaki itu berbelok ke arah sebuah masjid yang terletak di sebelah kanan jalan. Aku tetap membuntutinya. Tapi baru saja kuinjakkan kakiku di altor masjid, aku sudah berhadapan dengan pemandangan yang asing untuk kulihat. Masjid itu dipenuhi dengan jama’ah laki-laki yang khusyu’ mendengarkan ceramah. Penjual koran itu sudah menyusul di barisan belakang. Aku binggung, apa yang harus aku lakukan. Karena merasa bukan bagian dari mereka, aku memutuskan untuk pergi dan menunggu diluar halaman masjid.

Sekitar satu jam berlalu. Semua orang di masjid mulai bubar setelah penceramah turun dari masjid.aku masih menuggu. Sapai akhirnya, masjid itu hanya menyisakan satu orang di dalamnya. satelah mengkomat-kamit do’a lelaki itu bangkit dari tempat duduknya lalu keluar dari masjid. Akut tak ingin membuang kesempatan  saat melihatnya duduk di teras masjid sambil mengkipas-kipas kan koran ketubuhnya “Cukup panas”,ucapku. Mengambil posisi tepat di sampingnya dia menoleh setelah menyadari kedatanganku “Ya, sangat gerah”, balasnya.

“Ngomong-ngomong barusan acara apa? Sebuah seminar? Atau pengajian? Kok masjidnya di penuhi banyak orang. Padahal, sekarang bukan waktunya shalat.”

“Memang bukan jama’ah shalat. Melainkan, jama’ah santri yang mendengarkan pengajian kiainya.” Aku tertegun. Santri? Tapi laki-laki itu?

“Bapak juga santri?’’

“Oh, bukan, saya masyarakat sakitar yang ikut mendengar ceramah dari kiai Musthafa. Rasanya, kalimat-kalimat yang beliau utarakan, seperti siraman rohani bagi saya.” Laki-laki itu tesenyum.

“Benarkah? Memangya, pengajian itu diadakan setiap hari?’’

“Tentu. Ini adalah milik pondok pesantren Al- Kautsar. Setiap hari di buat shalat Maghrib, masjid ini juga dipenuhi dengan anak-anak dari masyarakat yang ingin belajar mengaji. Gurunya ya santri-santri yang dianggap sudah bisa membagi ilmunya”, papar lelaki itu panjang lebar. Ah. Begitu rupanya. Jujur saja, hatiku terkagum-kagum mendengar penjelasan itu.

“Dulu, saya adalah orang yang tidak pernah mensyukuri apa yang saya punya, selalu mengeluh dengan pekerjaan saya sebagai penjual koran. Tapi, setelah mendengarkan ceramah dari kyai Musthafa, saya seperti mendapat jalan. Saya mulai bisa tersenyum dan mengucapkan banyak syukur dengan keadaan saya.”

Oh jadi itu sebabnya laki laki itu begitu ramah dan sering menebar senyumnya. Itu kuncinya ikhlas, sabar, bersyukur dengan apa yang kita punya. Ya Allah. Sungguh, laki laki itu begitu mulia. Padahal, keadaanya bisa dibilang kekurangan. Tapi, senyumnya tak pernah ikut luntur bersama keringatnya. Sedang aku?

“Lalu, bagaimana dengan koran gratis tiap hari jum’at?” Lelaki itu menoleh. Mengerutkan keningnya. Seakan curiga dengan ucapanku.

“Saya pernah lihat bapak membagikan koran gratis. Bapak bilang, koran itu dibagikan secara percuma tiap hari jum’at.” Laki-laki itu menghela nafas sambil memanyunkan bibirnya membentuk huruf”O”. “Ya hintung-hitung, sedekah walau sebatas koran. Karena, Cuma itu yang bisa saya bagikan. Kyai Musthafa pernah berceramah, sedekah paling mudah adalah tersenyum kalau bisa melakukan lebih, kenapa tidak?”. Kalimat itu menusukku. Jangankan lebih, tersenyum pada sesama saja sangat jarang ku lakukan. Apalagi itu?”.

Sesaat kemudian, suara bising menderu pada yang melintasi jalanan depan masjid.”Zaman sekarang. Pelajar-pelajar sudah tidak lagi punya moral”, ucap penjual koran itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Iya pak. Saya sering ketemu remaja ugal-ugalan naik sepeda seperti itu, nggak punya aturan.”

“Maka dari itu, sudah sepantasnya kalau kita membentengi akhlak mereka. Dengan kajian ilmu agama. Nggak usah muluk-muluk, cukup pengajian seperti  tadi setiap seminggu sekali. Mungkin dengan begitu, akhlak mereka bisa diperbaiki”.

“Zaman sekarang pak. Belum tentu mereka mau, kalau memang tidak dipaksa”. Penjual koran itu  terdiam, seperti sedang merenung.

“Mungkin, pesantren lebih baik bagi mereka”, imbuhnya setelah mendongakkan kepala  menatap langit. Aku sadikit menyesal. Tapi apa yang diucapkan orang itu benar. Mungkin, pesantren adalah salah satu solisi.

“Tapi pak. Kalau semua didoktrin dengan ilmu agama. Siapa yang akan meneruskan para pejuang dibidang sains dan teknologi?’’

‘’Sekarang kan sudah banyak pesantren berbasis SAINS. Katanya sih, SAINS pondok modern. Yang pentingkan masih diajarkan ilmu agama. Walaupun pikirannya terbagi.”

“Saya rasa, bapak benar”. Lelaki itu tersenyum lagi.

Percakapan itu berlanjut hinggan adzan Dzuhur menghentikan pembicaraan kami.

Penjual koran itu menawariku untuk shalat berjama’ah di masjid itu. Aku menolak ajakan itu sehalus-

Halusnya.baru setelah berpamitan, aku bergeges pergi. Dengan sebuah jawaban yang menjawab rasa penasaranku. Mungkin, laki-laki itua dalah orang yang diutus Tuhan untuk menyadarkanku bahwa, bahagia itu saderhana. Tanpa perlu kau mencarinya.

*Santri PP. Nuris asal Wuluhan Jember

11542105_470434116464339_4173048516489503740_n

 

Related Post